Empat Hal Penting Ungkap Kasus Korupsi Imam Nahrawi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menetapkan Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi, sebagai tersangka kasus suap dana KONI. KPK menyatakan resmi hal itu pada Rabu sore, 18 September 2019
Nama Imam Nahrawi muncul dalam sebuah daftar yang dibuat oleh Sekretaris Bidang Perencanaan dan Anggaran KONI, Suradi. Ia mengaku diminta oleh Sekretaris Jenderal KONI, Ending Fuad Hamidy yang berisikan daftar uang bagi para pejabat di Kemenpora dan KONI.
Salah satu rincian draf itu tertuang uang Rp1,5 miliar kepada oknum 'M'. Kemudian Suradi pun menyatakan inisial 'M' itu adalah merujuk kepada menteri.
Dalam sidang-sidang selanjutnya juga didengarkan sebuah rekaman dari terdakwa Ending. Ia menyebutkan nama Mr X beberapa kali. Ia menyebut Mr X ini merujuk kepada menteri.
Dalam kasus ini Ending dan Johny didakwa menyuap Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga Mulyana. Suap diduga sebagai pelicin pencairan dana proposal yang diajukan oleh KONI kepada Kemenpora.
Dalam catatan ngopibareng.id, ada empat catatan penting atas kasus korupsi Imam Nahrawi:
1. Menggunakan Anggaran untuk Umrah
Imam Nahrawi mengakui menggunakan anggaran Kemenpora untuk ibadah umrah. Fakta itu disampaikan Menpora dalam sidang lanjutan terdakwa terdakwa Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), Ending Fuad Hamidy di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta Pusat, Senin 29 April 2019.
Ketika itu, Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bertanya mengenai kegiatan Menpora bersama rombongan Kemenpora di Jeddah pada tahun 2018 lalu. Imam mengaku, perjalanan dinas itu dalam agenda menghadiri undangan dari federasi paralayang dunia di Jeddah.
"Saya menghadiri undangan federasi paralayang di Jeddah, Tentu siapapun muslim pasti kalau sudah di Jeddah ingin melakukan umrah," kata Imam bersaksi.
Perjalanan itu terjadi sekitar bulan Oktober 2018. Menurut Nahrawi, hal itu dibiayai menggunakan anggaran Kemenpora. Pendanaan perjalanan dinas untuk Menpora dibiayai oleh Sekretariat Kemenpora.
Namun untuk sejumlah deputi dan delegasi deputi yang ikut, kata Imam, menggunakan anggaran biaya oleh masing-masing kedeputian.
Kemudian Jaksa juga menanyakan, "Apakah kegiatan umroh merupakan kegiatan perjalanan dinas?"
"Undangannya Iya (perjalanan dinas)," kata Imam.
Sedangkan untuk perjalanan kegiatan umrahnya, Menpora mengaku bukanlah kegiatan dinas dari Kemenpora. Namun saat jaksa menanyakan kegiatan tersebut juga menggunakan anggaran kemenpora. Imam membenarkan hal tersebut.
"Apakah umrahnya menggunakan anggaran dari Kemenpora?" tanya jaksa.
"Iya," kata Imam singkat.
Masih terkait dengan Umrah, Jaksa KPK juga memperlihatkan adanya transaksi bank oleh Ulum di Arab Saudi pada saat yang sama dengan agenda, undangan federasi paralayang dan Umrah di Arab Saudi.
Ketika melihat bukti yang disampaikan Jaksa KPK, Imam Nahrawi mengatakan tidak tahu-menahu terkait transaksi keuangan dari asisten pribadinya tersebut.
2. Penggelembungan Dana
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga ada penggelembungan besaran dana hibah Kemenpora kepada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Penggelembungan itu melanggar Peraturan Menteri (Permen) Nomor 10 Tahun 2018 tentang petunjuk teknis (juknis) di Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional Kemenpora, halaman 10 poin D.
Jabatan Deputi IV Kemenpora dipimpin Mulyana. Dalam aturan itu disebutkan besaran bantuan yang diberikan ke KONI, Komite Olimpiade Indonesia (KOI), dan induk cabang olahraga dibatasi hanya Rp7 miliar dalam satu paket kegiatan. Akan tetapi, kata Jaksa Tito, dana hibah Kemenpora ke KONI mencapai Rp 47 miliar dalam dua proposal kegiatan.
"Ada apa Pak Menteri? Sampai menggelembung dari Rp7 sampai Rp47 miliar?," tanya jaksa Tito kepada Menpora Imam saat sedang bersaksi untuk terdakwa Mulyana di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis 4 Juli 2019.
Merespons itu, Imam mengaku tidak mengetahui besaran dana hibah yang dicairkan. Sebab, menurut dia, hal tersebut telah didisposisikan kepada Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), yang dalam hal ini adalah Mulyana.
"Ya, pertama, kalau sudah soal pemenuhan, prasyarat, tentu itu sudah tanggung jawab dari PPK, verifikasi, dan unit di bawahnya, karena sudah ditunjukkan dengan aturan yang dibentuk. Sehingga, saya ngga tahu persis. Seperti jawaban saya, saya memang ngga tahu anggaran ini, sampai cair, sampai OTT, saya ngga bisa jelaskan," jawab Imam.
