Emha Ainun Nadjib: Jadilah Manusia yang Manusiawi
Nama aslinya: Muhammad Ainun Nadjib. Nama populernya, Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun. Lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953. Dikenal sebagai penyair, dan penulis kolom paling produktif di pelbagai media, termasuk Tempo, Surabaya Post dan Jawa Pos, dan sejumlah media nasional lainnya.
Emha Ainun Nadjib adalah pejalan ruhani yang dikenal sebagai Kiai Mbeling. Kebetulan, hari ini Rabu, 27 Mei 2020 bertepatan dengan hari kelahirannya ke-67. Meski tak dirayakan secara nasional, namun ada juga yang tetap mengingatnya.
Marilah kita terlusuri pesan-pesan Cak Nun, yang kini lebih dikenal dengan panggilan Mbah Nun. Disampaikan dalam pelbagai kesempatan seperti pengajian Maiyah dan Kiai Kanjeng, Bang-Bang Wetan di Surabaya, serta pada acara Padhang Mbulan di Mentoro Sumobito, Kabupaten Jombang:
Bagi Emha Ainun Nadjib, orang yang menganggap orang lain sebagai saudaranya, maka jika saudaranya berbuat salah maka akan diingatkan dengan cara yang baik. Saudara tidak akan pernah mencaci maki apalagi mengkafirkan.
Jikalau memang ada yang dirasa sudah kafir, maka harus diajak bicara dengan baik dan diberi pengertian yang baik pula. Sehingga kehidupan keberagamaan akan terasa jauh lebih baik dan indah.
Mbah Nun pun seringkali meluruskan pemahaman masyarakat tentang berbagai istilah dari sudut pandang etimologisnya. Sebab masyarakat yang tidak tahu asal usul suatu istilah akan lebih mudah ikut-ikutan.
Oleh karena itu, ia selalu menggembor-gemborkan agar masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang cerdas, bukan masyarakat yang pintar.
Selain itu, Mbah Nun selalu mengajak masyarakat agar tidak mudah berburuk sangka. Baginya, buruk sangka merupakan salah satu sebab terjadinya banyak pertikaian dan permusuhan di antara saudara sendiri.
"Saudara, sahabat, guru, orang tua dan semuanya bisa jadi musuh akibat buruk sangka". Oleh karena itu, Mbah Nun mengajak untuk selalu berpikiran positif. "Dengan berpikir positif orang akan lebih bisa mengerti, memahami dan akhirnya timbullah rasa sayang," tuturnya, seperti dilansir di situs Cak Nun.
Orang yang salah besar sekalipun tidak pantas untuk dibenci sebagaimana yang sudah sering dilakukan oleh masyarakat. Tetapi orang yang berbuat salah, dosa, keji, jahat dan lain sebagainya merupakan orang yang harus dikasihani dan diberikan pengarahan agar bisa menjadi lebih baik lagi. Hal ini yang sulit dipahami oleh banyak orang.
Mbah Nun mengibaratkan, orang jahat dan memiliki banyak dosa merupakan orang yang sedang sakit hatinya. Dengan demikian, orang yang seperti itu perlu ditangani secara serius. Semakin banyak dosa ataupun kejahatan yang diperbuatnya, maka semakin parah penyakitnya sehingga harus semakin serius penanganannya.
Kesemua gagasannya itu dilatarbelakangi oleh kedalamannya mengkaji sebuah teks agama. Tetapi untuk bisa dipahami oleh masyarakat, Mbah Nun mengemasnya dengan analogi yang biasa dikerjakan masyarakat.
Dan untuk menarik banyak kalangan, Mbah Nun selalu membawa Kiai Kanjeng. Hal ini bertujuan selain untuk memberikan pemahaman, Mbah Nun pun ingin memberikan hiburan yang mendidik.
Ia tahu betul bagaimana tipikal masyarakat Indonesia yang sangat menyukai hiburan. Tetapi sayangnya kebanyakan hiburan yang ada jarang yang mengandung nilai-nilai sosial.
Oleh karena itu, Kiai Kanjeng merupakan salah satu bentuk metamorfosa seni musik sebagai hiburan yang sekaligus menjadi media penyalur nilai-nilai agama, budaya, sosial dan kebangsaan. Dan yang paling ditekankan Mbah Nun adalah "Jadilah manusia yang manusiawi, bukan yang lainnya".
Demikianlah pesan Emha Ainun Nadjib, sang pejalan rohani dan sangat produktif menulis buku ini. Produktivitasnya pun bikin kagum penulis lain.
"Harus kita akui, dialah yang paling produktif dalam menulis," kata Nirwan Dewanto, penyair dan penulis esai yang cukup dikenal.
Demikian semoga bermanfaat.
Advertisement