Empat + 10 Kesaksian Seorang Sosialis tentang Tragedi 1965 (2)
Imam Yudotomo, figur terakhir penganut ideologi Sosialisme Kerakyatan di Indonesia masih menyebut Tragedi 1965 sebagai “G30S/PKI”. Apa yang sesungguhnya terjadi atas bencana kemanusiaan ini? Ini bagian kedua dari dua tulisan, kesaksian putra Mochammad Tauchid, pendiri Barisan Tani Indonesia (BTI) sebelum diserobot PKI.
5. Tak Ada Dukungan Anggotanya, Pemberontakan Itu pun Gagal
Sekalipun pemerintah Hatta tidak membubarkan PKI, namun akibat pemberontakan Madiun, PKI hancur berantakan. Lalu tokoh-tokoh dan mantan pimpinan PKI berusaha membangun kembali partai tersebut. Dalam usaha ini muncul kelompok D.N. Aidit (M.H. Lukman, Njoto, Sudisman dan Ir. Sakirman) yang disebut sebagai home-grown, yang artinya dibangun di rumah sendiri, di Indonesia. Mereka bisa mengalahkan tokoh-tokoh yang dibangun di Rusia (Alimin, Cs) dan di Australia (mantan Digulis, Budi Sutjitro Cs.).
Untuk menyelamatkan partai dari trauma Madiun, mereka menentukan kebijakan mendukung dan mendompleng Sukarno. Dengan kebijakan itu mereka berhasil mendapat perlindungan Sukarno, bisa menyelamatkan dan membangun partai kembali. Tapi secara ideologis PKI harus membayar mahal. PKI harus meninggalkan ideologi revolusionernya, ideologi perjuangan bersenjatanya. Mereka harus mengikuti langkah-langkah Sukarno yang parlementer.
Dalam usaha membubarkan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), PKI tidak ikut aksi-aksi menolak negara-negara bagian bersama PNI dan Murba, tetapi malah ikut menandatangani Mosi Mohammad Natsir bersama Masjumi, PSI (Partai Sosialis Indonesia), Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), Parkindo (Partai Kristen Indonesia) dan Partai Katolik. Rekrutmen kader juga dilakukan dengan persyaratan yang lunak, bahkan kata Rex Motimer, Indonesianis Australia yang komunis, terjadi kolusi-nepotisme dalam perekrutan tersebut.
Sekalipun CC PKI tetap mempertahankan kelompok romantis ideologis dalam Biro Khusus, tapi PKI tidak mampu memobilisir massa manakala dibutuhkan ketika mereka melakukan Pemberontakan G30S/PKI di tahun 1965. Karena tidak adanya dukungan dari anggotanya, pemberontakan itu gagal total.
Di sini perlu dicatat, sekalipun dengan strategi parlementer, namun PKI sebenarnya sudah hampir kuasa. Mereka sudah masuk kabinet, sudah menguasai parlemen (bersama PNI-Asu), infiltrasi ke dalam tubuh militer sudah joss, sehingga karenanya pemberontakan itu sendiri mengagetkan banyak orang, termasuk para Indonesianis terkemuka.
Para Indonesianis Cornell, misalnya, semula tidak percaya kalau kalau PKI berontak! Mereka menganggap G30S sebagai persoalan intern Angkatan Darat saja.
Catatan:
Ada yang menyebut: Anak PKI yang mayoritas ber-Agama Islam pada tahun 1970an tidak mau mengisi di KTP-nya beragama-Islam, karena trauma bapaknya dibantai sama Islam. Akhirnya kolom agama diisi beragama Katholik! Benedict Anderson, dalam wawancara dengan Radio Netherland, bilang "Katholik = munafik, karena belum minta maaf pada PKI, kalah sama NU, yang melalui Gus Dur, sudah minta maaf..." dan dia sebut juga Kompas, CSIS dan Sofyan Wanandi, yang belum minta maaf.
