Empat Hal Gerak Dakwah Perlu Ikhtiar Individual dan Kelembagaan
Pada Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makassar 2015 disebutkan Lembaga Dakwah Khusus (LDK) menjadi leading sektor yang menggawangi berbagai komunitas sasaran dakwah.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menegaskan, dakwah khusus ini hadir sebagai ikhtiar Muhammadiyah untuk dakwah komunitas gerakan jamaah dan dakwah jamaah di tempat-tempat 3T (terdepan, terpencil, tertinggal) bahkan di daerah-daerah yang marginal secara sosiologis.
Menurut Haedar, gerak dakwah khusus ini perlu diteguhkan dengan ikhtiar individual, kolektif, kelembagaan secara simultan. Mengapa begitu?
Empat Sebab dan Alasan
Ada empat sebab, dituturkan Haedar, pertama daerah 3T atau daerah marginal di kota maupun desa itu secara realitas memang masih memerlukan para da’i, para penggerak perubahan, dan para fasilitator di tengah perubahan. Hal ini yang menjadi PR bagi Persyarikatan untuk terus memperbanyak sumber daya manusia (SDM) yakni kader-kader anak panah yang terdidik ke sana.
“Mungkin kalau diukur dari jumlahnya masih kekurangan kita itu,” tutur Haedar.
Alasan kedua, menurut Haedar pada umumnya masyarakat di 3T juga daerah marginal dan minoritas di negeri ini tidak jarang hanya menjadi klaim kebanggaan organisasi tertentu. Contohnya saja, orang berbondong-bondong merebut klaim dengan anggota terbanyak dan lain sebagainya.
“Pertanyaannya adalah apakah klaim-klaim politik dan sosiologis seperti itu disertai dengan usaha membina, memberdayakan, dan memajukan masyarakat yang membuat institusi organisasi politik dan kemasyarakatan ini menjadi besar? Karena membawa nama massa, anggota, rakyat yang banyak entah dengan isu wong cilik dan lain sebagainya,” kata Haedar.
Kondisi paradoks seperti ini kata Haedar harus dieliminasi agar masyarakat tidak menjadi alat untuk klaim tanpa disantuni, dibina, diberdayakan, dimajukan, disejahterakan kehidupannya lebih-lebih oleh negara.
Kemudian alasan ketiga, adanya perubahan lingkungan kehidupan atau perubahan sosial sekarang ini dinilai Haedar sudah tidak memiliki pagar lagi. “Sudah masuk ke daerah-daerah terjauh, tertinggal, terdepan bahkan terisolasi secara geografis dan lain sebagainya dan pengaruhnya tentu selain ada hal yang positif selain adanya berbagi ilmu pengetahuan dan informasi tetapi tak kalah juga dampak negatifnya berupa penyebaran informasi, paham, pandangan, yang mencerabut masyarakat dari identitas dan kultur,” jelasnya.
Keempat, lanjut Haedar, adanya dominasi pemikiran atau paradigma top down. “Ketika kita berbicara tentang daerah 3T masyarakat komunal, masyarakat wong cilik, dhuafa mustad’afin, masyarakat tertinggal, alam pikiran pembangunan, negara, partai politik, ormas itu masih didominasi oleh alam pikiran yang top down (berpikir dari atas) monolitik bahwa kemajuan sekaligus ketertinggalan masyarakat setempat itu selalu tergantung pusat, orang jakarta, kekuatan pemilik modal, politik maupun kemasyarakatan secara struktural membawahi menaungi mereka tetapi seperti yang sampaikan pendekatannya top down,” lanjutnya.
Perubahan ke Arah Perbaikan
Justru menurut Haedar kita tidak mengetahui alam pikiran masyarakat setempat. Jika tidak ada perubahan pemikiran paradigma ini khawatirnya kita akan hidup seperti di zaman kolonial dulu.
Diingakan kembali oleh Haedar bahwa zaman kolonial dulu penjajah memang ada banyak yang biasa memberi. Contohnya membangunkan masyarakat fasilitas dan infrastruktur tetapi masyarakat mungkin melihat bagaimana kekayaan negara jajahan di keduk demi kepentingan penjajah.
“Mereka yang negara kecil, penjajah itu menjadi kaya setelah menjajah kita tidak merasa karena diberi kembang gula atau gula-gula yang manis tetapi pahit asamnya lebih banyak daripada kembang gulanya,” terangnya.
Memahami hal tersebut, Haedar mengimbau ormas Islam seperti Muhammadiyah perlu melakukan perubahan paradigma berpikir untuk lebih ke bottom up.
“Karena nanti kalau top down itu biasanya suksesnya sementara misal setelah diberi bantuan sukses sebentar terus pulang, bantuannya habis, masyarakat minta lagi itu akhirnya ketagihan. Tetapi beda misalkan bantuan itu dibentuk dalam bentuk membangun kemandirian. Di situ dibangkitkan potensi lokal, kemampuan setempat yang perlu ada tokoh-tokoh institusi yang menjadi penyambung nanti bantuan itu yang menjadi modal tumbuh dan menjadi kekuatan mereka,” paparnya.
Hal tersebut disampaikan Haedar dalam Seminar Nasional dan Peluncuran Buku “Anak Panah Sang Pencerah: Dakwah Merambah Daerah 3 T (terdepan, terpencil, tertinggal)”, Rabu 26 Januari 2022.