Emmy Hafild, Aktivis Lingkungan Resah Saksikan Ketidakadilan
Dalam jajaran aktivis lingkungan hidup, nama Emmy Hafild tak bisa dilepas untuk disebut. Pemilik nama lengkap Nurul Almy Hafild, perempuan aktivis yang tak henti-hentinya mengajak semua pihak untuk peduli akan lingkungan sekitarnya.
Tokoh yang hampir 34 tahun terjun di dunia lingkungan hidup. Emmy Hafild, figur yang peduli sejak dari mahasiswa hingga akhir hayatnya. Beragam posisi diraih: dari Yayasan Indonesia Hijau, WALHI hingga direktur eksekutif Greenpeace Asia Tenggara.
Karenanya, cukup mengejutkan kalangan aktivis di Indonesia ketika mendengar Emmy Hafild meninggal dunia. Ia mengembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta pada hari Sabtu, 3 Juli 2021, pukul 21.17 WIB.
"Innalillahi wainnailaihi raji'un. Kita semua berduka atas berpulang ke Rahmatullah Emmy Hafild," respon Wardah Hafidz, aktivis sosial, ketika mendengar berita duka tadi malam.
Menurut Dhana Dharsono, suami almarhumah, jenazah disemayamkan di rumah duka, Jl Kenanga No. 39 Bintaro, Jakarta. Pemakaman akan dilakukan pada hari Minggu, 4 Juli 2021 pukul 10.00 WIB di TPU Tanah Kusir, AAI Blad 17, Jakarta.
"Mengingat keadaan Covid-19 saat ini kami mengharapkan para pelayat/tamu dapat tetap mengutamakan Prokes 5M. Kami sangat memahami apabila para handai taulan, sanak keluarga, teman-teman tidak dapat hadir untuk melayat," tutur ayah dua putra ini.
"Semoga Almarhumah mendapatkan tempat yang terbaik disisi-Nya, diampuni segala dosanya dan berpulang dalam keadaan Husnul Khatimah," tutur Dhana Dharsono, yang bersama Emmy Hafild dikaruniai dua putra: Arista Dharsono dan Radinka Dharsono. Mereka adalah cucu keluarga besar HR Dharsono dan OK Hafild.
Perjalanan Hidup dan Perjuangannya
Emmy Hafild memang lebih dikenal masyarakat sebagai aktivis yang selalu peduli akan ketidakadilan. Nurul Almy Hafild, nama aslinya, lahir di Petumbukan, Sumatera Utara 3 April 1958. (usia 62 tahun). Dalam setiap geraknya, perempuan aktivis ini selalu mengajak semua pihak untuk peduli akan lingkungan sekiatarnya.
Meski perempuan, jiwa perlawanannya terhadap ketidakadilan sangat kental sekali. Ia rela keluar dari organisasi besar greenpeace karena tidak sesuai dengan hati nuraninya. Ia menganggap strategi greenpeace terhadap kebakaran hutan akibat ulah perusahan besar gagal.
Ada sisa kenangan Emmy Hafild, ketika menulis di akun facebook miliknya pada Kamis 29 Oktober 2015: “Lega rasanya, saya memutuskan untuk berhenti menjadi supporter Greenpeace Indonesia. Karena saya kecewa dan marah dengan strategi constructive engagement Greenpeace dengan perusahaan besar (Sinar Mas, APRIL, APP dan WILMAR) yang terlibat dalam kebakaran lahan gambut".
Sikap keras Emmy terhadap kezaliman ini sebetulnya sudah tumbuh saat keluarganya mendapatkan perlakuan tak mengenakan pada waktu kecil dulu, di Pertumbukan, Sumatera Utara. Ia anak seorang pegawai perkebunan sekaligus pendukung Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Saat itu PSII dianggap terlarang oleh Rezim Orde Baru.
Emmy menghabiskan waktu kecilnya di kota kelahirannya. Saat Emmy baru menduduki bangku SMP, pengalaman pahit ia rasakan. Ia dan keluarganya menyaksikan langsung sang ayah ditangkap oleh pihak berwajib tanpa alasan yang jelas. Ayahnya sebagai tulang punggung keluarganya harus berakhir di penjara karena dituduh korupsi. Padahal menurut keluarganya, penangkapan ayahnya sebetulnya karena sang ayah tidak bersedia menjadi anggota Golkar pada saat itu.
Ditempa Sejak Kecil
Sejak kecil, Emmy sudah melihat ketidakadilan dan diskriminasi yang diterima oleh keluarganya. Selain ayahnya yang dimasukan ke penjara tanpa alasan yang jelas, di kompleks perkebunan, adanya diskriminasi atas penggunaan kolam renang dan biskop yang hanya diperbolehkan digunakan oleh anak staf perkebunan. Sementara yang bukan anak staf tidak diperkenankan menggunakan fasilitas yang sama.
