Ekonomi Syariah Bukan Hanya soal Riba, Ini Penjelasan Gus Nadir
"Sampai saat ini fokus utama diskusi ekonomi Syariah masih berkisar soal riba atau tidak riba. Bahkan setelah MUI pada 1991 mendirikan Bank Muamalat, dan kemudian keluar Fatwa MUI tahun 2004 yang mengharamkan bunga bank, masih banyak yang tanya ke saya mengenai hukum bunga bank dan status mereka yang bekerja di bank konvensional."
Demikian Prof Nadirsyah Hosen, dosen senior Monash Law School, Autralia mengawali penjelasan soal Ekonomi Syariah yang sekarang menjadi perhatian umat Islam. Untuk memperluas wawasan, berikut penuturan lengkap Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand:
Riba itu jelas haram, tetapi apakah bunga bank termasuk riba? Di sini sebenarnya para ulama berbeda pendapat, sebagaimana persoalan fiqh lainnya. Kalau MUI tegas mengharamkan, di Mesir ceritanya berbeda. Tahun 1965 Majma' al-Buhuts al-Islamiyah mengeluarkan fatwa bunga bank termasuk riba dan karenanya haram. Namun pada tahun 2002 lembaga ini mengeluarkan fatwa baru yang menyatakan bunga bank itu halal.
Sayyid Thantawi (saat itu Grand Syekh al-Azhar) dan Syekh Nasr Farid Wasil (saat itu Mufti Mesir) juga berpendapat bunga bank itu halal karena tidak termasuk riba yang diharamkan al-Qur'an. Fatwa Sayyid Thantawi dan Syekh Nasr Farid Wasil ini dipersoalkan oleh ulama kaliber dunia lainnya semisal Syekh Yusuf Qaradhawi dan Syekh Wahbah al-Zuhaili.
Mana yang benar fatwanya? Wa Allahu a'lam bi al-shawab. Terserah saja mau ikut fatwa dari Mesir atau dari Indonesia.
"Saya juga terkejut ketika barang yang sudah dibeli di Australia boleh dikembalikan atau ditukar dengan alasan apapun. Barangnya tidak rusak, tapi setelah sampai rumah kita berubah pikiran, maka dengan membawa bukti pembelian barang tersebut bisa kita kembalikan. Prosesnya simpel dan tidak ada kerumitan. Dalam fiqh klasik ini yang disebut hak khiyar".
Menurut saya energi kita terlalu dihabiskan membahas masalah bunga bank itu riba atau bukan riba. Padahal ekonomi syari'ah lebih besar dari sekedar masalah itu. Orientasi kita melulu pada soal dosa atau tidak dosa, bukan pada bagaimana kita memberi kemanfaatan pada manusia. Saya ingin kita menggeser diskusinya pada aspek perlindungan konsumen.
Sewaktu saya datang ke Australia tahun 1997 untuk sekolah, saya terkejut mendapati bahwa di negara "kafir" ini hak-hak konsumen dijaga betul. Di tanah air, konsumen dibohongi dengan sale atau diskon 30%-50% setiap hari. Ini gak masuk akal secara kalkulasi ekonomi. Yang terjadi adalah harga sudah dinaikkan dan kemudian dibilang sale atau diskon. Ini pembohongan terhadap konsumen. Di Australia, kalau diskon selama periode tertentu ya jelas memang ada potongan harga, yang kemudian akan kembali ke harga normal setelah masa sale berlalu. Jadi, kita bisa lihat perbedaan harganya.
Saya juga terkejut ketika barang yang sudah dibeli di Australia boleh dikembalikan atau ditukar dengan alasan apapun. Barangnya tidak rusak, tapi setelah sampai rumah kita berubah pikiran, maka dengan membawa bukti pembelian barang tersebut bisa kita kembalikan. Prosesnya simpel dan tidak ada kerumitan. Dalam fiqh klasik ini yang disebut hak khiyar. Saya ceritakan kepada Abah saya saat itu: "di tanah air kami belajar hak khiyar dalam fiqh mu'amalah, tapi yang mengimplementasikannya malah negara "kafir".
Begitu juga kasus yang pernah saya alami dengan menarik uang lewat ATM, namun uangnya tidak keluar tapi slipnya sudah menunjukkan uang terkurangi. Saat saya komplen, petugas Bank cuma angkat tangan. Kejadian di Australia, hal ini langsung ditangani dengan cepat dan simpel tanpa harus ngomel-ngomel dan makan hati.
Penjual juga sering berbohong mengenai kualitas produknya. Seringkali ini bisa membahayakan konsumen seperti digunakannya bahan kimia tertentu untuk membuat produk tahan lama atau terlihat kinclong atau menjadi lebih murah biaya produksinya. Hal-hal semacam ini mungkin juga harus mendapat perhatian para ulama dan guru-guru kita di MUI, jangan semata-mata fokus pada masalah riba dan sertifikat halal saja, tapi melupakan aspek perlindungan konsumen.
Kesannya yang terjadi saat ini: bunga bank haram, tapi membohongi konsumen itu halal. Babi dan alkohol haram, tapi menaruh bahan kimia yang membahayakan konsumen itu halal. Buah dan sayuran yang semula halal, kalau sudah disemprot pestisida apa tetap halal? Konsumen berhak tahu mana produk yang berbahaya atau tidak.
Maka pembasan fiqh kita orientasinya mesti digeser tidak melulu soal halal-haram; surga-neraka: dosa-pahala, tapi juga memasukkan nilai etika. Pegawai bank syari'ah yang kerjanya menyulitkan customer dan pelayanannya tidak profesional, dia bisa dianggap berdosa meski bekerja di bank syar'ah dengan hijab syar'i-nya.
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan dosen senior Monash Law School.
Advertisement