Empat + 10 Kesaksian Seorang Sosialis tentang Tragedi 1965 (1)
Imam Yudotomo, figur terakhir penganut ideologi Sosialisme Kerakyatan di Indonesia masih menyebut Tragedi 1965 sebagai “G30S/PKI”. Apa yang sesungguhnya terjadi atas bencana kemanusiaan ini? Ini bagian pertama dari dua tulisan, kesaksian putra Mochammad Tauchid, pendiri Barisan Tani Indonesia (BTI) sebelum diserobot PKI.
Sosialisme Kerakyatan. Demikian model sosialisme yang diajarkan Sutan Sjahrir. Gerakan sosialis telah berperan besar dalam proses membawa bangsa Indonesia merdeka. Kaum sosialis bahkan berani berujar, “tanpa mereka Indonesia tidak akan merdeka dalam bentuknya yang sekarang”. Barangkali, kemerdekaan tak diproklamasikan, melainkan dihadiahkan oleh bala-tentara fasis Jepang. Maka tampillah Sutan Sjahrir, dikenal sebagai tokoh antifasis, muncul memimpin pemerintahan sebagai Perdana Menteri dan Amir Sjarifuddin sebagai Menteri Pertahahan.
Dalam perjalanan bangsa kita berikutnya, di masa Ode Baru, sosialisme dianggap sebagai momok. Pembubaran PKI dan larangan menyebarluaskan ajarannya, komunisme/marxisme-leninisme, telah dimanipulasikan menjadi larangan menyebarluasan ajaran komunisme, marxisme, leninisme, yang menjadikan semua ajaran yang bersumber pada marxisme disamaratakan dan dihancurkan. Akhirnya, di mata rakyat Indonesia, termasuk kaum intelektual, dipahami bahwa sosialisme adalah komunisme!
Trauma peristiwa G30S/PKI, sosialisme dihindari dan dilupakan orang. Apa itu sosialisme, tidak banyak orang yang tahu. Jadi tantangan pertama bagi gerakan sosialis di Indonesia adalah bagaimana menjelaskan apa itu sosialisme kepada rakyat Indonesia. Imam Yudotomo, salah seorang aktivis Sosialisme Kerakyatan, berkesempatan memberi penjelasan.
Seperti kita tahu, di Indonesia, komunis dan sosialis sering dianggap sama karena sumbernya dari Marx. Memang, Sosialisme dan komunisme bersumber sama. Namun banyak hal yang juga berbeda dan bahkan mungkin perbedaan itu menjadi pertentangan yang begitu dahsyat. Bila dicermati, kamp konsentrasi yang dibuat Rusia di Siberia isinya adalah orang-orang sosialis juga. Perbedaanya dapat dilihat misalnya dari cara mencapai kekuasaan. Orang sosialis berdasarkan demokrasi, sementara orang komunis dengan alasan sebelum demokrasi harus dibangun diktator proletariat. Ternyata diktator proletariat itu terjadi berpuluh tahun sehingga sulit dikatakan hal ini sebagai kesementaraan seperti yang dikatakan Lenin.
Sebagai ideologi, sosialisme masih ada sekalipun negara komunis hancur. Menurut Imam Yudotomo, suatu ideologi tidak bisa diberantas. Tentu hal ini menjadi bahan propaganda bahwa kehancuran komunisme itu seolah-oleh menjadi kehancuran ideologi komunisme dan sosialisme secara bersama. Hal ini sama sekali tidak benar. Karena sekalipun keduanya berbicara masalah dunia baru sebetulnya basis konfliknya sama: orang kapitalis neo-liberalis ingin supaya campur tangan negara dalam kehidupan ekonomi itu dihilangkan.