Imam Yudotomo mengaku agak trauma dengan analisis Ben Anderson itu. “Analisis pertamanya tentang G30S/PKI dalam pandanganku boleh dibilang salah besar, katanya G30S/PKI adalah persoalan intern TNI/AD! Kalau di lapangan yang bertempur memang unsur-unsur TNI/AD, RPKAD versus Tjakrabirawa, Batalyon 530, Batalyon 412, tapi ‘kan bukan berarti hanya masalah TNI/AD sja. Terlalu merendahkan elite PKI dan elite Islam kok bisa diprovokasi. Memangnya mereka bodoh? Soal KTP diisi Katolik, aku rasa kesimpulan yang terlalu ceroboh. Ini ‘kan fenomena individual, bukan fenomena umum. Yang ada ‘kan gagasan kolom agama dikosongkan saja, dan alasannya bukan itu”.
Terkait pernyataan Imam Yudotomo ini seorang kawan berkomentar: "Ya, namanya juga sejarah, tak ada kebenaran tunggal. Sejarah adalah persepsi, makanya berbeda-beda persepsi = berbeda sejarah. Benar-salahnya tergantung persepsi".
6. Posisi Bung Karno Sangat Membingungkan
Posisi dan peran Bung Karno dalam G30S/PKI memang sangat membingungkan. Imam Yudotomo memberi sejumlah alasan.
Pertama, Bila dilihat dari tidakadanya nama Bung Karno di dalam DR (Dewan Revolusi) banyak orang menafsirkan G30S/PKI sebagai kudeta terhadap BK.
Kedua, Tapi kalau kita simak pernyataan Dewan Revolusi yang menyebut adanya DJ (Dewan Jenderal) yang akan melakukan kudeta terhadap Bung Karno dan Dewan Revolusi akan menangkap semua anggota DJ dan menghadapkannya kepada Bung Karno, maka timbul kesan yang kuat kalau DR adalah alatnya BK, yang diperintah BK untuk menangkapi anggota DJ.
Ketiga, Bila kemudian BK berlindung ke (Lapangan Udara) Halim Perdanakusumah, sarangnya Biro Khusus, dan bukan ke KOSTRAD, maka tidak bisa dibantah adanya kesan bahwa BK berada di pihak G30S/PKI.
Keempat, Bila Bung Karno pidato mengecilkan arti kematian 7 perwira TNI-AD (cuma seperti riak-riak kecil dalam gelombang samudra) dan membesar-besarkan jasa PKI (tidak ada partai yang jasanya lebih besar dari jasa PKI dalam perjuangan kemerdekaan) maka otomatis BK dianggap sudah memihak G30S/PKI.
Dalam keadaan seperti itu tampaknya BK ingin tetap membendung kekuatan Soeharto. Padahal diam-diam dia sudah mengkonsolidasi kekuataanya. Dia sudah mengganti Ibrahim Adji dengan H.R. Dharsono di Kodam Siliwangi, mengganti Suryo Sumpeno dengan Surono di Kodam Diponegoro, memperkuat Sarwo Edhie dan Basuki Rachmat dalam posisi masing-masing di RPKAD dan di Kodam Brawijaya.
Tak heran ketika BK ingin mengangkat Pranoto Reksosamudro sebagai KSAD untuk menyingkirkan Soeharto, maka dengan mudah dia bisa menyerang balik dengan memaksa BK menandatangani Surat Perintah (SP) 11 Maret. Dan dengan surat itu dia membubarkan PKI, dan bersamaan dengan itu tamatlah juga riwayat politik BK!
7. Akibat G30S/PKI, Orde Baru Lakukan Depolitisasi Mahasiswa
Selain tragedi kemanusiaan, yaitu terbunuhnya beratus-ribu rakyat yang tidak berdosa, akibat berikut dari G30S/PKI adalah hilangnya idealisme dari sebagian besar kaum muda Indonesia. Dengan alasan politik telah membawa kehancuran bagi bangsa Indonesia (G30S/PKI), maka rakyat Indonesia harus dijauhkan dari politik!
Lalu rezim Soeharto menetapkan kebijakan de-politisasi massa yang melarang semua kegiatan politik di desa-desa. Partai politik dibonsai secara organisasi. Pengurus hanya ada di tingkat kabupaten, sedang di tingkat kecamatan hanya ada 1 orang yang berfungsi sebagai koordinator saja (Korcam).
