Eksperimen Demokrasi Liberal Tahap II
Sila keempat Pancasila: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hilmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan" menunjukkan bahwa kita adalah negara demokrasi khas yang berbeda dengan demokrasi liberal (Barat). Kata “kerakyatan” dalam sila keempat sebagai padanan kata “demokrasi" atau pemerintahan oleh rakyat bukan “pemerintahan di bawah Raja".
Secara eksklusif sila keempat menegaskan bahwa suatu demokrasi yang berbeda dengan demokrasi liberal (Barat) yang individualistis dan sekularistis. Sebaliknya demokrasi Indonesia dipimpin oleh hikmah (nilai Ketuhanan), musyawarah (bukan didasarkan suara mayoritas semata) dan perwakilan yang berarti, selain mewakili partai politik juga unsur masyarakat yang eksis mewakili unsur yang tidak terwakili dalam parpol.
Dalam perjalanan sejarah demokrasi, Indonesia pernah mengalami era demokrasi liberal (1955 - 1959), demokrasi terpimpin (1959 - 1966)-dan demokrasi Pancasila (1966 - 1998).
Sejak reformasi hingga saat ini, Indonesia cenderung menerapkan demokrasi yang liberalistik dengan sistem pemerintahan presidensiil. Sejauh ini demokrasi Indonesia dikatagorisasikan “sebagai demokrasi prosedural”. Dengan kata lain pemilu hanya menjadi alat legitimasi politik/kekuasaan dan sebaliknya tidak menghasilkan tata kelola pemerintahan yang effektif dan optimal.
Faktor utama penyebabnya adalah sejak amandemen UUD '45 pada era Reformasi kita mengubah pasal 28 UUD dengan mengadopsi Universal Declaration of Human Rights. Pasal 28 yang sebelumnya hanya terdiri dari “satu kalimat“ tersebut berubah menjadi pasal 28 a sampai pasal 28 J. Pasal 28 UUD tersebut merupakan copy paste dari Universal Declaration of Human Right’s.
Perubahan. secara mendasar tersebut mengakibatkan substansi demokrasi ala UUD 2002 menjauh dari cita-cita Pendiri Bangsa. Kita mengagungkan nilai-nilai individualisme Barat dan mengurangi kadar nilai-nilai kebersamaan atau komunalisme. Selain hak individu, kita mengenal hak ulayat yang kini terkena erosi. Jutaan hektar hak tanah ulayat jatuh ke tangan pemilik modal raksasa. Dalam bahasa agama Islam, fardlu kifayah menjadi tenggelam dan hanya fardlu 'Ain yang ditonjolkan. Pada hal keduanya harus seiring dan sejalan. (Bersambung).
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat sosial politik, Mustasyar PBNU periode 2022-2027, tinggal di Jakarta.
Advertisement