Ekonomi Selfie
Di antara gegap gempita urusan mudik, ternyata tak melulu silaturahmi. Ada hal penting lain yang juga dicari. Berburu kuliner serta nglencer, alias berwisata.
Jadi, selepas bertatap muka dengan kerabat atau sahabat, perjalanan dihelat. Mencari tempat unik, menarik dan asyik. Juga makanan nan lezat, tak apa walau bikin badan memberat.
Tempat kuliner dan wisata, kini, jadi magnet. Gabungan kedua-duanya, lebih asyik lagi. Bisa bikin seharian tak mau pergi.
Maka, tak heran banyak bermunculan spot tempat wisata dan kuliner baru. Dengan tampilan yang segar. Desain minimalis tapi ngga bikin menangis.
Intinya, mereka hanya jualan tempat menarik untuk selfie atau swafoto. Tentu saja, masuknya harus bayar tiket. Atau harga makanan lebih mahal tak apa.
Rela? Tentu saja, demi gaya. Inilah ekonomi selfie.
Media sosial memang mengubah segalanya. Termasuk perilaku hidup. Memampang aktifitas personal hal biasa. Kekinian, istilahnya.
Budaya selfie adalah generator baru ekonomi. Bahkan, bisa jadi ladang uang. Dia bak angsa emas. Siapa pintar merawat, dia menuai berkat.
Pada titik ini, mereka mengubah seseorang biasa jadi selebritis media sosial. Terkenal. Simak saja, para selebritis facebook, instagram, atau youtube itu.
Akun dengan ribuan pengikut bak mata air. Jika pintar mengelola isinya, niscaya iklan akan datang mengalir. Serta populer tentu saja.
Kembali ke urusan ekonomi selfie. Di kota-kota besar, keduanya sudah banyak diurus perusahaan swasta. Atau pribadi dengan semangat usaha tinggi.
Pemerintah lokal tinggal memetik buahnya. Narik pajak saja. Enak sekali bukan?
Namun, untuk kota kecil, bisa jadi belum kepikiran. Dibuat seadanya dengan cita rasa ala kadarnya. Demi perputaran ekonomi lokal, ekonomi selfie bisa jadi penopang.
Budaya selfie adalah generator baru ekonomi. Bahkan, bisa jadi ladang uang. Dia bak angsa emas. Siapa pintar merawat, dia menuai berkat.
Tinggal para walikota atau bupati, apakah mau bekerja. Karena pakem industri ini sudah ada. Sederhananya, mereka tinggal mencontoh.
Meniru. Lantas tambahi sana-sini. Agar berbeda, lebih menyenangkan hati.
Beberapa kabupaten sudah melakukannya. Mengais pendapatan asli daerah dari bisnis ini. Mereka bisa jadi rujukan.
Semisal, Kabupaten Banyuwangi. Kabupaten terluas di Jawa Timur ini, sukses jualan Kawah Ijen. Tak cuma itu, masih Alas Purwo, deretan pantai, hingga Padang Baluran.
Lain cerita dengan Wonosobo, dan Temanggung. Keduanya mampu menjual matahari. Juga keindahan alam pegunungan yang menawan.
Selain kawasan Candi Dieng, di Wonosobo, ada Kawasan Sikunir. Walau harus sedikit bersusah payah mendaki, tapi semua terbayar tuntas. Saat menatap sibakan mentari pagi yang menyegarkan hati.
Di Temanggung, ada Kawasan Wisata Posong. Letaknya di kaki Gunung Sindoro. Saat matahari terbit, mata bisa bersitubruk dengan hamparan gunung lainnya.
Beberapa kabupaten sudah melakukannya. Mengais pendapatan asli daerah dari bisnis ini. Mereka bisa jadi rujukan.
Ada Gunung Sumbing, Gunung Merapi, hingga dataran tinggi Unggaran. Di Posong ini, lokasinya gampang. Mobil sampai ke taman wisatanya.
Jadi tak perlu jalan kaki mendaki. Sinar matahari paginya juga indah sekali. Kalau tak mau berangkat tengah malam, kita bisa berkemah di sini.
Saat menginap di tenda, di tengah malam, kita bisa menikmati pancaran bulan. Juga percikan gemintang. Bahkan menikmati kerlip lampu para pendaki gunung.
Seusai matahari merekah, kita bisa menatap keindahan Gunung Sindoro. Lantas, tak berapa lama, ganti birunya langit mengikat mata.
Di sini, ekonomi selfie sudah jadi. Masyarakat bagian dari industri. Ada kelompok sadar wisata yang bekerja.
Mereka berkarya sebagai pemandu jalan. Ada yang jadi petugas jaga, petugas parkir, bikin persewaan mobil. Banyak ibu-ibu berjualan makanan, atau sewa toilet. Komplit.
Tapi perlu diingat, mantra industri adalah kompetisi. Kalau tidak, sekali datang, orang tak akan kembali. Jadi dibutuhkan inovasi tiada henti.
Membuat mereka terikat. Senang. Juga bahagia. Ketika itu terjadi, bahkan kita tak perlu promosi.
Di sini, ekonomi selfie sudah jadi. Masyarakat bagian dari industri. Ada kelompok sadar wisata yang bekerja.
Masyarakat akan bersukacita menyebarkan sendiri. Viral. Bisa jadi cerita pengalamannya, lebih gurih dari realita aslinya.
Lantas, bagaimana memastikan kita terus berinovasi? Inspirasi jawabannya. Untuk urusan ini, sebenarnya juga gampang.
Perbanyak piknik. Pergi ke tempat lain. Karena belajar dan mencari, adalah kunci.
Jika ekonomi lokal berderak, rakyat akan semanak. Mereka senang. Hidup juga tenang. Juga yang tak kalah penting, mereka tak perlu menyerbu kota besar.
Ajar Edi, kolumnis ngopibareng.id