Edhi Setiawan, Budayawan Sumenep Meninggal Dunia
Masyarakat Sumenep, khususnya komunitas kesenian dan budaya, berduka. Salah seorang tokohnya, Edhi Setiawan, meninggal dunia, Rabu, 16 Oktober 2019, pukul 10.45 WIB. Almarhum selama ini menderita sakit, dan dirawat di RSUD Sumenep.
Jenazah almarhum disemayamkan di rumah duka, kawasan Peluk Sumenep. Jenazahnya akan dimakamkan pada Minggu, 20 Oktober 2019 di tanah kuburan TAPOSAN Sumenep
.Sedang doa arwah akan dilakukan pada Kamis 17 Oktober 2019 pukul 20.00
WIB.
Almarhum selama ini dikenal sebagai budayawan yang gigih memperjuangkan budaya Madura. Edhi Setiawan, salah satu Tim Perumus Hari Jadi Sumenep. Ia dikenal sebagai fotografer andal yang sering juara tingkat internasional, kolektor benda antik dan pemilik Restoran 17 Agustus di Sumenep yang legendaris.
Sudah lama Edhi Setiawan menderita sakit jantung, berulangkali dioperasi, dan akhirnya kembali juga ke pangkuanNya.
"RIP... Selamat jalan Bapakku, guruku, sahabatku: Edhi Setiawan. Kami yang ditinggal banar-banar merasa kehilangan seorang tokoh Budayawan, Fotografer yang luar biasa yang dimiliki tanah Aria Wiraraja," kata Ibnu Hajar, seorang aktivis kesenian di Sumenep.
Edhi Setiawan lahir di Sumenep, 13 Januari 1946, dikenal sebagai seorang budayawan dan sejarawan Madura yang sangat tekun mengamati perkembangan sejarah dan budaya Madura.
Meski ia dari keluarga keturunan Tionghoa, namun dalam keilmuan bidang sejarah dan budaya Madura dia sangat menguasi. Karena dia merasa ikut bertanggung jawab terhadap masalah-masalah budaya Madura.
Leluhurnya berasal dari Hokkian, China, yang datang ke Madura sekitar abad ke-17 pada masa peralihan dinasti Ming ke Ching. Ia generasi ke-8. Ia yakin berdarah campuran karena yang datang ke Madura adalah lelaki, lalu menikah dengan perempuan setempat di Sumenep.
Ia anak ke-3 pasangan Gunawan dan Juariyah. Selulus SD dan SMP Katolik Sumenep, ia melanjutkan sekolah ke SMA St Luis, Surabaya, mengambil jurusan Budaya. Kemudian melanjutkan pendidikan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, tahun 1975.
Mengambil jurusan hukum itu sebenarnya kehendak orang tuanya. ”Keinginan saya sebenarnya jurusan sejarah, tetapi orang tua menginginkan seperti kakak saya, menjadi hakim”, kata Edhi pada Lilik, seorang penulis asal Sumenep.
Sebuah pengalaman pahit yang terjadi ketika menjadi aktivis di senat mahasiswa dulu, ia kerap menjadi sorotan lantaran karena saya orang Madura. Dalam pergaulan itu saya semakin paham adanya persepsi yang salah terhadap masyarakat Madura. Madura selalu diindentikkandengan carok, kekerasan, kebodohan, kemiskinan dan sejenisnya.
“ Ini membuat hati luka, padahal mereka tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya”., ujarnya.
"Pada saat seperti itulah, saya sadar, dalam benak saya persepsi tersebut harus diluruskan. Dan saat setelah ia pulang kembali ke Sumenep ia bertekad membenahi dan mendalami tentang semua hal yang berkaitan dengan Madura," aku Edhi Setiawan.
Ia tentu tidak tinggal diam. Keluar masuk dari desa ke desa dari kampung ke kampung dipenjuru pelosok Madura ia lakukan dengan intens dia menggeluti budaya Madura, ternyata semakin dalam kekagumannya.
Selain itu Edhi menyaksikan, justru yang paling mengecewakan ada dari kalangan orang Madura sendiri yang merasa berhasil diluar Madura, khususnya kalangan berpendidikan.
Ia melihat, tak sedikit kalangan terdidik asal Madura mengaburkan identitas kemaduraannya karena adanya penetrasi persepsi negatif itu. Mereka malu menjadi orang Madura. Kondisi ini makin mengokohkan tekatnya untuk mencerahkan Madura.
Edhi mencontohkan, ukiran Madura, misalnya, begitu beragam dan halus dengan estetika tinggi. Setidaknya ada 40 jenis barang yang diukir. Madura punya 50 jenis perahu. Belum lagi keris buatan empu Madura yang eksotik dan berselera agung. Bahasa masyarakat Madura pun ada empat tingkatan, mulai dari yang kasar sampai yang sangat halus.
Ini membuktikan, Madura bukan sekedar carok, kekerasan atau hal-hal yang negatif saja. Banyak hasil budaya Madura berestetika tinggi karena dihargai masyarakat luar. Dipan ukir Madura, misalnya, dihargai sampai ratusan juta rupiah. Kesenian Madura pun membuat masyarakat luar terpesona.
Karena budaya Madura sudah menjadi bagian dari jiwanya, ia tidak ingin budaya Madura diremehkan oleh pihak luar, bahkan menurut Edhi tak jarang masyarakat Madura dijadikan bahan guyonan, olok-olok. Keluguan dan kesahajaan orang Madura dipelesetkan menjadi kekonyolan dan sebagainya.
“Hal semacam inilah yang bikin saya makin bersemangat, dengan menunjukkan bahwa orang Madura tidak seperti anggapan mereka. Terbukti bahwa orang-orang Madura banyak yang sukses dan menjadi orang penting di negara ini”, tutur Edhi bersemangat.
Untuk membukti kepada orang luar bahwa Madura itu kaya budaya, pada tahun 1982 dia membawa kesenian topeng dalang ke sejumlah negara Eropa. Ia sengaja membawa grup topeng dalang asli, bukan sekolahan. Pemainnya kalau siang bekerja sebagai pemanjat kelapa, pencari rumput, atau penyiram tembakau. Mereka antusias buka semata-mata dibawa ke Eropa, tapi lebih merasa bangga karena keseniannya diperkenalkan ke luar negeri.
“Dan terbukti penonton di negara-negara Eropa itu terkagum-kagum. Mereka lebih kagum saat tau pemainnya adalah anak desa yang tak semuanya bisa berbahasa Indonesia,” kata pengusaha pengrajin ukir Madura itu.
Menurut Edhi, membawa misi kebudayaan Madura itu sangat penting, karena orang akan lebih tahu dan mengenal kekayaan budaya Madura. selain itu tentu usaha-usaha merawat dan melestarikan seni budaya Madura tetap harus dilakukan, sebagai persaingan prestasi budaya kedepan jauh lebih ketat, apalagi sekarang tampaknya minat masyarakat terhadap seni tradisi mulai luntur. “Ini tantangan bagi kita”, ungkap Edhi.
Selain menggeluti bidang kebudayaan Madura, Edhi juga dikenal sebagai seorang photografer yang handal, terbukti hasil jepretannya kerap mendapat penghargaan, baik dalam kejuaraan maupun prestasi ketekunannya.
Dalam bidang foto saja, sejumlah penghargaan telah diraihnya, antara lain juara foto Piala Suharto, juara pertama "Bali Internasional Photo Competition (BIPC) 1999'', serta sejumlah prestasi lainnya termasuk sebagai juara foto Asia Fasifik, selain Karya Anugerah Wisata Jawa Timur dan Upakarti 1993.