Edhy Prabowo: Vonis 5 Tahun Penjara Tak Sesuai Fakta Persidangan
Menteri Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dijatuhi vonis hukuman lima tahun penjara usai dinyatakan telah menerima suap senilai Rp 25,7 miliar dari para eksportir benih bening lobster (BBL). Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menilai Edhy Prabowo telah terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2001.
"Menyatakan terdakwa Edhy Prabowo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan alternatif pertama," ujar Ketua Majelis Hakim, Albertus Usada, pada Kamis 15 Juli 2021.
"Menjatuhkan pidana pada terdakwa selama 5 tahun dan denda sejumlah Rp 400 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan," sambungnya.
Menanggapi hukuman tersebut, Edhy Prabowo menyebut hal itu tidak sesuai fakta persidangan. "Ya saya mau pikir-pikir, saya sedih hasil ini tidak sesuai dengan fakta persidangan," ucap Edhy usai mengikuti persidangan secara daring dari Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan.
Akan tetapi, Edhy Prabowo mengaku menghormati proses peradilan. "Tapi, ya, inilah proses peradilan di kita, saya akan terus melakukan proses tapi kasih saya waktu berpikir. Terima kasih," katanya sebelum menumpangi mobil tahanan.
Hak Politik Dicabut 3 Tahun
Selain vonis penjara 5 tahun itu, hak politik Edhy Prabowo juga dicabut sebagai hukuman tambahan. Hukuman ini terhitung selama tiga tahun usai suami Iis Rosita Dewi itu selesai menjalani masa pidana pokok.
"Menjatuhkan pidana pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun sejak terdakwa selesai menjalankan masa pidana pokoknya," lanjut sang hakim.
Mantan politisi Partai Gerindra tersebut juga diwajibkan membayar uang pengganti senilai Rp 9,6 miliar dan 77.000 dolar Amerika Serikat (AS) dengan memperhitungkan uang yang telah dikembalikan.
"Apabila tidak membayar uang pengganti dalam waktu satu bulan setelah putusan inkrah maka harta bendanya disita dan dilelang untuk menutupi uang tersebut. Dalam hal terdakwa tidak punya harta benda untuk menutupi uang pengganti, maka dipidana selama dua tahun," papar hakim.
Vonis yang dijatuhkan untuk Edhy Prabowo ini sama dengan tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Diketahui, jaksa KPK sebelumnya menuntut pria kelahiran 24 Desember 1972 itu dengan hukuman lima tahun penjara dan denda sebesar Rp400 juta.
Meski demikian, vonis pencabutan hak politik Edhy Prabowo lebih ringan dibanding tuntutan jaksa. Sebelumnya, jaksa meminta hak politik pria 48 tahun itu dicabut selama empat tahun.
Hakim Beda Pendapat Terkait Vonis Edhy Prabowo
Hakim anggota I, Suparman Nyompa yang turut mengadili perkara Edhy Prabowo mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion terkait vonis 5 tahun penjara. Hakim Suparman keberatan apabila Edhy Prabowo dijatuhi vonis melanggar Pasal 12 huruf a UU Tentang Pemberantasan Tipikor.
Hal itu disampaikan Suparman Nyompa sebelum hakim ketua Albertus Usada membacakan vonis. Suparman menilai Edhy seharusnya dijatuhi vonis melanggar Pasal 11 UU Tipikor.
"Bahwa hakim anggota 1 berpendapat sesungguhnya terdakwa (Edhy Prabowo) hanya melanggar ketentuan pasal 11 undang-undang RI Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 pada dakwaan alternatif kedua," ujar Suparman.
Menurut Suparman, Edhy itu bukan melanggar Pasal 12 huruf a UU Tipikor sebagaimana dakwaan pertama, tetapi dia melanggar Pasal 11 UU Tipikor sebagaimana dakwaan subsider. Hal ini dibuktikan fakta bahwa Edhy tidak mengetahui uang 77.000 dolar Amerika Serikat diterima Amiril dan disetor ke kartu debit, dimana kartu debit itu digunakan Edhy Prabowo untuk membayar belanjaan dia dan istri, Iis Rosita Dewi selama di Amerika Serikat.
Advertisement