Eks ISIS, Mantan Napiter Usaha Bikin Permen ala Yupi di Malang
Syahrul Munif, usia 40 tahun, sudah banyak merasakan asam garam di dunia terorisme. Pada 2014, pria asal Singosari, Kabupaten Malang itu ikut deklarasi organisasi Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Suriah. Pada 2017, Syahrul ditangkap oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 dan bebas pada 2019.
Setelah bebas kini Syahrul sudah memiliki bisnis sendiri. Tiga tahun setelah kebebasannya, perangainya berubah total. Ditemui di Balai Pemasyarakatan (Bapas) Malang, pria dengan janggut tipis itu tampak ramah.
Wajahnya teduh, tiap pertanyaan dijawab dengan lugas. Sesekali ia tersenyum, melemparkan guyon dan mengenang masa lalunya. “Saya dulu orangnya eksklusif. Tidak mau membaur dengan orang,” ujarnya pada Sabtu 4 Juni 2022.
Sikap eksklusivisme ini kata Syahrul sangat identik dengan ciri-ciri orang yang sudah terpapar paham radikal. Cenderung tertutup dan tidak mau menerima ajaran lain karena dianggap thogut. “Ciri radikal pertama dia memandang negara ini adalah negara thogut tidak memperlakukan hukum Islam secara penuh,” katanya.
Syahrul sejak kuliah di salah satu kampus swasta di Kota Malang pada periode 2000 hingga 2004 memang memiliki pemikiran yang kritis terkait pandangannya terhadap negara. “Sebelum masuk organisasi Jama’ah Ansharut Tauhid (JAT) pada 2008 saya sudah beraliran keras, saya sudah ada sisi thogut,” ujarnya.
Saat itu Syahrul memandang bahwa memperjuangkan berdirinya negara Islam adalah salah satu bentuk jihad. Bahkan, pada 2014 ia rela terbang ke Suriah. Saat perang sedang berkecamuk di negeri timur-tengah tersebut. Di sana Syahrul siap mati, ia ingin sahid. “Saya berpikir saya ke Suriah latar belakangnya adalah kemanusiaan, saya siap untuk jihad,” katanya.
Namun sesampainya di Suriah, dia mulai melihat keanehan dari ajaran ISIS. Perangai Abu Jandal menurutnya sudah bertentangan dengan ajaran yang selama ini ia terima. Sebelum melihat langsung gerakan ISIS di sana.
“Mereka memenggal kepala orang dan memvideokannya. Kelompok yang tidak bergabung dianggap kafir. Ini kan menurut saya seperti Khawarij. Mudah memurtadkan orang,” ujarnya.
Karena melihat ajaran ISIS yang bertentangan serta faktor keluarga, Syahrul lalu memutuskan untuk pulang ke Indonesia dan meninggalkan cita-citanya untuk mendirikan negara Islam.
Tiga tahun kemudian, yaitu pada 2017, Syahrul ditangkap oleh Densus 88 atas keterlibatannya bersama ISIS di Suriah. Dia divonis tiga tahun penjara dan dibebaskan pada 2019 setelah mendapat remisi.
Pasca bebas, kini Syahrul sudah memiliki usaha sendiri yaitu permen yupi dengan perisa buah-buahan mulai dari pisang, jeruk, nanas dan lain-lain. Produknya tersebut diberi merk Calyna Candy.
“Motivasi saya berusaha, sama seperti saya siap mati saat berada di Suriah. Saya tetap ingin jihad. Tapi melalui jalan lain,” katanya.
Kini produk permen yupin-ya tersebut tiap pekan mendapatkan pesanan sekitar 300 pieces lebih. Ia menjual Calyna Candy di sebuah toko oleh-oleh di Malang.
“Islam itu kan ajaran rahmatan lil alamin. Membuat nyaman orang lain. Dengan saya membuka usaha ini saya membuka pintu rahmat berupa rezeki kepada orang lain. Mulai dari petani buah, mereka yang menjual pupuk, para karyawan saya,” ujarnya.