Emha Ainun Nadjib, Dididik Sekolah Muhammadiyah Dianggap Dekat NU
Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) mengakui, SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta (MUHI) sebagai bagian isi sejarah hidupnya. MUHI bagi Cak Nun adalah Kawah Candradimuka, di sana ia mendapat pengalaman, pendalaman, dan berbagai macam hal.
“Saya tidak menilai MUHI sebagai MUHI, tapi menilai MUHI di dalam sejarah saya,” ungkap Cak Nun, yang merupakan anak dari pasangan tokoh Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah Jombang Timur ini.
Dirinya juga menyampaikan terimakasih kepada Muhammadiyah secara umum yang telah menyediakan pelayanan pendidikan kepada dirinya, dan bangsa Indonesia pada umumnya. MUHI dalam tahapan sejarah hidupnya adalah Kawah Candradimuka, yang banyak memberikan manfaat pada dirinya saat ini.
“Muhammadiyah secara keseluruhan yang telah menemani saya dan menjadi Kawah Candradimuka sehingga saya merasakan begitu banyak manfaat, begitu manfaat kegembiraan, kegairahan, dan begitu banyak harapan dalam hidup saya, salah satunya karena saya pernah tiga tahun di kelas-kelas gedhek bolong-bolong (dinding bambu lubang-lubang) tahun 69 sampai tahun 70-an,” ungkapnya.
Keluarga di Desa Menturo
Cak Nun lahir di Jombang, Jawa Timur 27 Mei 1953 merupakan alumni MUHI angkatan tahun 1971. Ia lahir dari pasangan Muhammad Abdul Latief dan Chalimah yang keduanya adalah aktivis Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah dari Desa Menturo, Sumobito, Kabupaten Jombang.
Meskipun sekarang dirinya sering dianggap lebih dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU), tapi pada saat usia belasan tahun, Cak Nun mengaku bahwa atmosfer dirinya adalah Muhamamdiyah. Menurutnya hal itu tidak salah, karena berbagai latarbelakang lingkungan orang tua dan dirinya dahulu di Jombang.
Saat diwawancari oleh SM TV beberapa waktu lalu, Cak Nun menyebut perkenalan dengan atmosfer intelektual dirinya pertama kali adalah melalui Muhammadiyah. Ia menceritakan, berbagai kegiatan keumatan yang dilakukan oleh ayahnya memiliki legalitas atas nama Muhammadiyah.
“Saya bergaul dengan semua cabang Muhammadiyah di Jombang, saya Pemuda Muhammadiyah meskipun masih kecil. Saya itu saat berusia belasan tahun diatas 10 sampai belasan itu atmosfer saya Muhammadiyah,” ungkap Cak Nun.
Setelah di Gontor
Memang, dalam catatan hidupnya, setelah keluar dari Gontor, Cak Nun kemudian bertolak ke Yogyakarta, melanjutkan sekolahnya di SMA 1 Muhammadiyah. Setamat SMA, Cak Nun masuk di Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM) dan hanya bertahan selama empat bulan.
Persisnya ketika hari kedua Ujian Semester 1, Cak Nun lebih memilih kuliah di “Universitas Malioboro”, bergabung dengan kelompok penulis muda yang bergelut di bidang sastra Persada Studi Klub (PSK) di bawah bimbingan “maha guru” Umbu Landu Paranggi, manusia sufi dengan kehidupan misterius yang sangat mempengaruhi kehidupan Cak Nun.
Cak Nun memasuki kehidupan sastra bersama dengan rekan-rekannya. Selain melakukan diskusi, sesekali kegiatan melebar dan menjelajah di kampus dan kampung.
Beberapa nama turut berkibar bersama Cak Nun, seperti Linus Suryadi AG, Yudhistira Adhi Noegraha, Iman Budhi Santosa, Suwarno Pragolapati, Bambang Indra Basuki, Bambang Darto, dan Saiff Bakham.
Dari sinilah, pengembaraan sosial, intelektual, kultural, dan spiritual berlanjut. Nama Cak Nun makin melesat tatkala ia begitu produktif dalam berkarya. Karya tulis esai, puisi, dan cerpen bertebaran di media massa, juga mementaskan pembacaan puisi bersama Teater Dinasti pada tahun 1980-an.
Tercatat bahwa Cak Nun juga aktif berpartisipasi dalam kegiatan kesenian internasional: Kegiatan teater di Filipina (1980). Sebagai social worker di berbagai daerah Luzon, International Writing Program di Universitas Lowa, Lowa City, AS (1981), Festival Penyair Internasional di Rotterdam (1984), Festival Horizonte II, di Berlin Barat, Jerman Barat (1985)
Selebihnya, Cak Nun juga aktif di berbagai kegiatan kebudayaan dan keagamaan, terutama melalui kampus Institute of Social Studies, Den Haag, Belanda.
Advertisement