Dalam kesempatan beberapa dialog dengan Imam Yudotomo, seorang penuh gairah bertutur tentang Sutan Sjahrir dan ajarannya. Ia generasi di masa Orde Baru yang fasih bicara sosialisme. Pendiri The Center for Social-Democrat Studies dan Rukun Tani Indonesia (RTI), mengikuti jejak ayahnya, Mochammad Tauchid. Dalam memoir yang ditulis Imam Yudotomo, Mochammad Tauchid Bapak Kami (2015), jelas terlihat betapa nilai ajaran sosialisme mengalir dalam tubuhnya: anak biologis sekaligus anak ideologis. Sosialisme itu pertama-tama adalah soal keadilan social. Perjuangan sosialisme adalah perjuangan untuk merebut atau membangun sumber-sumber kesejahteraan, agar bias dibagi dan didistribusi secara adil. Dalam rumusan Sang Bapak: merebut dan/atau membangun alat-alat produksi dan membagi hasil produksi secara adil.
Bung Imam, demikian kami akrab memanggilnya, karib dengan Wiek Herwiyatmo – sesama kader Sosialisme Kerakyatan kelompok Sutan Sjahrir – memberi peluang bagi saya dalam menggali sumber informasi tentang perjuangan bawah tanah tokoh Djohan Sjahroezah. Dari data obrolan bersama Imam Yudotomo itu, memperkaya informasi yang kemudian terwujud dalam buku Kesabaran Revolusioner, Djohan Sjahroezah Pejuang Kemerdekaan Bawah Tanah (Diterbitkan Kompas Jakarta, 2015).
Kesaksian Seorang Sosialis Indonesia
Di kalangan kaum sosialis Indonesia, Imam Yudotomo begitu dekat di hati. Demikian pula kalangan aktivis yang kemudian menggelorakan perubahan social di Indonesia, di masa Reformasi. Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, pun mengaku memahami alur pemikirannya menyusul terbitnya Biografi Djohan Sjahroezah itu.
Ketika tersiar berita kematian Imam Yudotomo, pada Jumat 27 November 2015, pukul 12.30 WIB di RS Panti Rapih Jogjakarta, sontak mengejutkan pelbagai kalangan, terutama aktivis sosialis Indonesia. Tapi, beruntung saya menyimpan obrolan sebagai catatan penting tentang tragedy 1965. Ia menyebut sebagai “Menyoal Pembunuhan Massal 1965” dan “Ingatan tentang G30/PKI” – pencantuman garis miring PKI, kini menjadi problem penulisan sejarah Indonesia terkini.
Dalam percakapan kami, pada 13 September 2014, Imam Yudotomo menyampaikan pandangannya “Menyoal Pembunuhan Massal 1965”:
“… aku diberi tugas untuk mewakili Gerakan Mahasiswa Sosialis (GEMSOS) dalam Kongres International Union of Socialist Youth (IUSY) di Amsterdam (10-14 September 1967). Oleh Ketuaku, Maruli Silitonga, aku ditugasi untuk memberi informasi tentang apa yang terjadi di Indonesia di tahun 1965, karena GEMSOS diberi kesempatan untuk jadi salah seorang narasumber dalam Commission on Resolution and Recommendation kongres tersebut.
“Aku diminta mewakili GEMSOS untuk memberi komentar pada draft resolusi yang mengutuk pembunuhan atas 100.000 orang oleh kaum reaksioner-kanan dan Muslim-religious-groups in Indonesia sebagai akibat dari konflik-internal Angkatan Darat (the Army). Waktu itu menyebut angka 100.000 sudah dianggap berlebihan.”
Empat Kesaksian Tentang G30S/PKI
Imam Yudomoto lalu memberi penjelasan berikut:
Pertama. Kok cuma 100.000? We think it was much much more! To our calculation, it was about 500.000 people were killed or disappeared. (Kami pikir itu jauh lebih banyak! Menurut perhitungan kami, sekitar 500.000 orang terbunuh atau hilang).
Kedua. Yes, they were killed by the right- reactionary and Muslim religious groups (mainly NU in East Java). But it is also important to say that the nationalist groups were also participated [PNI in Central Java and Bali]. (Ya, mereka dibunuh oleh kelompok reaksioner kanan dan agama Islam (terutama NU di Jawa Timur). Tetapi penting juga untuk mengatakan bahwa kelompok nasionalis juga berpartisipasi (PNI di Jawa Tengah dan Bali).
