Duterte Umumkan Tak Nyalon di Pilpres Lagi, Aktivis Tak Percaya
Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengumumkan untuk segera pensiun dari karir politiknya, setelah masa jabatannya sebagai presiden berakhir. Ia menegaskan tak mau maju dalam pilpres berikutnya.
Duterte Pensiun
Rodrigo Duterte menyampaikan pengumuman yang mengejutkan, ketika mendampingi rekannya, Senator Bong Go, pada Sabtu 2 Oktober 2021. Ia mengumumkan akan pensiun dari karir politiknya, dan tak maju dalam pilpres berikutnya.
"Sentimen berlebihan dari Filipina, bahwa saya tak memiliki kualifikasi dan itu akan menjadi pelanggaran atas konstitusi, untuk maju menjadi calon presiden lagi," kata Duterte dikutip dari Al Jazeera, Minggu 3 Oktober 2021. "Hari ini saya mengumumkan pensiun dari politik," tegasnya.
Diketahui, konstitusi di Filipina membatasi presiden untuk bisa menjabat maksimal selama 6 tahun. Dan musuh politik Duterte telah mengancam untuk mempertanyakan rencana Duterte jika benar maju sebagai wakil presiden, kepada Mahkamah Agung.
Aktivis Tak Percaya
Pengumuman yang dibuat Duterte, tak begitu saja dipercayai oleh aktivis setempat. Antonio La Vina, profesor hukum dan politik di Universitas Ateneo de Manila, mengatakan ada kemungkinan jika Duterte akan berubah pikiran.
Kandidat masih bisa mendaftar hingga Jumat minggu depan, namun pembatalan bisa dilakukan hingga 15 November. Jadwal ini masih memungkinkan Duterte untuk berubah pikiran, seperti pada pilpres tahun 2016, di mana Duterte memenangkan suara yang cukup telak.
"Selama pilpres 2016, ia berulangkali mengatakan tak akan maju. Kemudian sebulan selanjutnya, ada orang yang mendaftarkan namannya. Ia punya reputasi sebagai pemimpin yang tak menepati kata-katanya," kata Jamela Alindogan, reporter Al Jazeera di Manila, dikutip Minggu 3 Oktober 2021.
Pada Pilpres 2016, Duterte maju dengan kampanye perang melawan bandar narkoba, dengan bunuh tersangka pengedar narkoba, di tempat.
Laporan polisi di Filipina, menyebut terdapat 16.355 pembunuhan dengan operasi menumpas pengedar narkoba, di tahun 2017. Aktivis HAM menyebut jumlah kematian mencapai 27 ribu hingga 30 ribu.
Tak hanya tersangka, pembunuhan juga disebut menyasar anak-anak dan orang yang tak bersalah. Penyelidikan PBB menyebut terdapat 73 anak anak ikut jadi korban operasi itu, dengan yang paling kecil berusia 5 bulan. (Alj)