Ekonomi Porak Poranda Akibat Covid, Negara Bisa Apa?
Pasca-peristiwa terorisme 9/11 yang menimpa Amerika Serikat, geografer David Harvey menulis sebuah pelajaran berharga tentang perekonomian kapitalis. Dalam bukunya, A Companion to Marx’s Capital yang terbit 2010 telah mencatat:
“Modal bukanlah benda, melainkan proses yang hanya ada dalam gerak. Ketika sirkulasi berhenti, nilai lenyap dan keseluruhan sistem menjadi runtuh,'' katanya.
Dari premis seperti ini, dapat diperiksa apa yang terjadi setelah peristiwa 11 September 2001 di Kota New York. Segala sesuatunya mendadak mandek. Pesawat-pesawat berhenti terbang, jembatan dan jalanan ditutup.
Setelah sekitar tiga hari, orang-orang baru sadar dan paham bahwa sirkulasi modal akan runtuh jika situasi tidak bergerak lagi. Maka tiba-tiba, Walikota Giuliani dan Presiden Bush meminta kepada publik untuk mengeluarkan kartu kredit mereka dan pergi belanja. Silakan kembali menonton Broadway dan mendatangi lagi restoran-restoran.
Presiden Bush bahkan muncul di sebuah iklan televisi dari industri penerbangan dan menyemangati orang-orang Amerika untuk terbang lagi. “Tidak ada kapitalisme tanpa gerak.'' Dengan waktu tiga hari, sekali lagi hanya cukup waktu tiga hari kemandekan atas sirkulasi modal telah membuat system kapitalisme panik untuk menyelamatkan diri.
Dan sekarang, saat ada terjangan Covid 19, sudah dapat dibayangkan, jika hal ini terjadi selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, di seluruh dunia pada waktu yang bersamaan. Apa yang akan terjadi selanjutnya terhadap ekonomi dunia?
Kita harus mengakui, kapitalisme merupakan system produksi dan distribusi yang dikelola melalui sirkulasi modal. Jika hal ini mandek di New York saja selama tiga hari, maka sirkulasi modal masih bisa mengandalkan aktivitasnya di tempat-tempat lain. Jadi sandaran untuk kembali mendinamikan gerak New York.
Namun, bagaimana jika saat itu di seluruh tempat di dunia juga mengalami kemandekan yang sama? Bagaimana jika kemandekan itu memanjang hingga tiga bulan atau bahkan lebih? Apakah Modal yang diam selama berbulan-bulan tidak akan meranggas dan kehilangan makna geraknya?
Containment dan Ancamannya
Merujuk kepada WHO, rumus dan jurus untuk melawan pandemic Covid 19 itu hanya ada dua, yaitu, pertama; Menggunakan Vaksin dan atau pengobatan. Jika sampai saat ini belum ditemukan vaksin yang ampuh, wajib menggunakan jurus yang kedua yakni Containment (Pengurungan).
Dengan konsep containment (Pengurungan) sebagai salah satu jalan utama untuk mengurangi persebaran Covid 19, secara pasti akan memunculkan konsekuensi. Pengurungan fisik sebagai konsekuensi COVID-19, akan dapat menghancurkan industri manufaktur padat karya. Sebab orang tidak boleh secara bebas untuk berkumpul rapat di suatu tempat tertutup.
Sementara pekerja kantoran dapat dengan nyaman bekerja di rumah. Tidak demikian halnya dengan pekerja fisik yang harus datang ke lokasi untuk bekerja.
Melihat trend seperti ini, dapat dengan mudah membaca sifat ketidakberlanjutan dari situasi ekonomi semacam ini. Sebab, barang-barang kebutuhan sehari-hari tetaplah pada hitungan terakhir datang dari kerja fisik yang tidak bisa dilakukan lewat kerja dari rumah.
Kita juga tidak bisa membayangkan mie instan terproduksi, terkemasi dan terantar ke toserba dengan sendirinya karena para buruh kerja di rumah. Para pekerja fisik itu lama kelamaan akan mengalami proses degenerasi massif ke dalam status yang tidak jelas dan tidak produktif.
Selain Industri manufactur, hantaman juga masuk pada sector Industri jasa travel, transportasi dan hotel. Juga industri hiburan non-daring, mulai dari kafe, restoran, bioskop, mall, festival seni-budaya hingga tempat pijit. Semua bisnis yang disebut terakhir membutuhan interaksi fisik dalam menjalankan modal. Padahal ini ini sangat bertentangan dengan kaidah kaidah penjarakan fisik.
Akibatnya, segala kegiatan untuk menjalankan modal menjadi terhambat atau bahkan mandeg. Selanjutnya dapat menyebabkan proses de-industrialisasi secara massif, baik industri manufactur maupun industry jasa.
Dari cara pandang diatas, proses deindustriaisasi dari hari ke hari akibat Covid 19 sudah mulai terjadi. Sebagai contoh, Industri pariwisata yang di dalamnya mempunyai rantai pasok terhadap industri jasa penerbangan, perhotelan dan travel sudah mengalami kerugan senilai USD 600 Miliar.
Dampak atas kerugian ini menyebabkan banyak Airline yang menutup rute penerbangan dan mengistirahatkan pesawatnya. Akibatnya hotel tutup operasi dan tempat wisata menjadi sepi. Lantas pengurangan tenaga kerja massif dilakukan. Pekerja tidak lagi mendapatkan gaji sesuai standar dan konsekuensinya daya beli menjadi turun.
Situasi ini bisa jadi dapat meluas, tentu saja, ke sektor-sektor yang terdampak oleh pandemi Covid 19. Sebab ketika sirkulasi modal tidak berjalan dengan lancar, semestinya akan menyebabkan sektor swasta semakin ringkih. Bisa jadi sektor swasta tidak mempunyai daya tawar apa-apa di hadapan negara.
Negara menjadi satu-satunya institusi perekonomian yang masih punya harga. Semua sektor swasta terdampak akan berbondong-bondong memohon pertolongan dari negara. Negara akan menjawabnya dengan memberikan stimulus ekonomi seperti pembebasan cukai dan pajak.
Bahkan,secara ekstrem negara bisa melakukan baill out terhadap sektor swasta dalam bentuk nasionalisasi atas sebagian besar sektor industri manufaktur. Juga pertanian, perkebunan, transportasi, kesehatan.
Covid 19 ini mengajari kepada kita bahwa potensi kedigdayaan atas modal bisa menjadi runtuh jika tidak segera di antisipasi secara seksama, taktis, strategis dan bijaksana. Sudah tidak jamannya lagi menonjolkan tampilan publik seolah-olah menjadi pihak yang paling berperan, karena dampak dari Covid 19 ini bukan hanya dirasakan oleh orang yang miskin dan kelas menengah. Orang kaya pemilik modal pun mempunyai potensi dan mengalami hal yang sama atas kemandegan sirkulasi modal. Dan kesemuanya akan berharap kepada negara sebagai organisasi yang dibentuk atas consensus bersama.
Diruang inilah negara diuji. Selanjutnya sejarah akan mencatat, Mampu atau Tidak!
*) Mursyid Murdiantoro adalah aktifis yang kini menjadi praktisi hukum.