Ketiga. Pembunuhan itu dilakukan dengan cara mengembangkan, mengadministrasi dan mengorganisir the existing conflict between groups of landless-peasants (BTI, supported by PKI) versus large-land-owners (supported by PNI and bureaucrats), caused by the implementation of land-reform laws. There were so many manipulations, so that the lands supposed to be distributed to the landless-peasants were regained by those large-land-owners, registered by their children. The army takes side in this conflict, supporting those right-reactionary groups, religious groups and nationalist groups by encouraging and facilitating the killing. In most cases, the army provided the list of the victims and facilitating those groups to do the killings (transportation, personals, weapons, money). So the hands of the army were clean.
(…konflik yang ada antara kelompok tani tak bertanah [BTI, didukung oleh PKI] vs pemilik tanah besar [didukung oleh PNI dan birokrat], yang disebabkan oleh pelaksanaan hokum land-reform. Begitu banyak manipulasi, sehingga tanah-tanah yang seharusnya dibagikan kepada para petani tak bertanah itu diambil kembali oleh para pemilik tanah besar itu, yang didaftarkan oleh anak-anaknya. Tentara berpihak dalam konflik ini, mendukung kelompok reaksioner kanan, kelompok agama dan kelompok nasionalis dengan mendorong dan memfasilitasi pembunuhan. Dalam kebanyakan kasus, tentara memberikan daftar korban dan memfasilitasi kelompok-kelompok tersebut untuk melakukan pembunuhan [transportasi, personel, senjata, uang]. Jadi tangan tentara itu bersih).
Keempat. Imam Yudotomo mengatakan pula keterlibatan kelompok romantis-ideologis di dalam PKI (Biro Khusus) yang tetap percaya pada konsep baku komunisme (perjuangan bersenjata), sedang PKI sendiri sebenarnya sudah berwatak partai yang parlementer. Dan tampaknya, peran Biro Khusus ini sudah disetujui oleh Ketua CC Kawan Aidit dan Wakil Ketua CC MH Lukman.
Imam Yudotomo menambahkan, “Seingatku, soal jumlah korban dan soal sebab-sebab awal terjadinya pembunuhan massal itu diadopsi dalam resolusi Kongres IUSY-1967 di Amsterdam itu.”
Selanjutnya, mari kita menyimak catatan dari ingatan Imam Yudoyono tentang G30S/PKI. Terdapat 10 catatan guna memahami peristiwa tragedi kemanusiaan pada 1965 dan sesudahnya.
1. Ingatan tentang G30S/PKI
Pada tanggal 1 Oktober 1965, Imam Yudotomo makan siang bersama seluruh keluarga. Salah seorang adiknya, yang masih duduk di bangku SD klas 5 tiba-tiba ngomong: Katanya ada beberapa jenderal yang ditangkap karena berani melawan Bung Karno (BK)! "Dengar omongannya, kami semua kaget! Pagi itu kami memang tidak mendengarkan berita radio. Waktu itu kami bosan ndengerin RRI karena beritanya cuma propaganda melulu. Kami juga tidak punya televisi. Lagian, siaran teve baru mulai jam 17.00."
Untuk keluarga Imam Yudotomo yang kesadaran politiknya tinggi, berita yang disampaikan adiknya tadi sungguh menarik perhatian mereka semua. "Perlu diketahui juga, ayah adalah seorang kiri yang bukan PKI. Dia ikut mendirikan BTI (Barisan Tani Indonesia) sebelum dikudeta PKI (bersama Wiyono + Sarjono Petruk). Ayah juga ikut mendirikan PS (Partai Sosialis) bersama Amir Sjarifuddin). Apalagi kala itu ada seorang tokoh yang sedang dicari-cari BPI (Biro Pusat Intelejen) yang dipimpin Subandrio sembunyi di rumah kami".
"Secara otomatis, malam itu juga kawan-kawan ayah kumpul di rumah menganalisis kejadian itu. Tidak banyak informasi yang didapat, kecuali daftar nama anggota Dewan Revolusi, pengalaman, pemahaman dan pengetahuan pribadi masing-masing peserta".
Analisis yang mencuat saat itu antara lain:
Pertama. Dari pergaulan kawan-kawan ayah Imam Yudotomo, Mochammad Tauchid, yang hadir dalam pertemuan itu, diketahui bahwa banyak simpatisan PKI yang ada dalam Dewan Revolusi itu.
