Alasan Pembuat Tahu Pakai Sampah Plastik: Lebih Murah
Asap hitam pekat mengepul di atas rumah-rumah warga. Asap pekat ini muncul akibat dari penggunaan sampah plastik dan kertas untuk produksi tahu. Letaknya di Dusun Areng-Areng, Desa Tropodo, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo.
Baunya yang tak sedap sudah menjadi makanan sehari-hari warga. Aktivitas menjadikan sampah plastik sebagai bahan bakar pembuatan tahu, sudah dilakukan sejak dulu. Sekarang, jumlah pembuat tahu yang menggunakan plastik sebagai bahan bakar sudah banyak. Jumlahnya bahkan sudah puluhan.
Salah satunya, milik Saiful Bakri. Dia tak membantah menggunakan sampah plastik sebagai bahan bakar pembuatan tahu. Tampak jelas gunungan sampah plastik dan kertas bercampur tanah agak basah ketika masuk dari depan rumah. Tak hanya itu, ada pula tumpukan kayu bakar.
Sampah-sampah itu perlahan-lahan dimasukkan oleh pekerja menggunakan skop ka dalam dua turbin utama. Tak hanya sampah, kayu juga dimasukkan untuk menambah panas turbin.
Saiful Bakri punya alasan mengapa menggunakan sampah plastik sebagai bahan bakar. Kata dia, pilihnya sampah plastik karena faktor ekonomis dan lebih efisien daripada hanya menggunakan kayu bakar saja.
"Kalau pakai kayu saja tak mencukupi Mas. Soalnya harganya itu mahal, makanya kita campur sama plastik. Kalau pakai plastik juga lebih awet apinya. Kalau kayu saja cepat habis," ungkap Saiful saat ditemui di rumahnya, Senin 18 November 2019.
Ia mengungkapkan perbedaan harga antara plastik dan kayu sangat jauh. Di mana satu pick-up plastik harganya Rp120 ribu, sedangkan satu truk kayu bakar seharga Rp1,2-1,5 juta.
Itu pun katanya pemesanan plastik dan kayu tidak menentu. Karena disesuaikan dengan kondisi. Ia mengaku, kadang satu pick up plastik bisa habis digunakan 1-2 hari, sedangkan satu truk kayu bisa 4-5 hari.
"Jadi kalau pakai kayu saja gak ngatasi karena mahalnya itu. Sedangkan, pendapatan rata-rata sebulan Rp10 juta yang itu dibuat untuk kulakan lagi sama bayar karyawan," ungkapnya.
Sebelumnya, Saiful mengaku telah beberapa kali melakukan perubahan penggunaan bahan bakar. Di antaranya, menggunakan gabah padi, karet bekas sepatu dan ban. Namun, karena gabah yang tidak tahan lama akhirnya tidak digunakan kembali.
"Dulu pernah di sini itu pakai karet bekas sepatu sama ban. Tapi polusinya itu bahaya sekali. Baunya tajam akhirnya sepakat tidak pakai karet lagi," katanya.
Selain itu, para pemilik usaha juga pernah diundang oleh Disperindag Sidoarjo untuk sosialisasi penggunaan bahan bakar gas. Namun, karena dirasa lebih mahal untuk pemakaian tiap hari, akhirnya banyak warga yang menolak.
Karena itu, ia berharap, ada solusi baru yang dapat menguntungkan banyak orang. Terutama industri agar tetap dapat berjalan tanpa mengeluarkan beban biaya yang besar.
Sementara itu, Kepala Bidang (Kabid) Industri Non Agro Disperindag Jawa Timur, Bagas Yulistyati mengatakan, dirinya belum bisa berbuat banyak karena masalah ini sangat kompleks.
"Memang karena faktor ekonomi sehingga masyarakat lebih memilih sampah plastik. Tapi sebenarnya itu tidak langsung ke makanan hanya diambil uapnya untuk pemanas, sehingga tidak berbahaya. Tapi masalah ini akan kami tindak lanjuti untuk mencari jalan keluar," katanya.