Ekspedisi Santri Alas, Berburu Mata Air di Pegunungan
Kelompok pecinta alam Wana Rescue Santri Alas sudah enam bulan ini punya misi mulia. Mereka bertekad menjaga dan melestarikan hutan di lereng kaki Gunung Klotok di Kelurahan Pojok, Kecamatan Mojoroto, Kediri, dan Gunung Wilis di Desa Joho, Kecamatan Semen.
Wujud kepedulian terhadap lingkungan tersebut mereka buktikan dalam kegiatan berburu sumber mata air di lereng kaki pegunungan. Dari lima orang yang melakukan ekspedisi pencarian sumber mata air, dua orang masih berstatus pelajar SMA. Usia mereka baru 18 tahun. Meski tergolong masih remaja, namun mereka sudah memiliki jam terbang yang cukup mumpuni dalam melakukan pendakian dan penelusuran di hutan.
"Tujuan kita mencari sumber mata air, karena ada sejumlah titik rawan rentan terjadinya kebakaran hutan tahun ketika musim kemarau. Kalau tidak segera ditemukan sumber mata air, apabila terjadi kebakaran paling tidak teman teman rescue atau tim SAR yang ke sana membantu proses pemadaman, agar tidak kehabisan air minum," terang Aji, Ketua Wana Rescue Santri Alas.
Sembilan Jam Perjalanan
Butuh waktu menginap dua hari dua malam, untuk menemukan sumber mata air di lereng kaki Gunung Wilis. Sangat tidak mudah untuk menemukan sumber mata air mengingat jarak tempuh yang harus dilalui sekitar sembilan jam dengan menempuh jalan kaki. Rombongan ini harus menyusuri hutan tebing punggung naga.
"Kita temukan dua titik sumber. Namanya sumber sendang, itu jalurnya punggung naga. Jalur sebelum situs Watu Semar. Kita naik lagi perjalanan sekitar kurang lebih empat jam sampai ketemu sumber lagi. Itu posisinya mepet tebing. Tebing yang arah ke Candi Limas ketinggian lebih 2241 mdpl. Kita namakan sumber padas,” jelas Aji.
Sumber mata air sumber sendang, berasal dari bawah pohon. Sementara mata air sumber padas dari bawah batu padas. Kualitas airnya sangat jernih. “Perjalanan dari titik nol Joho Kelir sampai ke Candi Limas perlu waktu sembilan jam perjalanan,” sambung Aji.
Selama perjalanan, pandangan mata tim Wana Rescue Santri Alas diselimuti kabut tebal. Jarak pandang hanya radius setengah meter. Tim terpaksa bermalam di Puncak Kelir. "Kita namakan Puncak Kelir karena posisi kita di pegunungan mentok, dekat tebing. Di sebelah kiri terdapat air terjun Lawe,” tutur Aji.
Beda Sumber Air Gunung Wilis dengan Gunung Klotok
Setelah berhasil menemukan dua mata air tersebut, tim langsung memberikan tanda berupa kain dan tulisan sumber mata air yang ditempelkan di pohon. “Kita kasih tanda kain kotak-kotak kebetulan ada pohon cemara. Jadi kalau dari punggung naga ujung dilihat ke bawah kelihatan, karena posisinya mepet ke tebing. Lokasinya jarang dilewati pendaki karena medannya ekstrem medanya,” jelas Aji.
Selama kurun waktu enam bulan melakukan giat ekspedisi sumber mata air di lereng Gunung Wilis dan Klotok, Aji dkk sudah berhasil menemukan 20 sumber mata air. "Di lereng Gunung Wilis kita temukan dua sumber mata air. Kalau di lereng Gunung Klotok kita temukan hampir 18 sumber mata air, dari timur sampai ke barat," cetusnya.
Aji menyebut sumber mata air yang ada di dua pegunungan tersebut memiliki karakter yang berbeda. "Sumber mata air di Gunung Klotok warna airnya agak putih. Karena di sana sumber mata airnya pada umumnya padas, jadi airnya tak tersaring tapi sangat aman untuk langsung dikonsumsi atau diminum. Tapi kualitas sumber mata air lereng Gunung Wilis lebih bersih," ujar dia.
Kejadian Mistis
Selama perjalanan mencari sumber mata air ini, tim ekspedisi mengalami pengalaman spiritual. Aji mengaku dirinya mendadak merasakan sakit di bagian perut sebelah kiri. Rasa sakit tersebut dialaminya ketika ia bersama empat orang temannya sedang berjalan menyusuri jalan di puncak Candi Limas.
“Kondisi jalan terjal dikelilingi bebatuan, maka tim terpaksa harus jalan merambat sambil sesekali berpegangan pada batu dan pohon,” tuturnya.
Rasa sakit di bagian perut, lanjut Aji, mendadak dirasakan ketika ia memegang dan melewati lempengan batu berukuran tinggi 1,5 meter. "Setelah pegang lempengan batu itu, spontan perut saya sakit. Saya lalu berdoa semampu saya, setelah melewati lokasi itu sudah tidak terasa sakitnya. Waktu saya pegang, batu terasa sangat panas, padahal cuaca saat itu berkabut dan dingin," kenang dia.
Awalnya, Aji menduga rasa sakit di perutnya karena kram. “Asumsi saya awalnya perut kram, tetapi biasanya kalau perut kram kan durasnya lama. Tetapi anehnya setelah batu sudah saya lewati rasa sakit itu, tiba-tiba hilang," bebernya.
Masih di lokasi yang sama, Aji merasakan fenomena mistis. Ia mendengar suara panggilan dari temannya. "Di Candi Limas karena posisi saya sebagai penyapu di belakang, tiba-tiba ada suara teman saya, Faisal Dan Deka seperti ditirukan makhluk halus, padahal jaraknya lumayan jauh. Saya survei sampai bolak-balik dua kali awalnya di depan, saya datangi tidak ada, kemudian suara itu terdengar lagi di belakang ketika saya datangi lagi juga tidak ada," cerita pemilik nama lengkap Joko Suprayitno ini.