Eksperimen Demokrasi Liberal Babak II
Kita pernah melakukan eksperimen demokrasi liberal melalui pemilu bebas-rahasia (1955) meniru sistem demokrasi liberal Eropa Barat. Perdana Menteri dipillih oleh parlemen dan menjadi kepala eksekutif , sedangkan kekuasaan Presiden bersifat seremonial, hanya sebatas sebagai Kepala Negara tanpa otoritas politik yang memadai. Hasilnya adalah instabilitas sosial-ekonomi-politik serta keamanan berupa pemberontakan bersenjata, antara lain, PRRI/Permesta dan DI TII. Pergantian kabinet juga sering terjadi, setahun bisa 3 - 4 kali.
Presiden Sukarno kecewa dan dengan dukungan ABRI mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang pada intinya kembali ke UUD 1945. Bung Karno menamakannya dengan “Demokrasi Terpimpin” , yang menegaskan bahwa kewenangan parlemen dikurangi sedemikian rupa beralih ke tangan Presiden.
Demokrasi Terpimpin mengalami kegagalan secara ekonomi dan politik domestik, tetapi berhasil dalam politik luar negeri dengan kembalinya Irian Jaya (Papua) ke tangan Ibu Pertiwi. Bung Karno juga berhasil menjadikan Indonesia sebagai pemimpin terdepan negara-negara sedang berkembang lepas dari penjajahan kolonial Barat.
Presiden Soeharto mencoba memperbaiki sistem demokrasi dengan apa yang dikenal dengan "Demokrasi Pancasila”. Orientasi ideologis partai politik diganti dengan orientasi pembangunan ekonomi, dengan melakukan penyerderhanaan sistem kepartaian.
Secara teoretis mungkin benar, tetapi dalam pelaksanaannya menimbulkan reaksi terhadap dominasi militer di bidang politik. Namun perlu digarisbawahi, dalam era pemerintahan Presiden Soeharto kita menyaksikan apa yang disebut dengan “masa mengambang" (floating mass) yang merupakan modal dalam pengembangan demokrasi selanjutnya.
Krisis Moneter dan Reformasi
Jatuhnya Orde Baru sebagai akibat krisis moneter regional, menimbul kan tuntutan terbukanya ruang demokrasi yang luas, meskipun belum ada platform bersama tentang demokrasi yang hendak dibangun dan disepakati. Ketika aktivis Pro-Demokrasi mulai bangkit untuk memperjuangkan demokrasi dan keterbukaan, secara tidak disadari demokrasi yang terwujud adalah demokrasi liberal dan bersamaan dengan itu masuklah infiltrasi Neo-Liberalisme.
Di sisi lain saat itu Dana Moneter Internasional (IMF) menekan Indonesia untuk mempraktikkan liberalisasi ekonomi dan liberalisasi sosial-politik. Maka sempurnalah negeri ini terjerembab ke dalam jurang liberalisme politik - liberalisme ekonomi, bahkan menuju liberalisme sosial.
Inilah akar gagalnya eksperimen demokrasi liberal kedua, berupa maraknya transaksi di semua level kehidupan yang mengancam kerusakan seluruh sendi negeri yang kita cintai. Maka seyogyanya kita merenungksn tentang situasi mutakhir ini untuk memperoleh jalan keluar sesuai dengan Cita-cita Proklamasi Kemerdekaan.
Akhirnya, tercatat bahwa pangkal persoalannya dalah Pasal 28 UUD 1945 telah diamandemen mengikuti Neo-Lib itu.
Nah, yang bisa melakukan perubahan lagi ya MPR dan masalah politik, bisanya kita ya berwacana dan bicara dengan para anggota Dewan.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat sosial politik, Mustasyar PBNU periode 2022-2027, tinggal di Jakarta.
Advertisement