Emak Dosen Ngrasani Sri Mulyani
Oleh: Sirikit Syah
Emak-emak dosen pada umumnya gak banyak komentar atas apa yang terjadi di negeri ini. Selain sibuk ngurus BKD (Beban Kerja Dosen) yang harus dilaporkan setiap akhir semester dan membuat RPS (Rencana Pembelajaran Semester) untuks semester depannya, mereka juga disibukkan mengoreksi hasil UAS ratusan mahasiswa. Apalagi kalau UASnya berupa karya. Riuhnya mahasiswa setor karya di ruang dosen yang sempit, cukup bikin pusing. Belum lagi tumpukan paper UAS mahasiswa yang deadline setor nilainya minggu depan.
Selain kesibukan akademik seperti itu, emak-emak dosen juga dilingkupi kendala politik dan domestik. Secara politik, yang katanya Kampus Merdeka itu cuma omong kosong. Bagaimana gak kosong? WAG dosen dilarang bicara politik. Kalau ada dosen yang mengkritik kinerja pemerintah, langsung disemprit. Tidak boleh ada suara beda. Meskipun dosen kampus swasta, rasanya seperti kampus negeri.
Kendala domestik, utamanya gangguan dalam keuangan rumah tangga. Syukurlah gaji emak dosen masih stabil, tapi gaji suami terputus karena PHK atau situasi perdagangan merosot cukup signifikan. Sementara itu, tiga anak harus punya tiga laptop atau HP canggih sebagai sarana utama pendidikan. Yang masih SD butuh pendampingan, dan pak suami yang tak lagi bekerja malah bikin anak stress, karena bantuannya kurang memuaskan. Dibutuhkan oleh atasan, mahasiswa, ekonomi rumah tangga, dan anak-anak, komplet lah kerumitan emak dosen.
“Aku dulu ngajar pakai papan tulis, lalu white board, lalu OHP,” kata Bu Savitri, dosen usia 60-an yang hampir pensiun. Tiga emak dosen tengah maksi bareng di warung pangsit dekat kampus.
“Jadul banget ya, OHP. Kini pakai LCD ya bu?” Bu Puspita yang lebih muda bertanya.
“Iya, tapi jarang sekali. Aku lebih suka tanpa media apa-apa. Medianya ya aku,” tutur Bu Savitri.
“Aku lebih suka tatap muka. Rasanya lebih natural. Bukannya menatap layar, aku dan mahasiswa bisa saling menatap dan berinteraksi,” tutur Bu Savitri. Meski tergolong dosen sepuh, Bu Savitri selalu mencapai nilai tertinggi atau kedua tertinggi dalam EDOM (Evaluasi Dosen Oleh Mahasiswa). Ketika mahasiswa ditanya, jawabannya “Bu Savitri itu kalau menjelaskan sangat jelas, sangat ekspresif, kami mudah mengerti.” Hmm … dosen jadul dan metode mengajar jadul (seperti bermain drama, pakai akting dan gerak tubuh) ternyata lebih disukai daripada yang menampilkan aneka gambar dan animasi di belasan atau puluhan slides.
“Sekian tahun lalu, mahasiswa masih mencatat. Kemudian, memberikan flash disc di akhir jam perkuliahan untuk mengcopy materi ajar. Sekarang ini mereka gak bawa flash disc. Pada motret tayangan slide power point pakai handphone,” kisah Bu Rini. Dua rekannya tertawa kecil, mengiyakan pengalaman yang sama.
Emak-emak smart ini (master dan doktor) gatal ingin membahas situasi politik tanah air. Kan di luar kampus, dan di luar WAG? Bosan yo ngomongin mata uliah, UAS, dan mahasiswa.
“Eh, kalian dengar gak jawaban Sri Mulyani ketika dicecar anggota Dewan mengenai pembiayaan IKN?” tanya Bu Savitri, memancing rekan-rekannya.
“Iya, aku dapat video viralnya.”
“Aku juga. Ternyata Mbak Sri itu tidak cerdas ya ….”
“Atau sengaja … acting nggoblogi, meremehkan pendengarnya, meskipun itu anggota Dewan ..”
“Lha iya, ditanya serius tentang hal penting, bagaimana biaya IKN bisa masuk PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional), yang sejatinya untuk mengentaskan kesulitan rakyat di masa pandemi, tapi dipakai mbangun IKN itu, kok dia jawabnya “Kalau gak boleh ya gak papa …”. Kayak di warung saja. Menurutku, jawabannya selain gak bertanggungjawab, selaku mentri, juga gak sopan blas pada forumnya.”
‘Lha, emang kau pikir Mbak Sri itu pintar tah? Aku dari dulu gak percaya dia pintar. Dia dianak-emaskan saja sama Pak SBY. Saat skandal Bank Century dan BI, yang semua di bawah kendali dan pengawasan dia sebagai menteri keuangan, dia malah lari atau dititipkan ke Bank Dunia,” Bu Puspita geram.
“Iya, bener juga. Dia bolak balik didapuk jadi Menkeu terbaik di Asia yo karena rajin berutang. Yang memberi penghargaan yang kasih utang, kan?”
Sambil menuntaskan suap terakhir mi pangsit, kemudian menyeruput lemon tea hangat, Bu Savitri mengingatkan bahwa waku instirahat sudah habis. “Kita belum sholat lho,” ingatnya.
“Hadew, lagi seru-serunya membahas Mbak Sri, diputus. Yow is lah, balik ke urusan kampus,” kata Bu Rini.
Mereka bertiga beranjak dari kursinya. Bu Puspita membantu pengumpulan uang untuk membayar makanan dan minuman mereka. Di pikirannya berkecamuk urusan BKD, RPS, mahasiswa, anak, suami, uang belanja tekor. Tiba-tiba dia menjadi sangat jengkel pada Sri Mulyani yang menjawab seenaknya untuk hal sepenting itu. (30 Januari 2022)
*Sirikit Syah, Doktor Komunikasi, tinggal di Surabaya.
Advertisement