Imlek Sepi Tanpa Potehi dan Barongsai di Kediri
Perayaan Tahun Baru Imlek di Kota Kediri dipastikan tidak semeriah tahun sebelumnya. Penyebabnya, karena masih dalam situasi pandemi. Padahal, ada yang selalu dinanti-nanti warga Kediri saat perayaan Tahun Imlek yaitu pentas wayah potehi dan atraksi barongsai.
Yayasan Tri Darma sebagai pengelola kelenteng Tjoe Hwie Kiong yang biasa menyelenggarakan dua pentas tersebut, memastikan sudah memangkas dua pertunjukkan itu.
"Tahun baru Imlek ke 2572 tahun ini, kita lebih fokus beribadah berdoa. Agar pandemi Covid-19 segera berakhir. Itu pun dibatasi hanya 10-20 orang saja," kata Halim Prayogo, salah satu pengurus Yayasan Tri Darma.
Meniadakan pentas wayang potehi dan barongsai ini sebenarnya termasuk 'berat' bagi Yayasan Tri Darma. Pasalnya, menampilkan dua pertunjukkan ini sudah menjadi semacam tradisi saat perayaan Imlek.
Apalagi wayang potehi. Wayang ini biasanya hanya bisa disaksikan saat Imlek atau memperingati kelahiran Dewa Air atau Mak Coy. Dewa Air atau Mak Coy ini juga yang menjadi sesembahan di kelenteng Tjoe Hwie Kiong.
Wayang potehi adalah wayang boneka yang terbuat dari kayu dibalut kain. Sang dalang akan memasukkan tangan mereka ke dalam kain tersebut dan memainkannya layaknya wayang lainnya. Kesenian Tionghoa ini diperkirakan sudah berumur 3000 tahun lebih.
Wayang potehi bercerita tentang kehidupan para dewa dan peperangan. Cara mainnya pun hampir sama dengan wayang lainnya. Bedanya, wayang potehi bisa dimainkan oleh dua orang dengan menggunakan empat tangan.
Biasanya, untuk menggelar pertunjukan wayang potehi, Yayasan Tri Darma harus mendatangkan dalang dari Jombang.
"Dulu dalangnya dari Kediri, tapi sekarang sudah almarhum. Karena sudah tidak ada lagi, akhirnya kita panggil dalangnya dari Gudo Jombang," kata Halim.
Kata Halim, meski wayang potehi berasal dari Tionghoa, namun ada sejumlah dalang yang memainkannya menggunakan bahasa campuran. Bahasa Mandarin, Jawa dan Bahasa Indonesia.
Biasanya, jalan cerita yang dipakai ada sekitar 5-10 kisah. Antara lain kisah peperangan dewa kebajikan melawan kejahatan. Durasi pertunjukan biasanya antara dua sampai tiga jam.
"Biasanya dilaksanakan dua sesi, yakni mulai pukul 15:00 WIB sampai pukul 17:00 WIB. Kemudian sesi kedua dilanjutkan sekitar pukul 17:00 sampai 20:00 WIB. Tergantung permintaan tuan rumah," ujar Halim.
Seperti halnya kesenian wayang kulit yang mulai ditinggalkan generasi muda, wayang potehi pun bernasib sama. Wayang potehi, kata Halim sekarang sudah mulai ditinggalkan generasi milenial. Generasi milenial sekarang, sangat jarang yang suka atau bahkan paham soal wayang potehi.
Padahal, dulu-dulu saking antusiasnya warga untuk menyaksikan wayang potehi, ada seorang donatur yang mau memberi sejumlah uang agar pentas wayang potehi bisa main setiap hari selama tiga bulan berturut-turut. Halim ingat betul, itu terjadi saat perayaan ulang tahun Mak Coy.
Kini setelah semakin ditinggalkan oleh generasi milenial, Halim menjadi semakin sedih karena harus menghapus wayang potehi dalam perayaan Imlek tahun ini. Penyebabnya, apalagi kalau bukan karena pandemi.
Padahal, selama ini Kelenteng Tjoe Hwie Kiong berusaha selalu mementaskan wayang potehi. Tujuannya, agar terus dikenal generasi milenial. Caranya, dengan menggelar rutin pertunjukkan. Seperti saat perayaan Imlek seperti sebelum pandemi.
Advertisement