E-Tilang Surabaya, Semi Konvensional Kok Dibilang Canggih?
Surabaya memulai dengan tilang online atau e-tilang yang beberapa bulan lalu sempat menjadi isu lumayan besar dengan segudang pro dan kontranya di kalangan masyarakat. Sebagian masyarakat Surabaya bangga dengan terobosan pemanfaatan teknologi ini, sebagian besar masyarakat lain juga banyak yang mencibir teknologi yang diterapkan terkesan asal-asalan guna mencari simpati belaka guna menutupi berapa besar uang yang dikeluarkan untuk teknologi yang ternyata masih sangat konvensional tidak secanggih yang digembar-gemborkan.
Agar menjadi sebuah keterbukaan informasi yang gamblang, kali ini ngopibareng.id mencoba menelusuri dari kacatama pemanfaatan teknologi yang sepatutnya dikembangkan dalam kebijakan pemberlakuan tilang online atau e-tilang tersebut.
Dinamakan sistem berbasis online dan elektronik maka kata kuncinya sistem tersebut memiliki kemampuan otomatisasi tinggi memanfaatkan teknologi internet. Dan bukan jadi rahasia umum teknologi internet sudah mampu menjawab itu semua lewat inovasi yang dinamakan Internet of Things (IoT).
Dimana IoT ini mampu menghadirkan berbagai solusi dalam aplikasinya, memberikan berbagai kemudahan mulai dari kegiatan monitoring hingga automatisasi.
Teknologi IoT memberikan berbagai fasilitas menarik bagi penggunanya. Dengan adanya koneksi ke Internet membuat pengguna dapat memantau dan mengontrol banyak peralatan dimana pun dan kapan pun. Ditambah dengan adanya pengolahan big data dan machine learning yang dapat mengolah banyak informasi dengan cepat dan mempelajari perilaku pengguna.
Sehingga penerapan IoT untuk sistem tilang online atau e-tilang sangatlah mungkin dan meminimalisasi sistem tidak berjalan dengan baik dibandingkan dengan sistem yang masih konvensional atau seolah-olah canggih.
Bagaimana Sistem Tilang Online di Surabaya Bekerja?
Tilang online atau e-tilang yang dikenalkan Surabaya lewat kendali di Ruang Pusat Kendali Transportasi UPT SITS (Surabaya Intelligent Transport System) Dinas Perhubungan Kota Surabaya ini menggunakan konsep sensor kemudian memberi sinyal indikator jika terjadi pelanggaran berupa bunyi alarm suara.
Pemahamannya begini, jika perangkat teknologi CCTV beserta sensornya yang terpasang di jalan itu dilanggar maka sistem akan menyampaikan informasi pelanggaran ke pusat kendali transportasi berupa alarm, kemudian operator dalam hal ini manusia yang ditugaskan akan memantau tampilan layar hasil informasi CCTV yang dikirimkan untuk diidentifikasi.
Bunyi alarm itu sebagai wujud tanda bahwa ada pelaku pelanggaran lalu lintas tertangkap kamera. Kemudian, kejadian tersebut akan ter-capture dan masuk ke dalam sistem penyimpanan data (storage). Di sinilah awal kelemahan dari sistem yang masih mengandalkan operator (manusia), dimana setelah mesin memberi sinyal tersebut petugas baru bisa melakukan identifikasi jenis pelanggaran, pelaku, hingga lokasi pelanggaran berada, dan sistem semacam ini tidaklah realtime masih membutuhkan campur tangan si operator.
Kita tentunya menyadari dengan sistem yang masih mengandalkan operator dalam hal ini manusia tentunya sangat banyaklah kekurangan. Apalagi memantau kondisi lalu lintas atau jalan yang dilengkapi dengan sistem tilang online tadi, jelas manusia sangat tidak mampu. Keterbatasan fisik,tingkat responsivitas,pengambilan keputusan serta ketidaktelitian itu menjadi kendala yang sangat besar.
