Dwijo Sukatmo Telah Tiada, Seni Rupa Indonesia Kehilangan Dia
Pelukis Dwijo Sukatmo telah tiada. Dia meninggal kemarin di Tangerang, Jawa Barat, tempatnya bermukim selama ini setelah pindah dari Surabaya.
Lahir di Surabaya bulan Agustus 1952, Dwijo meninggalkan istri, Anna Sudjono, yang memberinya 3 anak dan 7 cucu. Dwijo meninggalkan kita dan meninggalkan dunia seni rupa Indonesia. Semua merasa kehilangan dia.
Bertubuh gemuk melebihi ukuran idealnya, Dwijo adalah salah satu ikon seni rupa Surabaya meskipun sebenarnya sudah bertahun-tahun tinggal di Tangerang. Dia alumni Aksera (Akademi Seni Rupa Surabaya), tetapi masih ingin terus belajar dengan kuliah di Administrasi Negara (Universitas Terbuka) tahun 1994, serta di Fakultas Ekonomi Universitas Yos Sudarso tahun 1998. Bahkan kemudian dia juga menyelesaikan magisternya di Psikologi Untag dengan tesis Psikologi Warna.
Dwijo adalah ujud dari apa yang disebut semangat. Semangat belajar, semangat berkarya, semangat berkeluarga, dan semangat mencintai semuanya.
Dia memanggil istrinya dengan sebutan garwaku. Garwa, bahasa Jawa, artinya istri. Singaring nyawa,yaitu belahan nyawa. Tanpa garwaku ini aku bukan apa-apa, katanya suatu ketika.
Dia aktif di medsos, terutama Facebook, yang sebagian besar postingannya berisi foto-foto cucunya. Postingan terakhir Dwijo di akunnya bertanggal 11 September lalu, ia mengunggah foto cucunya disertai tulisan, Cucuku Kedua, Ganggarwati Sukatmoputri. Postingan sebelumnya bertanggal 8 September dia juga mengunggah foto cucu kelimanya, Diwasasri Sukatmoputri. Keluarga, adalah segalanya bagi Dwijo, yang memberinya semangat untuk terus berkarya.
Tahun 2013, saya berkesempatan mengunjunginya di rumahnya di Tangerang. Sejak dua hari sebelumnya kami berkomunikasi melalui SMS. Maklum ketika itu belum akrab dengan Whatsapp, meskipun ptalform ini didirikan tahun 2009.
Melalui SMS juga Dwijo memberitahu alamatnya, sekaligus memberi panduan bagaimana dari arah Jakarta Kota ke rumahnya naik angkutan umum. Ketika itu juga belum ada taksi online.
Pada hari Sabtu sesuai kesepakatan, saya berangkat menggunakan angkutan umum, dengan beberapa kali naik turun. Saat saya naik angkot terakhir yang akan melewati kawasan rumahnya, tiba-tiba Dwijo kirim SMS.
“Nis, kamu gak usah ke rumahku, aku sekarang lagi sendirian, perutku sakit luar biasa habis keracunan.” Saya tanya keracunan apa, dan dia menjawab keracunan ikan. Lho, kalau begitu justru saya harus ke rumahmu, biar kalau kamu mati ada yang tahu. Jancuk, balasnya.
Dari dalam angkot, saya segera kontak seorang dokter, menanyakan obat darurat apa yang cocok akibat keracunan ikan. Jawab dokter, belikan saja susu kalengan dengan menyebut merk. Tapi setelah itu tetap harus dibawa ke rumah sakit, kata dokter itu. Turun dari dari angkot setelah sampai di kawasan rumah Dwijo, saya segera membeli susu kalengan yang dianjurkan dokter tadi di mini market, dan membawanya ke rumah Dwijo.
Saya mengetuk pintu rumah agak lama. Tidak dibuka. Hati saya berdebar. Saya ketuk terus pintu rumahnya. Akhirnya, dengan sempoyongan dia membuka pintu. Wajahnya terlihat pucat pasi. Badannya yang gemuk kelihatan lemas. Segera saja dia saya tuntun untuk duduk di kursi, dan saya paksa untuk minum sekaligus dua kaleng susu itu.
Alhamdulillah, sekitar sejam kemudian dia mulai banyak bicara. Sejamnya lagi, dia sudah merasa pulih, apalagi setelah istrinya datang karena memang dikontak agar segera pulang. Dan setelah Anna berada di sampingnya, eh, dia bangun dan melukis lagi. Saya harus meneruskan, katanya menuju ke ruang samping rumahnya, tempat dia biasa melukis.
Dokumentasi
Cara Dwijo melukis tidak seperti kebanyakan pelukis, yaitu dengan kanvas berspanram dengan posisi berdiri di tripot. Cara melukis Dwijo menurut saya agak aneh. Kanvas dibuka di atas meja, kemudian dia melukis sambil duduk di kursi. Cat dia torehkan di kanvas, seperti cara murid di kelas menggambar di atas meja. Menurutnya, dengan cara seperti itu dia bisa memasukan warna lebih tepat dan sempurna.