Kedua. Karena nama Bung Karno tidak ada, maka mungkin ini kudeta terhadap Bung Karno.
Ketiga. Atau mungkin íni usaha Bung Karno untuk menyingkirkan pimpinan TNI-AD yang dianggap mulai mbalelo karena ragu-ragu Ngganyang Malaysia.
Keempat. Atau usaha PKI untuk menyingkirkan pimpinan TNI-AD dan kalau berhasil dilanjutkan dengan menyingkirkan Bung Karno.
"Sampai di situ analisis teman-teman ayah sampai dengan tanggal 2 Oktober, jam 02.30 WIB," tutur Imam Yudotomo.
2. PKI ada di Belakang G30S, bahkan Mempersiapkannya!
Pada tanggal 2 Oktober, Imam Yudotomo mencari info di lapangan tentang apa yang terjadi. Siang itu ia tahu kalau PKI + onderbouw-nya mau mengorganisir rapat umum sore nanti di Alun-alun Utara Jogja untuk mendukung G30S. Imam pun putuskan untuk naik sepeda keliling-keliling melihat rapat umum itu. Ia melihat ternyata pesertanya tidak banyak. ia taksir paling-paling 2.000 orang. Belakangan diketahui, bahwa D.N. Aidit sangat kecewa dengan apa yang terjadi di Jogja. Kalau di Jogja saja cuma segitu, bagaimana di tempat lain!
Info lain yang didapatnya adalah adanya kesibukan yang luar biasa dari pimpinan PR (Pemuda Rakyat) di tingkat lapangan untuk menunggu instruksi!.
Malamnya, 2 Oktober malam ada pertemuan lagi di rumah Mochammad Tauchid, ayah Imam Yudotomo.
Rupanya, info tentang tokoh PR yang sedang ”nunggu instruksi” ini didapat dari mana-mana, dari Semarang, dari Salatiga, bahkan dari Bandung dan dari Jogja sendiri. Malam itu diskusi mengambil kesimpulan: PKI ada di belakang G30S, bahkan mempersiapkannya!
Kesimpulan ini membuat Imam Yudotomo dan keluarganya sendiri menjadi sangat takut! Diputuskan semua harus hati-hati. Malam itu mereka tidak pulang, tidur menggelar tikar di ruang makan. Mengapa? Karena sebelumnya, keluarga ini sudah menjadi sasaran intimidasi elemen PKI. Di Majelis Luhur Taman Siswa, tempat Mochammad Tauchid jadi Sekjen-nya dipasang spanduk: Ganyang Tauchid, kontra revolusi, anti-Nasakom!
Imam Yudotomo mengenangnya: "Anak kost di rumah kami sempat dikroyok dan kepalanya dikampak. Jadi mendengar kalau PKI berada di belakang G30S, justru kami sangat khawatir. Kalau malam ayah + ibu diam-diam mengungsi tidur di gudang tetangga kami".
Ini bukti bahwa tindak kekerasan antara elemen PKI + pendukungnya versus lawan-lawannya sudah terjadi sebelum G30S meletus. Dan PKI berada di leading-position!
3. PKI Menjadi Partai Parlemen, Revisionis
Dari bukti-bukti yang didapat selanjutnya makin jelas keterlibatan PKI dalam peristiwa itu. Bagiku, bukti yang paling sahih adalah keterlibatan Ketua + Wakil Ketua CC PKI D.N. Aidit + M.H. Lukman. Oleh banyak pemerhati, hal ini seringkali dianggap sebagai bukti bahwa PKI tidak terlibat, karena hanya diputuskan oleh 2 dari 5 anggota CC. Tidak demokratis, kata mereka!
Imam bertutur: "Dalam pandanganku, mereka tidak memahami watak, natuur atau origin dari sebuah partai komunis! Mana ada demokrasi, seperti yang ada dalam texbook, dalam sebuah partai komunis? Yang ada adalah demokrasi sentralisme yang memungkinkan semua ini terjadi".
"Di samping itu aku melihat adanya kelompok romantis-ideologis yang masih percaya revolusi bersenjata, sementara PKI sendiri sudah menjadi partai yang parlementer, atau revisionis! Mereka ini mendorong CC PKI untuk kembali ke jalan revolusioner. Celakanya, D.N. Aidit dan M.H. Lukman setuju".