Merasakan diskriminasi dan ketidakadilan, mulailah timbul bibit-bibit penolakannya terhadap ketidakadilan dalam diri Emmy. Saat SMA, ia dan keluarganya pindah ke Jakarta, Emmy yang beranjak dewasa memilih untuk berkuliah di Institut Pertanian Bogor jurusan Agronomi.
Di kampus inilah, ia dan sejumlah mahasiwa lainnya aktif dalam berbagai rangkaian demonstrasi menentang rezim Orde Baru yang otoriter. Ia kemudian mengambil gelar master di Universitas Wisconsin, AS, dalam bidang Ilmu Lingkungan pada 1994.
Penggemblengan di Masa Mahasiswa
Dimulai dari zaman perkuliahannya ia mulai aktif di sejumlah organisasi baik di luar dan dalam kampus. Saat masih menjadi mahasiwi di IPB, ia sudah bergabung dengan organisasi di luar kampus Yayasan Indonesia Hijau dan saat berusia 24 tahun bersamaan dengan kelulusan Emmy dari IPB, ia memutuskan untuk terjun total di Yayasan Indonesia Hijau karena di organisasi ini cara bekerjanya sangat cocok dengan hobinya, yaitu kerja lapangan. Ia hanya 2 tahun menjabat sebagai koordinator lapangan di Yayasan Indonesia Hijau .
Kariernya di lembaga swadaya masyarakat melesat cepat, ia masuk ke Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Ia menjadi Direktur Walhi selama dua periode kepengurusan.
Lawan Orde Baru
Pada tahun 1998 saat masih tergabung dalam WALHI, ia juga terlibat dalam pembentukan gabungan LSM antikorupsi. Ia juga tercatat pernah melawan Presiden Soeharto. Ia juga mendapat perhatian dari AS dan menjadi orang asing pertama yang beraksi di depan Senat urusan dana bantuan luar negeri dan lingkungan.
Memang, sejak muda ia sudah peduli dengan lingkungan. Tak henti-hentinya ia mengajak semua pihak untuk peduli akan lingkungan sekitar. Lebih dari separuh usianya ia dedikasikan di dunia lingkungan hidup. Ia tercatat pernah aktif di Yayasan Indonesia Hijau, Walhi, hingga Greenpeace.
Bersama Prof Saparinah Sadli, ia juga aktif melawan ketidakadilan dan radikalisme lewat organisasi Perempuan Peduli Kota Jakarta. Itulah Emmy Hafild, sosok yang tidak pernah berhenti belajar, mengembangkan diri, mendorong para juniornya untuk maju Bersama dirinya, agar tetap bermanfaat bagi lingkungan, keluarga atau paling tidak bagi diri sendiri. Dan terbukti wanita kuat ini terus eksis di berbagai bidang, mencintai pekerjaannya dan beliau adalah leader terbaik buat siapapun yang mengenalnya. Itulah yang istimewa dari kepribadian Emmy Hafild.
Aktivitas Cakupan, Lalu Politik Praktis
Kancah aktivitasnya tak hanya di kawasan Indonesia, ia juga aktif di Greenpeace Asia tenggara. Atas kegigihannya dalam dunia lingkungan, Emmy diganjar sebagai Hero of The Planet oleh majalah Time karena upaya dalam kritiknya terhadap Freeport soal penambangan di Irian Jaya.
Membawa spirit pergerakan melalui ide dan gagasan ke dalam perjuangan melalui Partai Politik praktis: Partai NasDem
Ketika usianya menginjak 59 tahun, tepatnya di Tahun 2017, Emmy Hafild memutuskan berjuang, masuk ke dalam sistem dan berlabuh ke Partai NasDem.
“Semoga di usia saya yang tidak muda lagi, Tuhan tetap izinkan saya untuk bisa meneruskan mimpi saya menjadikan Indonesia ke depan jauh lebih baik, khususnya di bidang lingkungan, kemaritiman dan pertanian,” kata Emmy Hafild, ketika itu.
Motto Emmy Hafild mengikuti CS Lewis“ Aging is privilege. You are never too old to set another goal or to dream another dreams.” Ya, beliau adalah satu di antara sedikit kaum YOLD di Indonesia. YOLD, dari YOUNG OLD” sebutan bagi mereka yang berusia 65-75 tahun, yang masih memiliki karakteristik anak muda.