Memang, karya Dwijo penuh dengan warna. Bidang-bidang warna seakan bertumpuk-tumpuk, tumpang tindih, dengan bidang-bidang besar dan kecil yang menyatu. Teknik demikian bisa dilakukan karena Dwijo melukis menggunakan cat akrilik. Dari tumpang tindihnya warna-warna tadi, tiba-tiba secara imajinatif akan muncul sosok semar yang sangat dia kagumi. Atau muncul bentuk-bentuk kuda secara samar, atau banteng, atau tokoh-tokoh pewayangan lainnya.
Inilah keistimewaan karya Dwijo. Tokoh atau bentuk obyek muncul tidak secara tegas bahkan cenderung samar dan imaginatif di tengah-tengah tumpang tindih warna-warna cemerlang. Ciri khas Dwijo ini, menurut saya, dia pertahankan setelah dia memperoleh penghargaan Karya Utama pada Biennale VIII Seni Lukis Indonesia tahun 1989.
Dwijo saya nilai juga cukup bagus mendokumentasikan karya-karyanya. Foto dan data-data lengkap setiap karyanya tersusun rapi di dalam laptop. Pekerjaan administratif yang nyaris sempurna ini dilakukan sang istri yang selalu mendampinginya. Sementara karya aslinya digulung dalam rapi terlindung plastik, lantas disusun dalam rak-rak berangka besi yang terbuka.
Dua rumah Dwijo baik yang di Tangerang maupun di Surabaya, tepatnya di kawasan Tenggilis, penuh dengan lukisan karya Dwijo yang tersusun rapi dalam rak berangka besi.
Pameran Tunggal Berdua
Sebagai pelukis, Dwijo sudah melanglang buana ke beberapa negara. Sementara di dalam negeri dia sudah berpameran di hampir semua kota besar di Indonesia. Bahkan beberapa kali ikut pameran Biennale of Indonesia Fine Arts Exhibition yang digelar di Taman Ismail Marjuki, Jakarta.
Sebagai teman, saya bersyukur sempat membantu menggelar pameran Dwidjo. Bukan pameran tunggal, tetapi pameran berdua dengan Makhfoed, di salah satu ruangan di JX International Surabaya, 5 sd 12 Mei 2013. Bertajuk Pameran Tunggal Berdua, judul yang mereka pilih sendiri. Pameran kedua maestro ini digelar, bersamaaan dengan penyelenggaraan Pasar Seni Lukis Indonesia ke 6 tahun 2013.
Dwidjo dan Makhfoed adalah dua pelukis lulusan Aksera (Akademi Seni Rupa Surabaya). Keduanya bersahabat erat, sekaligus juga bersaing ketat. Makhfoed telah meninggal dunia 19 April 2018 dalam usia 76 tahun.
Sebagai penyelanggara pameran, terus terang saya tidak berani mengatur keduanya. Bahkan ketika menyusun katalog pameran pun, saya tidak berani menentukan siapa yang menempati halaman di depan, dan siapa yang ditulis bagian belakang.
Mereka berdua sendiri yang menentukan. Akhirnya dari kesepakatan keduanya, Makhfoed yang berusia lebih tua (lahir 1942) di tulis di bagian depan, Dwidjo yang muda (1952) di belakang. “Yowis, sing enom ngalah karo sing tuwek,” kata Dwijo.
Pameran berdua ini dibuka oleh Menteri BUMN saat itu, Dahlan Iskan. Di ruang VIP JX international yang berukuran sekitar 15 X 60 M, dengan pintu masuk berada di tengah, karya-karya Makhfoed berada di sisi kiri, sedang karya-karya Dwidjo didisplai di sebelah kanan.
Usai Dahlan member sambutan pembukaan dan menggunting pita serta membuka pintu ruangan, kedua orang bersahabat itu sama-sama meminta agar Dahlan Iskan meninjau ke karya mereka terlebih dahulu. Makhfoed minta agar Dahlan belok ke kiri, sedang Dwidjo mendesak agar belok ke kanan.
Dahlan Sendiri bingung. Di hadapan Pak Menteri saya mengusulkan agar sebaiknya kedua pelukis itu melakukan suten atau sut, mengundi dengan mengadu jari. Makhfoed dan Dwidjo setuju, demikian juga Dahlan Iskan. Kedua pelukis itu kemudian melakukan sut, yang dimenangkan Makhfoed, sehingga akhirnya Dahlan Iskan belok ke arah kiri untuk melakukan peninjauan, mengawali dengan melihat lukisan-lukisan Makhfoed.
Terbahak-bahak
Dwidjo Soekatmo memang cenderung keras kepala, dan galak. Tetapi itulah memang salah satu keistimewaan dia. Bagi orang yang baru mengenalnya, dia terkesan sombong. Kalau memaki atau memarahi orang seenaknya saja. Ketika orang yang dimarahi terkejut dan cemberut, Dwidjo langsung tertawa terbahak-bahak. Ketawanya khas dan keras, tak peduli di depan siapapun dan di manapun.
Dwijo adalah seorang yang tegar. Dia pernah terkena penyakit cukup berat, tetapi kemudian sembuh, dan melukis lagi. Dia pernah jatuh ditabrak kendaraan dalam kasus tabrak lari, tapi kemudian sembuh dan melukis lagi. Semangatnya untuk bangkit, sama seperti semangatnya mencintai keluarganya. Tetapi ketika hari Kamis 26 September 2019 kemarin takkdir menghendakinya, dia tidak dapat menghindarinya.
Selamat jalan sahabat Dwijo, karya-karyamu ikut memperindah negeri ini. (m.anis)