Embel-embel Islam yang Jadi Bumerang
Apa yang pernah didawuhkan oleh Gus Dur sekarang terbukti bahwa tidak perlu membawa embel-embel Islam. Nanti kalau berbeda dengan kelompok mereka, maka gampang dituduh sebagai anti Islam, liberal, sekuler dan semacamnya.
KH Cep Herry Syarifuddin menyampaikan renungannya terhadap persoalan dunia Islam di Indonesia akhir-akhir ini. Berikut lanjutannya:
Apalagi kalau ucapan dan tingkah laku partai atau ormas Islam itu tidak mencerminkan akhlaq yang terpuji, maka otomatis akan memperburuk citra Islam itu sendiri.
Sebagaimana statement populer yang menjelaskan :
الاسلام محجوب بالمسلمين
Al-islamu mahjuubun bil muslim
"Islam itu dapat dirusak citranya oleh ulah kaum Muslimin sendiri."
Oleh karena itu, Bung Karno pernah bertutur bahwa Islam cukup diambil "api"nya, esensi, jiwa atau saripatinya. Tidak perlu selalu diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol belaka, tapi kering dari pengamalan jiwa syariat dan akhlaqul karimah.
Ketika Bung Hatta ditanya mengapa lebih memiliki bentuk negara republik yang berlandaskan Pancasila, bukan negara Islam saja, padahal mayoritas penduduknya Muslim. Lalu dijawab oleh beliau : Islam harus seperti garam yang mampu memberi rasa yang kuat pada segelas air, kendati tidak berwarna, ketimbang seperti gincu (pewarna) yang mampu merubah warna air tapi tidak ada rasanya sama sekali.
Jadi ajaran dan nilai-nilai keislaman itu lebih penting diajarkan dan diaplikasikan oleh rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim dalam bingkai NKRI, kendati menjadi negara Islam tapi tingkah laku pejabat dan rakyatnya jauh dari nilai-nilai keislaman.
*) KH Cep Herry Syarifuddin, pengasuh pesantren di Jawa Barat.
Advertisement