Empat Capaian Mengesankan Ekonomi Indonesia
Pertumbuhan ekonomi selama kurun waktu 2015-2019 memang hanya 5 persen rerata setahun, jauh lebih rendah ketimbang target 7 persen yang dicanangkan pemerintahan Jokowi-JK. Banyak lagi kekecewaan lainnya.
Namun, ada beberapa pencapaian yang mengesankan. Pertama, laju inflasi selama 2015-19, berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), hanya 3,22 persen rearata setahun, dengan rincian:
2015 | 3.35 persen |
2016 | 3.02 persen |
2017 | 3.61 persen |
2018 | 3.13 persen |
2019 (sampai dengan November) | 3.00 persen |
Laju inflasi yang konsisten rendah dan selalu di bawah empat persen merupakan pencapaian istimewa. Tak pernah terjadi selama sejarah Indonesia merdeka laju inflasi sedemikian rendah untuk kurun waktu yang cukup lama.
Penampakan pada peraga di atas tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok selama lima tahun terakhir, yang dsebabkan oleh faktor skala. Selama 1962-68, laju inflasi mencapai tiga digit, bahkan pada 1966 menembus empat digit (1.136 persen).
Peraga berikut menunjukkan perbedaan yang lebih kontras karena tidak ada peristiwa luar biasa atau krisis besar sejak tahun 1998.
Laju inflasi yang rendah menghindari pengikisan daya beli masyarakat dan upah riil. Juga berkontribusi bagi penurunan tingkat kemiskinan. Inilah pencapaian istimewa kedua. Sejak 2016, persentase penduduk miskin selalu mencapai titik terendah sepanjang sejarah, bahkan dalam dua tahun terakhir menembus satu digit.
Jumlah penduduk miskin yang mencapai 25,14 juta jiwa tentu saja masih tergolong besar, masih jauh dari cita-cita kemerdekaan yang pernah dikumandangkan oleh Bung Karno: “Tidak boleh ada kemiskinan di Bumi Indonesia Merdeka.” Percepatan penurunan penduduk miskin harus terus menjadi prioritas utama.
Ketiga, tingkat ketimpangan berdasarkan pengeluaran, bukan pendapatan atau kekayaan, terus mengalami penurunan. Sejak 2016 nisbah Gini (Gini ratio) kembali masuk dalam kategori baik (di bawah 0,4). Nisbah Gini mencapai aras terburuk sebesar 0,412 pada tahun 2012.
Keempat, tingkat pengangguran terbuka terus-menerus mengalami penurunan sampai aras terendah dalam dua dasawarsa terakhir. Tentu masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk menciptakan pekerjaan yang lebih berkualitas di sektor formal.
Keempat pencapaian di atas mencerminkan pertumbuhan yang lebih berkualitas. Modal berharga ini jangan sampai tercampakkan untuk mencapai ambisi yang kurang terukur dan mengorbankan pembangunan berkelanjutan.
Jangan sampai kita kembali terjerembab akibat kanker korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jangan sampai reformasi mengalami kemunduran sistematis.
*) Faisal Basri adalah dosen FEB Universitas Indonesia. Atas seijin yang bersangkutan, artikel ini dikutip dari website pribadinya.
Advertisement