Di tingkat perguruan tinggi, pada 1978 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Jusuf menetapkan NKK-BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan), yang membuat beban mahasiswa menjadi bertambah, tidak ada waktu lagi untuk memikirkan nasib rakyat, bangsa dan negara. Kalau masih ada waktu sisa, mahasiswa di-iming-imingi ikut semester pendek supaya cepat lulus.
Tak ayal, proses depolitisasi ini lalu menjadi proses deideologisasi! Go to hell with ideology! Otak bangsa Indonesia bukan hanya dicuci, melainkan dikosongkan! Tidak heran bila seminggu sebelum Krisis Moneter terjadi seorang doktor ekonomi pendukung Orde Baru mengatakan bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih sangat kuat!
Imam Yudotomo selalu menyatakan bahwa kedua hal tersebut -- pembunuhan massal dan depolitisasi-deideologi massa -- sebagai dosa Orde Baru yang tak bisa kuampuni!
8. Keadaan Sedang Hamil Tua, BK Sakit
Keadaan ekonomi menjelang meletusnya G30S/PKI bisa dibilang sangat buruk. Harga-harga kebutuhan pokok tiap hari melambung dan menghilang dari pasar. Untuk beli barang atau bahan pokok, orang harus antre, sekalipun hanya untuk beli garam.
Keadaan politik juga tidak menentu. Strategi Kompetisi Nasakom-nya Bung Karno tidak hanya memperkuat PKI, tapi justru menghasilkan konflik kekerasan di lapangan: Pemuda Rakyat/PKI vs GP Ansor/NU, bahkan Pemuda Rakyat vs Pemuda Marhaenis, sekalipun PKI dan PNI sudah rangkulan mesra di tingkat nasional. Inisiatif politik didominasi PKI. Partai Murba yang mencoba lebih rapat dengan BK dipotong habis. Murba dituduh akan membùnuh ajaran Sukarno dengan Sukarnoisme. Murba lalu dibubarkan.
Tapi sekalipun PKI mendominasi, tampaknya TNI-AD mencoba mengimbangi dengan juga mengorganir massa: Mereka mendirikan SOKSI, membangun Badan-badan Kerja Sama dengan militer dan mempermanenkan Sekber Golkar (Sekretariat Bersama Golongan Karya). Jadi di tingkat politik nasional, kekuatan yang riil tinggal hanya PKI dan TNI-AD saja.
Di tingkat internasional tampaknya RI sedang terkucil. RI sudah keluar dari PBB, tapi gagal membangun Conefo (Conference of The New Emerging Forces). Hanya Ganefo (Games of the New Emerging Forces), yang berhasil diselenggarakan, tapi atlet klas 2/3 karena takut kena sanksi IOC (International Olympic Committee).
Di kelompok Non-Blok RI tidak terpilih lagi menjadi pimpinan. Strategi Poros Jakarta-Peking, yang diperpanjang jadi Poros Jakarta-Pnompenh-Hanoi-Peking hanya makin menjelaskan bahwa RI mulai masuk Blok-Kominis. Lebih menyedihkan, Kampanye Ganyang Malaysia gagal di tingkat international, bahkan di tingkat nasional. TNI-AD mulai enggan bertempur lagi.
Oleh salah seorang anggota CC PKI (Anwar Sanusi) keadaan itu disebutnya: Sedang hamil tua! Ditambah dengan info Bung Karno sakit keras, maka kekhawatiran TNI-AD akan memanfaatkannya lebih dulu menjadi makin kuat!
Catatan:
Terhadap masalah ini, Imam Yudotomo mengaku: “Aku pernah ketemu dengan tokoh BTI Batang Jateng sepulang dia dari Pulau Buru. Dia bilang, kesalahan utama PKI mengapa sampai kalah, karena semua dimusuhi! Hehehe… Yakin punya 3,5 Juta anggota dan 18 Juta simpatisan! Hehehe…”
9. Mereka ‘Diinstruksikan’ Memilih PDIP
Sejak masih di zaman Orde Baru, Imam Yudotomo sering berinteraksi dengan orang-orang eks-PKI. Dari mereka ia menjadi tahu siapa-siapa saja yang mereka anggap mengkhianati mereka, yang berbalik menjadi jongos tentara dan bahkan ikut menyiksa mereka! Imam Yudotomo pun mengetahui, seorang intelektual (yang dianggap) kiri yang terkenal sadis yang menjadi interogator dengan julukan Ndoro Kapten! Dan banyak lagi yang lainnya.