Belum lagi upaya dokumentasi bukti jika si pelanggar terkena tilang online maka sistem haruslah menyampaikan bukti otentik dimana dan kapan terjadi pelanggaran itu termasuk rekaman atau capture video/gambar secara detil dan akurat untuk menjeratnya.
Bisa dibayangkan kerja sistem yang prosesnya begitu cepat,sementara untuk memantau lalu lintas dalam satu kota, hanya ada beberapa operator (manusia) lebih-lebih hanya tiga orang yang bertugas. Dan tiga orang inilah yang memelototi 33 unit layar raksasa di SITS. Konon menurut informasi yang berhasil dihimpun, 1 operator bertugas mengendalikan traffic light; sisanya memantau kejadian di layar raksasa dan memonitor kategori pelanggaran lalu lintas.
Operator tersebut nantinya mendata saja. begitu ada pelanggaran, mereka melakukan pendataan dan meneruskannya ke bagian penegakan hukum (Gakum) Satlantas Polrestabes Surabaya. Dan proses penerbitan surat tilang butuh 2 hari yang kemudian dikirimkan ke alamat tujuan atau si pelaku pelanggaran.
Bayangkan lagi sistem ini beroperasi 24 jam, mereka harus menyiagakan petugas operator (manusia) hingga tiga waktu (shift) masing-masing 3 orang petugas operator.
Dan lebih menggelikan lagi kala operator bertugas untuk komunikasi masing-masing petugas dilengkapi dengan handy talky (HT), wah wah. Konon alat komunikasi tersebut terhubung langsung dengan Wali Kota Surabaya dan Polrestabes Surabaya. Dan seperti banyak informasi yang berhasil dihimpun ngopibareng.id jika e-tilang yang memanfaatkan CCTV ini sepenuhnya menggunakan teknologi, tapi kenyataannya tidak, dan terbukti yang bekerja si petugas operator dalam hal ini manusia.
Perangkat yang digunakan guna penerapan e-tilang ini meliputi layar kontrol di SITS, ada tiga alat khusus yang dipasang di titik pantau, yakni satu kamera pendeteksi pelanggaran, dua kamera penerang saat malam hari, dan alat detektor lampu yang terkoneksi dengan kamera, ini bagi masyarakat awam sudah sangat canggih betul, padahal tidak sama sekali.
Logikanya gampang sekali jika kita mulai dari sistem ini berjalan, begitu lampu di traffic light menyala merah, maka alat detektor ini bekerja mendeteksi secara otomatis ketika ada pelanggaran terjadi. Jenis pelanggarannya seperti menerobos lampu merah, berhenti di garis batas stop line, atau juga marka jalan.
Selanjutnya objek yang tertangkap akan terekam atau ter-capture, dan sinyal dikirimkan berupa sensor alarm di pusat kendali kita berbunyi kemudian si petugas operator bekerja mengamati, mengidentifikasi lalu mengirimkan informasi pelanggarannya ke kepolisian.
Padahal ternyata kamera CCTV masih kesulitan mendeteksi bahkan merekam objek dengan pelat nomor rusak atau yang dimodifikasi di sinilah kekeliruan besar terjadi, si petugas operator tentunya mengambil alih melihat dengan mata telanjang bisa jadi contoh huruf di nopol kendaraan tertulis W kemudian terbaca V, maka informasi yang dihasilkan pasti salah, belum lagi jika kamera CCTV menangkap dari sudut yang susah untuk direkam, apa hasilnya? Alhasil penerapan sistem e-tilang ini masih sangat lemah dan terkesan dipaksakan terburu-buru dengan investasi pemborosan yang dikeluarkan cukup besar hingga ratusan juta rupiah hanya untuk 1 titik saja, berapa milyar rupiah jika itu diterapkan di semua titik simpul jalan di kota sebesar Surabaya. Simak tulisan di ngopibareng.id berikutnya bagaimana solusi yang efektif dan masuk akal, pemanfaatan teknologi untuk tilang online yang sebenarnya.