Empat Hal Penting Bulan Muharram, Keutamaan dan Wirid Amalannya
Segera berakhir bulan Dzulhijjah 1443 Hijriah dan memasuki kalender Tahun Baru 1 Muharram 1444 H. Bulan Muharram atau bulan Suro dalam pemahaman orang Jawa merupakan bulan khusus.
Bagaimana sesungguhnya posisi bulan Muharram dalam pandangan Islam? Ust. Ahmad Muntaha AM, Tim Narasumber Aswaja NU Center Jawa Timur, memberikan sejumlah catatan agar masyarakat memahami secara luas sebagai peluang untuk beribadan dan meningkatkan amalan-amalan sunnah. Ia menulis tentang "Bulan Muharram (Suro): Mitos, Sejarah, Keutamaan, Amaliah, dan Wirid Seputarnya".
1. Bulan Suro Bulan Angker?
Tidak ada bulan angker, seperti keangkeran bulan Syawal yang diasumsikan masyarakat Jahiliyah kemudian ditepis oleh Sayyidah ‘Asiyah.
عَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا-قَالَتْ: تَزَوَّجَنِيْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى شَوَّالٍ وَبَنَى بِيْ فِيْ شَوَّالٍ. فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّيْ. (رواه مسلم)
“Dari ‘Aisyah, beliau berkata: “Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam-mempersunting diriku di bulan Syawal, berhubungan badan denganku di bulan Syawal, maka siapakah isrti beliau yang lebih agung derajatnya di sisinya daripada aku?” (HR. Muslim)
2. Keutamaan Bulan Muharram
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ-رضى الله عنه-يَرْفَعُهُ قَالَ سُئِلَ أَىُّ الصَّلاَةِ أَفْضَلُ بَعْدَ الْمَكْتُوبَةِ وَأَىُّ الصِّيَامِ أَفْضَلُ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ؟ فَقَالَ: أَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ الْمَكْتُوبَةِ الصَّلاَةُ فِى جَوْفِ اللَّيْلِ وَأَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ صِيَامُ شَهْرِ اللهِ الْمُحَرَّمِ. (رواه مسلم)
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah-radhiyallahu ‘anuh-dengan dinisbatkannya kepada Nabi Muhammad-shallallahu ‘alaihi wasallam-, ia berkata: “Beliau-shallallahu ‘alaihi wasallam-ditanya shalat apakah yang paling utama setelah shalat maktubah Dan puasa apakah yang paling utama setelah bulan Ramadhan? Lalu beliau menjawab: “Shalat yang paling utama setelah shalat maktubah adalah shalat di tengah malam dan puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan adalah puasa bulan Allah yaitu bulan Muharram.”
3. Kesunahan Puasa Tanggal 9-10 Muharram dan Keutamaannya
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-، قَالَ رَسُولُ اللهِ- صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: … وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ. (رواه مسلم)
“Diriwayatkan dari Abu Qatadah-radhiyallahu ‘anhu-, Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wa sallam-bersabda: “… dan puasa hari Asyura (tanggal 10 Muharram), aku berharap kepada Allah agar melebur dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim)
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-قَالَ: … وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ. (رواه مسلم)
“Diriwayatkan dari Abu Qatadah-radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata: “… dan Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wa sallam-ditanya tentang puasa hari Asyura (tanggal 10 Muharram), lalu menjawab: “Ia melebur dosa setahun yang telah lewat.” (HR. Muslim)
Terkait dosa-dosa yang dilebur, merujuk keterangan dalam puasa Arafah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Pendapat mu’tamad seperti yang dipedomani Ibn Hajar al-Haitami diberbagai kitabnya menyatakan, yang dilebur adalah dosa kecil saja. Sedangkan menurut ar-Ramli dan al-Kurdi, yang dilebur termasuk pula dosa besar. Sebab redaksi haditsnya mutlak tanpa keterangan yang membedakan antara dosa kecil dan dosa besar, dan anugerah Allah sangat luas. (Hasyiyah as-Syirwani, III/454).
Anjuran puasa tanggal 9 Muharram berpijak pada hadits riwayat Abbas-radhiyallahu ‘anuh-:
عَنْ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَبَّاسٍ-رَضي اللهُ عَنْهُمَا-يَقُولُ حِينَ صَامَ رَسُولُ اللهِ- صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ- صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ-إِنْ شَاءَ اللهُ-صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ. قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللهِ- صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. (رواه مسلم)
Diirwayatkan dari Abdullah ibn ‘Abbas-radhiyallahu ‘anuhuma- ia berkata saat Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wa sallam- berpuasa hari Asyura dan memerintahkan puasanya. Para Sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, itu adalah hari yang diagunggan orang Yahudi dan Nasrani.” Lalu Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wa sallam-bersabda: “Ketika tiba tahun depan, insya Allah, kami akan puasa pada tanggal 9.” Abdullah ibn ‘Abbas-radhiyallahu ‘anuhuma-berkata: “Maka tahun depan belum tiba sampai Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wa sallam-wafat.” (HR. Muslim)
Dari hadits ini kemudian ulama, seperti as-Syafi’i dan para Ashabnya, Ahmad dan Ishaq, menyunahkan puasa pada tanggal 9 Muharram, karena Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wa sallam-telah meniatinya.
4. Peristiwa Sejarah Hari Asyura (10 Muharram) dan Berbagai Amalannya
Di antara peristiwa sejarah yang terjadi pada hari Asyura/10 Muharram adalah
(1) diterimanya tobat Nabi Adam-‘alaihis salam-,
(2) diangkatnya Nabi Idris-‘alaihis salam-ke tempat yang tinggi,(3) turunnya Nabi Nuh-‘alaihis salam-dari kapal,
(4) selamatnya Nabi Ibrahim-‘alaihis salam-dari api,
(5) diturunkannya at-Taurat pada Nabi Musa-‘alaihis salam-,
(6) dikeluarkannya Nabi Yusuf-‘alaihis salam-dari penjara,
(7) disembuhkannya kebutaan Nabi Ya’qub-‘alaihis salam-,
(8) disembuhkannya Nabi Ayyub-‘alaihis salam-dari sakitnya yang berkepanjangan,
(9) dikeluarkannya Nabi Yunus-‘alaihis salam-dari perut ikan,
(10) disibakkannya lautan bagi Bani Israil,
(11) diampuninya Nabi Dawud-‘alaihis salam-dari kesalahannya,
(12) diberinya Nabi Sulaiman -‘alaihis salam-kerajaan,
(13) diangkatnya Nabi Isa-‘alaihis salam-ke langit,
(14) diampuninya kesalahan yang telah lewat dan yang akan datang dari Nabi Muhammad-shallallahu ‘alaihi wasallam-.
Adapun amalan yang dianjurkan di hari Asyura adalah puasa, melapangkan nafkah bagi kelurga, shalat malam, memberi minuman orang yang membutuhkan, sedekah, mandi dan bersuci, mengusap kepala atau berbuat baik terhadap anak yatim, dan mengunjungi orang sakit. (I’anah at-Thalibin, II/267).
Sumber: aswajanujatim online
*Ust. Ahmad Muntaha AM, Tim Narasumber Aswaja NU Center Jawa Timur
Advertisement