Tapi di luar cerita-cerita yang seperti itu, Imam Yudotomo pun dapatkan cerita yang menggambarkan kondisi mereka yang sebenarnya.
Pertama, Sampai terakhir ia berkomunikasi 5 tahun yang lalu (2009), Imam Yudotomo mempunyai kesan, mereka masih sangat traumatis. Hal ini sangat bisa dipahami karena penderitaan dahsyat di masa lalu. Karena itu, yang mereka fokukan adalah soal ”keselamatan diri”.
Karena itu pula mereka tidak mendukung PRD (Partai Rakyat Demokratik), partai anak-anak muda yang sebenarnya juga berusaha untuk mempromosikan Marxisme-Leninisme (sekalipun dibungkus dengan nama Sosialísme-Demokrasi-Kerakyatan/Sosdemkra).
Dalam pemilu-pemilu yang lalu, tampaknya mereka “diinstruksikan” memilih PDIP. Imam Yudotomo menyebut "diinstruksikan" karena ia melihat bahwa sedikit banyak mereka masih terorganir. Tetapi tampaknya hanya mengurus soal-soal keselamatan saja.
Kedua, Imam Yudotomo melihat mereka sudah tidak memikirkan ideologi lagi. Tuntutan mereka hanyalah soal rehabilitasi diri“ saja. Bagaimana bisa jadi guru lagi, bagaimana bisa jadi masinis lagi atau bagaimana bisa jadi pegawai PU lagi. Bahwa di luar sana ada PRD yang secara ideologis akan memberi nyawa mereka lagi, Imam Yudotomo melihat mereka tidak hirau lagi.
Ketiga, Sejak lama, sejak kaum-eksil berbondong-bondong eksodus pindah ke negara-negara Eropa Barat, memang aku pesimis untuk berharap adanya orang PKI yang dielu-elukan pulang ke Indonesia dari pengasingan seperti Musso yang akan mempertajam revolusi Indonesia, atau seperti Lenin pulang dari Swiss untuk memimpin Revolusi 1 Oktober di Rusia.
Apalagi setelah adanya pengakuan Sobron Aidit dari Paris tentang betapa enaknya hidup di negara-negara Eropa Barat yang didominasi ideologi sosial-demokrasi, ”ideologi yang kita perangi selama ini!” Dan memañg benar, ketika kebebasan terbuka di Indonesiña, tidak ada orang semacam itu datang!
Jadi, jalan PKI dalam pandangan Imam Yudotomo, sudah the end. Harus cari jalan lain. Jadi yang diperlukan bukan Agitprop (Agitasi dan Propaganda), melainkan kreativitas untuk menemukan gagasan baru.
10. Dua Soal Pokok tentang G30S/PKI
Dalam posisi I am not a acommunist, and I am not an anti communist, Imam Yudotomo mengajukan penekanan, dengan anjuran agar kalau kita bicara soal G30S/PKI haruslah kita bicara dua soal pokok:
Pertama, Soal pembunuhan beratus ribu rakyat yang tidak bersalah.
(a). Dalam pandangan Imam Yudotomo, pembunuhan ini bukan inisiatif Rakyat, GP Ansor atau Pemuda Marhaenis, melainkan diorganisir, didorong dan difasilitasi oleh pihak militer. Yaitu dengan cara mengeksploitir konflik yang sudah ada (akibat aksi sepihak), dikembangkan dalam skala besar dan luas. Potensi konflik itu tetap dibangun dan dikembangkan oleh militer sampai sekarang (FPI+FBR).
(b). Sebagai bangsa yang beradab, Rakyat dan Pemerintah selayaknya meminta maaf kepada Korban yang tidak berdosa tersebut.