Jadi, dalam pandangan Imam Yudotomo, "keterlibatan PKI dalam G30S sudah merupakan fakta!"
Memang PKI harus dihukum. Tapi, Imam Yudotomo sama sekali tidak setuju dengan aksi pengganyangan PKI yang mengakibatan jatuhnya beratus ribu korban nyawa manusia yang belum tentu kesalahannya. "Aku lebih setuju dengan solusi Bung Hatta ketika menangani pemberontakan Madiun: Hukum mereka yang bersalah (Musso, Amir Sjarifuddin, Maruto Darusman, Tan Ling Jie, Suripno), tapi PKI tidak dibubarkan".
Karena, ia mengaku: "I am not a communist, but I an not anti-communist. I believe in democracy!"
4. Petualangan Elite PKI
Mencermati tragedi 1965, Imam Yudotomo menegaskan pendapatnya, kalau ingat G30S/PKI maka ada dua hal yang diingat:
(a). Petualangan Pimpinan PKI.
Menurut Imam Yudotomo, Ketua + Wakil Ketua CC dan kelompok romantis-ideologis-Biro Khusus-nya harus bertanggung jawab atas petualangan yang mereka lakukan. Imam menyebutnya sebagai "petualangan". Pertama, karena sejak dipimpin Aidit, PKI sudah memilih jalan parlementer. Nah partai yang parlementer kok ngambil jalan revolusioner, perjuangan bersenjata.
Kedua, sebenarnya PKI sudah tinggal selangkah lagi berkuasa. Inisiatif politik sudah ada di tangan mereka, suara di DPR sudah mereka kuasai (bersama PNI Asu [Kabinet Ali-Surachman], infiltrasi ke dalam tubuh militer juga sudah joss. Staf Kodam Diponegoro sudah dikuasai sepenuhnya (Kolonel Suhirman, Cs) kecuali panglimanya (Jenderal Suryo Sumpeno). Tapi rupanya PKI tidak punya kesabaran revolusioner, pengen cepet full-kuasa.
Ketiga, persiapan yang amburadul. Persiapan logistik boleh dibilang tidak ada. Konsumsi untuk kesatuan yang mengepung Istana tidak disediakan. Lebih dari itu, tidak jelas menentukan siapa kawan siapa lawan. Soeharto yang semula dianggap kawan, malah jadi lawan!
Jadi dalam pandangan Imam Yudotomo, "PKI juga ikut bertanggung jawab atas apa yang terjadi selanjutnya".
(b). Pembunuhan massal atas beratus-ribu rakyat yang tidak bersalah, atau yang belum tentu bersalah.
Bagi Imam Yudotomo, yang perlu dicatat adalah bahwa TNI-AD menemukan metode yang bisa membunuh secara massal dengan memanfaatkan pihak lain. TNI-AD berhasil mengembangkan konflik aksi sepihak yang terjadi antara landless-peasants (yang didukung BTI/PKI) melawan petani kaya, yang masih menjadi pemilik tanah yang seharusnya sudah menjadi objek land-reform dan dibagikan kepada landless-peasants (didukung oleh PNI di Jawa Tengah dan Bali, oleh NU di Jawa Timur dan kaum birokrat.
TNI-AD memihak musuh BTI/PKI dan mendorong serta memfasilitasi mereka untuk melakukan pembunuhan terhadap anggota BTI-PKI tersebut. Dengan begitu mereka bisa membunuhi lawan-lawannya tanpa mengotori tangannya. Bahkan, bisa bertepuk dada: Rakyat kok yang mau!
Metode mengeksploitasi konflik ini kemudian dibakukan dan dikembangkan dengan membangun potensi konflik di mana-mana. Untuk mempertahankan Soeharto misalnya, mereka mengorganisir Pamswakarsa (Wiranto-Kivlan). Konon merek jugalah yang mensponsori FPI (Front Pembela Islam), FBR (Forum Betawi Rempuk) dan sejenisnya untuk kepentingan itu nantinya. (Riadi Ngasiran - Bersambung)