Mendengar jawaban itu, Jaksa mengaku bingung. Sebab, aturan itu diketahui diteken oleh Imam sendiri melalui peraturan menteri.
"Tidak tahu? Tidak tahu, Pak?," tanya jaksa Tito memastikan.
"Iya, saya tidak tahu," keukeuh Imam.
"Walaupun ini bertentangan Permen yang saudara terbitkan?," tanya Jaksa Tito kembali.
"Ya, tapi kan itu sudah pelaksanaan. Mana mungkin menteri mengetahui sedetail dari tanggung jawab dan wewenang yang dimiliki. Dan, kewenangan tadi sudah kami limpahkan secara penuh," dalih Imam.
3. Ada Disposisi Proses Proposal
Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi menyebut dirinya memberikan disposisi kepada Deputi IV Kemenpora untuk memproses proposal KONI.
Ia mengingat tanggal dirinya menerima proposal tersebut yakni pada 6 Desember 2018. Namun demikian, ia mengaku tak melihat secara rinci atau detail terkait dana hibah KONI.
Ia hanya meminta Deputi IV Kemenpora untuk menelaah proposal tersebut.
"Saya ingat betul tanggal 6 Desember yang saya disposisi, saya disposisi langsung untuk lanjutkan penelaahan," ujar Imam Nahrawi, di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin 29 April 2019.
Ia menegaskan dirinya tidak melihat secara rinci atau perihal ada tidaknya rancangan anggaran biaya dalam proposal itu.
"Saya nggak lihat detail seperti itu, karena saya hanya berikan disposisi telaah dan pelajari lebih lanjut," jelasnya.
Menurutnya, setelah memberikan disposisi, hal itu telah menjadi kewenangan dari Deputi IV Kemenpora. Bahkan, saat Jaksa KPK bertanya perihal berapa anggaran dan persetujuan proposal, Imam Nahrawi menyebut tidak tahu berapa anggaran yang disetujui Kemenpora kepada KONI.
"Saksi tahu setelah ada disposisi Deputi IV apa yang dikerjakan Deputi IV sehingga proposal disetujui gimana?" tanya Jaksa KPK.
"Saya nggak tahu, karena itu kewenangan deputi," jawab politikus PKB itu.
Imam Nahrawi menerangkan kepada Jaksa, dirinya hanya sebatas bertanya kepada Deputi IV Kemenpora, seperti saat Rapim dilaksanakan.
"Saksi nggak tanya anggaran KONI, apakah diterima apa nggak? Saksi tanya nggak hasil mekanisme itu?" tanya jaksa lagi.
"Pernah bertanya di Rapim saja. Sebatas aja, bertanya ke Deputi," ujar Imam Nahrawi.
4. Terima Uang untuk Ngopi
Miftahul Ulum, asisten pribadi Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, mengaku pernah menerima uang dari Sekjen Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Ending Fuad Hamidy.
Permintaan uang itu diterima dalam tiga kali penerimaan yang terjadi pada tahun 2017 dan 2018 masing-masing senilai Rp2 juta, Rp15 juta dan Rp30 juta.
Hal itu dikatakan Ulum saat bersaksi untuk terdakwa Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora Mulyana dan dua pejabat pembuat komitmen Adhi Purnomo dan Eko Triyanta, di Pengadilan Tipikor, Kamis 4 Juli 2019.
Jaksa KPK mulanya bertanya kepada Ulum soal ada atau tidaknya penerimaan uang dari Ending. Ulum pun mengakuinya. Pengakuan Ulum sempat berbelit-belit saat jaksa mencoba menggali keterangan lebih jauh termasuk dengan siapa Ulum bertemu Ending pada saat itu.
Awalnya, Ulum mengaku bertemu Ending bersama teman-temannya secara tidak sengaja di Plaza Senayan, Jakarta, sambil minum kopi pada 2017.
Lalu, ketika jaksa mengonfirmasi siapa teman-teman tersebut, Ulum menjawabnya sebagai adik.
Mendengar itu, Jaksa lantas mengingatkan Ulum agar menjawab secara pasti lantaran telah disumpah. Jaksa ingin tahu yang dimaksud adik tersebut apakah adik kandung atau adik ipar.
Ulum pun menjawab bahwa adik-adik yang dimaksud adalah anak dari Menpora Imam Nahrawi.
Kemudian, jaksa kembali bertanya soal konteks penerimaan uang. "Siapa yang minta uang?" Tanya jaksa.
"Saya Pak, saya minta uang [untuk] kopi," ujarnya.
"Berapa?"
"Seingat saya Rp2 juta," kata Ulum.
Ulum mengaku setelah menerima uang itu, lantas dibagikan ke yang lainnya. Dia juga mengaku tak memberitahukannya kepada Imam Nahrawi.
Sementara pada 2018, dia mengaku dikirim uang senilai Rp15 juta untuk liburan ke Yogyakarta.
"Saya mau liburan, mohon seikhlasnya," kata Ulum kepada Ending pada saat itu.
Lalu, penerimaan uang Rp30 juta diakuinya untuk kegiatan sepakbola Kemenpora FC mengingat dia didapuk sebagai manajer.
Dalam putusan Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy, Miftahul Ulum disebut menerima uang senilai Rp11,5 miliar secara bertahap. Uang itu diterima untuk memenuhi comittmen fee terkait suap dana hibah KONI.