Kedua, Soal peran PKI dalam G30S/PKI, dalam pandangan Imam Yudotomo, PKI terlibat secara aktif karena:
(a). Ketua D.N. Aidit dan Wakil Ketua Polit-Biro CC PKI M.H. Lukman terlibat bahkan ikut memimpin G30S/PKI. Bila dua dari empat orang anggota Polit-Biro (1 orang lainnya, Njoto, sedang diskors) dua orang sudah setuju, maka biasanya keputusan diserahkan kepada Ketua CC PKI. Apalagi ke dua orang yang setuju itu adalah Ketua dan Wakil Ketua CC. Jadi keputusan ke dua orang ini sudah sah secara demokratis. Apalagi dalam sebuah partai komunis yang berasas ”demokrasi- sentralisme”, keputusan yang hanya ditentukan oleh Ketua Polit-Biro adalah hal yang biasa!
(b). Banyaknya kader PKI/Pemuda Rakyat di lapangan yang ”menunggu instruksi” menunjukkan bahwa PKI tampaknya juga mempersiapkan G30S/PKI.
(c). Tapi, Imam Yudotomo lebih suka model penyelesaian Hatta terhadap Peristiwa Madiun (1948), hukum mereka yang salah saja! Benar Musso, Amir Sjarifuddin, Tan Ling Djie, Suripno, Maruto Darusman harus dihukum mati, namun berpuluh-ribu anggotanya terselamatkan. Memang beda, penyelesaian seorang politisi dengan penyelesaian seorang militer!
Dengan memisahkan kedua hal itu, menurut Imam Yudotomo, kita bisa melihat dengan jelas mana yang politik dan mana yang kemanusiaan!
Akhirul Kalam
Catatan Imam Yudotomo tentang tragedi 1965 menurut saya cukup jernih. Saya yakin, dia tidak sedang membela Orde Baru -- satu rezim yang juga memusuhinya karena ideologi sosialisme yang dianutnya. Ia menuturkan dengan objektif: mencermati situasi sejak awal hingga perkembangan jatuhnya rezim Soeharto.
Saya bersyukur berkesempatan beberapa kali dialog, baik dalam forum diskusi resmi maupun diskusi santai, baik di rumahnya di Jogjakarta, maupun di rumah seorang putranya, di Surabaya. Saya pun bersyukur, berhasil memanasi ingatan untuk menulis buku memoar tentang Ayahnya, Mochammad Tauchid. Sang ayah ini pun mewariskan kepada generasi bangsa Indonesia satu buku fenomenal, Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia (terbit 1952, diterbitkan kembali pada 2009 oleh Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Jogjakarta).
Dalam diskusi "Merajut Jejaring Perjuangan" yang menfokuskan pada figur Djohan Sjahroezah digelar Pikir Institute di Gedung Juang di Jakarta pada 2 Desember 2012, Imam Yudotomo mengulas kisah-kisah kecil sang tokoh. Selain ada sejarawan Rushdi Husin dari Universitas Indonesia yang menilik dari sisi struktur masyarakat, saya berkesempatan menyampaikan proses penggalian data Tokoh Pergerakan Bawah Tanah itu, yang berjering dari Cirebon, Kedurus Surabaya, Dampit-Malang. Mereka adalah orang-orang pendukung sosialisme yang dibawa Sutan Sjahrir.
Di Surabaya, sisa-sisa jejaring kelompok Sjahrir (circle Sjahririan) diperkuat Gatut Kusumo – penulis buku Pita Merah di Lengan Kiri, dan sutradara film Surabaia 1945. Juga, Kadaruslan dan Wiek Herwiyatmo, serta Wisjnubroto Herputranto. Ini sekadar catatan seorang santri, yang pernah terpesona dengan daya juang kaum sosialis yang selalu gelisah akan kondisi masyarakat dan berobsesi menjadikan rakyat tidak ditindas dan dilemahkan suatu rezim kekuasaan. Membela orang-orang lemah dan dilemahkan, mereka kaum mustadh’afin yang harus dibela. (Riadi Ngasiran)