Keluarga Harmonis Tokoh Konghucu Merawat 4 Agama Dalam Satu Rumah
Keluarga pemuka agama Konghucu di Malang, Bonsu Anton Triyono patut dicontoh sebagai keluarga harmonis dan toleran. Ia sudah lama merawat empat agama berbeda dalam satu rumahnya.
Bonsu Anton yang memeluk agama Konghucu memiliki 9 anak yang menganut agama berbeda dari orang tuanya. Tiga anaknya menganut agama Islam, dua menganut agama Konghucu, tiga anak memeluk agama Nasrani dan satu anak memeluk agama Buddha.
Bonsu Anton memberikan kebebasan kepada kesembilan anaknya untuk memilih keyakinan mereka masing-masing saat sudah beranjak dewasa.
"Anak-anak saat masih kecil beragama konghucu. Namun, saat kuliah mereka menemukan pujaan hatinya masing-masing yang beragama berbeda. Dan akhirnya mereka memilih agama istrinya. Saya hanya bisa merestui," ujarnya, saat dihubungi ngopibareng.id, Jumat, 17 Januari 2020.
Kata Bonsu Anton, hidup dalam keluarga yang berbeda agama sudah dilakoninya sejak kecil. Bonsu sendiri lahir dari ibu yang memeluk Islam dan bapaknya yang beragama Konghucu.
"Bapak saya konghucu, ibu islam. Setiap hari yang siapkan sesajen bapak dan ibu saya. Dari situ saya belajar menghormati dan menebar kasih sayang," katanya.
Menurutnya, hidup bersama saling menghormati satu sama lain terasa sangat indah. Begitu juga saat hari raya Imlek, kata Bonsu, semua anak cucunya berkumpul. Mereka makan bersama dan berbagi angpau.
"Biasanya pada hari raya Imlek, anak-anak datang bersama cucu-cucu saya. Mereka membawa makanan untuk dimakan bersama pas hari raya Imlek. Lalu bagi-bagi angpau buat anak dan cucu. Selepas itu saya beribadah di Klenteng," katanya.
Semua anaknya sudah berumah tangga. Mereka juga tidak tinggal di rumah Bonsu Anton yang beralamat di Jalan Mergan Gang 3 Nomor 25, Kota Malang. Sembilan anaknya itu ada yang berdomisili di kawasan Langsep, Gasek, di Jalan Raden Intan, ada juga yang di kawasan Bandulan.
Namun, kata Bonsu, mereka ketika hari raya agamanya masing-masing selalu datang ke rumah dan makan bersama. "Entah pas hari raya Idul Fitri, hari Natal, atau Waisak anak-anak akan kumpul di rumah untuk makan-makan. Dan ini sudah tradisi," katanya.
Bonsu menambahkan, sikap saling menghormati satu sama lain ini diajarkan sejak dini. "Anak-anak juga saya ajarkan begitu. Jika ada saudaranya yang merayakan hari besar, maka mereka akan saling berkunjung. Entah itu bawa makanan atau ngasih uang," kata Bonsu Anton.
Begitu juga ketika perayaan Idul Fitri tahun lalu, tiga anaknya yang beragama Islam akan menyambut tamu saat halal bi halal ke rumahnya.
Sedangkan anak-anaknya yang beragama lain akan menyiapkan makanan untuk makanan untuk jamuan para tamu yang datang. Tapi biasanya makanan itu disiapkan dari rumah sendiri-sendiri.
"Begitupun perayaan hari besar yang lain, semisal Waisak, Natal. Jadi mereka akan membawa makanan ke rumah kakak atau adiknya yang yang merayakan hari besar keagamaan," katanya.
Bonsu Anton menyatakan, sebagai orang tua tak musti datang ketika ada perayaan hari besar keagamaan yang dirayakan anak-anaknya. Tapi, Bonsu mengaku tak pernah lupa memberikan selamat kepada anaknya yang merayakan.
Dalam membangun toleransi di keluarganya, Bonsu Anton selalu memberikan pemahaman melalui analogi menghormati perbedaan kepada kesembilan anaknya.
"Saya mengajarkannya pakai praktik langsung, misalnya ketika saya cubit merasa sakit, anak-anak selalu saya kasih pemahaman kalau merasa sakit, jangan melakukan hal yang sama kepada orang agar kamu tidak disakiti," katanya.
Bonsu Anton berpesan kepada anak-anaknya yang berbeda agama, bahwa dalam beragama jangan hanya mencintai Tuhan, tapi juga cintailah sesama manusia.
"Saya selalu mengajarkan jangan cuma cinta dengan Tuhan, tapi cintailah juga sesama manusia," katanya yang sehari-hari menghabiskan waktunya di Klenteng Eng An Kiong, Jalan Martadinata, kawasan Kotalama, Kota Malang.
Advertisement