Karena itu Emmy Hafild tetap berjuang di bidang yang digelutinya saat ini di politik meski teramat panjang dan penuh lika-liku. Terakhir saat Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) digelar di Jakarta, ia berjuang melawan ketidakadilan dengan menjadi juru bicara Tim Sukses Badja (Basuki-Djarot).
Ikut Kampanye Pilkada
Ketika masa kampanye Pilkada DKI digelar, sebagai juru bicara, Emmy Hafild rajin ke Media Center Badja di Jl Cemara 19, Menteng, Jakarta Pusat, berbicara apa pun kepada media tentang ketidakadilan yang memang layak disuarakan.
Tak cukup berbicara. Ia pun kerap mengungkapkan kegalauannya tentang Indonesia, politik dan lingkungan melalui tulisan dan tersebar ke mana-mana.
“Semua itu, secara pribadi telah membuat saya semakin dikenal banyak orang. Tapi, apalah popularitas jika apa yang saya suarakan dan perjuangkan tidak terealisasi,” ujar Emmy, saat disorot media.
Dalam suasana seperti itu, ia kemudian ingat nasihat wartawan senior Aristides Katoppo. Lebih dari 15 tahun lalu, Aristides pernah menyarankan Emmy Hafild agar terjun ke dunia politik agar ia bisa leluasa berjuang dan menyuarakan kepentingan masyarakat. “Kamu sebaiknya masuk ke dalam sistem,” ujar Aristides ketika itu.
Emmy tak menggubris saran sahabatnya itu. Ia baru tersadar bahwa masuk ke dalam sistem (politik) dan menjadi anggota DPR misalnya menjadi penting ketika salah seorang pimpinan Partai NasDem, Rerie Lestari Moerdijat, mengajaknya bergabung ke NasDem.
“Tanpa pikir panjang ajakan itu saya penuhi. Inilah keputusan tercepat saya ketika ada yang mengajak bergabung ke partai. Banyak teman yang sebelumnya menawari saya agar bergabung ke partai mereka, tapi tidak pernah saya respons. Namun, begitu saya ditawari ke NasDem, saya langsung terima,” kata mantan Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara ini.
Meradang Saat Keindonesia Diusik
Orang tak mendukung, Emmy Hafild begitu cinta bangsa dan seorang Nasionalis tulen. Ada yang terkesan dalam sikap Emmy Hafild, yang menunjukkan kepribadiannya sebagai anak bangsa. Ketika Agnez Mo menyebut dirinya "cuma numpang lahir di Indonesia", Emmy Hafild berseru keras: "Pindah Saja ke Neraka".
Ketika itu semesta media sosial pada Selasa, 26 November 2019, sedang menghangat karena ucapan Agnez Mo. Sebuah cuplikan video pengakuan Agnez Mo bahwa dia tidak berdarah Indonesia menjadi viral. Penyanyi yang saat itu merintis di jalur internasional mendapatkan kecaman terkait pernyataannya: dia hanya hanya terlahir di Indonesia tapi sesungguhnya ia berdarah Jerman, Jepang dan Cina.
Emmy Hafild berbicara keras menanggapi pernyataan itu. “Pergi ke neraka Agnez Mo! Kamu tidak berharga menjadi orang Indonesia,” tulisnya di akun Facebooknya. Melalui pesan di Whatsapp, Emmy mengizinkan komentarnya mengenai Agnez Mo.
Emmy menuturkan, Agnez tumbuh, menghirup udara, dan memulai karir di Indonesia. Indonesia, sudah memberikan kesempatan pertama untuk memulai karirnya sebagai penyanyi. “Kamu bilang bukan orang Indonesia karena tidak setetes pun darahmu orang Indonesia? Karena kamu Kristen dan ini adalah negara mayoritas muslim?” katanya mempertanyakan.
Bagi Emmy Hafild, seharusnya Agnez memahami bahwa tidak ada darah atau gen Indonesia. “Karena gen masyarakat di negara Indonesia itu semuanya bercampur: Afrika, Mongol, India, Arab, Melanesia, Asia Timur, Portugis, Belanda.” Emmy kembali menegaskan, “Kamu orang Indonesia, bukan karena darahmu tapi karena kepribadianmu , di mana temanmu, keluargamu, budaya dan masyarakat yang mempengaruhi.”
Ketika ada berita kepergian Emmy Hafild menghadap ke Rahmatullah, di tengah pandemi Covid-19, tentu kita semua merasa berduka. Belasungkawa pun datang dari para pribadi yang integritasnya terjaga di Tanah Air. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Semoga Emmy Hafild mendapatkan kedamaian di sisi Sang Khaliq, Allah yang Maha Adil.
Alfatihah....! Amiin. (Riadi Ngasiran)