Dupakita Dupa Indonesia, Ini Trengalek Punya
Tak banyak orang menyandang sebagai warga kehormatan. Pasti karena istimewa, pasti juga karena khususon alias super khusus. Ini terjadi pada Nova Ali Wardana, 36 tahun.
Defakto dia warga Kamulan, Durenan, Trenggalek. Namun, secara adat, di Bali, Nova Ali, menjadi Wayan Wardhana. Wayan yang Trenggalek ini menjadi “warga” kehormatan disana.
Orang mengenalnya sebagai pabrikan dupa. Pemilik pabrik dupa di Jawa. Jawa khusus bagian Trenggalek. Lebih dari 200 kilometer jarak tempuhnya dari Ibukota Provinsi Jawa Timur. Letaknya melaju arah barat lalu menikung menuju selatan.
Lebih dari 4 jam menuju posisinya kalau jarak tempuh dari Surabaya, ibukota Provinsi. Sementara kalau dari Bali, butuh waktu tempuh tambahan dengan lama waktu di dalam kabin pesawat, lebih kurang 40 menit.
Tapi yakinlah, meski lama waktu tempuh lebih panjang, Nova Ali Wardana ini lebih sering terlihat di Bali ketimbang di Surabaya yang Ibukota Provinsi Jawa Timur.
Bukan karena dia merupakan warga kehormatan Bali, namun lebih karena market bisnisnya 90 persen menyasar Bali dan berada di Bali.
Memang ada market lain seperti California, Kanada, China, Australia , dan juga Jepang namun ini sangat tidak mendominasi dan memang belum menjadi proyeksi bisnis yang ditargetkan jadi dominasi untuk market ekspor.
Dupa adalah jalan bisnis Nova Ali Wardana alias Wayan Wardana. Memulainya adalah dengan mekso. Bahasa keren dari mekso ini adalah nekat.
Gurunya adalah youtube dan google. Itu hanya ilmu dasar dan pengetahuan, maka untuk menjadi ahli dan bisa membuat capaian market seperti sekarang maka dia melakukan serangkaian eksplorasi tiada henti terkait produk dan market.
Modal awal 50 juta habis dalam sekejab. Namun hasilnya cukup oke, Nova Ali menjadi mengerti seperti apa permintaan pasar. Maka dia lantas merintis membuat produk dupa dengan bantuan mesin.
Semula, dengan cara tradisional alias manual, dupa bisa saja dibuat. Namun secara kualitas produk kurang bagus. Pasar acapkali menolak.
Apalagi yang disasar Nova Ali adalah market Bali. Provinsi Bali yang notabene pengguna terbesar dupa terkait kepentingan religi, dalam pemahaman umum, cukup identik dengan masyarakat seni.
Maka produk dupa mengikuti irama itu. Irama seni. Ukuran, keindahan, kenyamanan, menjadi prioritas.
Ini yang kita coba kejar dalam produk kita agar produk dupa dari Trenggalek ini benar-benar mampu melayani kebutuhan masyarakat Bali.
Jadi, dulu, sebelum kita menemukan atau belum eksplor produk dupa dengan mesin, kemana-mana, saya selalu membawa penggaris.
Seberapa panjang, seberapa besar, seberapa ukuran panjang stick yang dipegang tangan dengan yang dibakar dan terkena api, selalu dalam perhitungan tepat.
"Cacat sedikit, pengguna dupa tidak nyaman dengan produk, pasti produk ditinggalkan,” jelas Nova Ali.
Menurut dia, produk dupa di Bali sangat banyak. Pemainnya juga banyak. Dari Trenggalek saja minimal ada tiga perajin. Belum yang dari Lumajang. Belum juga yang dari Malang. Perajin yang di sekitar Gunung Kawi juga tak sedikit jumlahnya.
Tak sedikit juga dupa-dupa berkualitas yang datangnya dari Thailand, juga impor dari negara lain. Maka sebenarnya pasar di Bali itu penuh sesak. Malah boleh dibilang rayahan. Rayahan itu bahasa lain dari rebutan. Namun peluang tetap ada dan masih terbuka lebar. Tinggal memilih segmen yang mana.
Di Bali terdapat tiga segmen terkait dengan dupa. Semua segmen ini menjadi sasaran market produk dupa Nova Ali dengan mengibarkan bendera Dupakita Indonesia. Tiga segmen itu masing-masing adalah religi, oleh-oleh/wisata, dan kesehatan/aroma terapi/SPA.
Pengguna paling tinggi adalah religi, sedang wisata dan kesehatan saling terkait dan mendukung. Sedemikian besarnya market ini maka perlu konsentrasi tinggi untuk menggarapnya.
Bukan rahasia kalau di Bali terdapat produk dupa dengan kategori curah. Curah itu non kemasan dan non merek yang produknya berdatangan dari banyak tempat.
Biasanya dengan harga cukup murah. Namun murah bukan solusi disana. Produk boleh murah tapi kalau digunakan merusak pakaian karena terpercik abu panas, pewarna yang lengket di tangan atau mengenai baju dan tak bisa hilang, tentu akan ditinggalkan.
Sebagian mungkin akan tetap menggunakan karena persoalan ekonomi. Namun religi tetaplah religi, itu urusan dengan Tuhan mereka. Kalau sembahyang tidak nyaman, dupa melelehkan abu panas, pasti itu akan mengganggu kekhusukan.
"Nah pasti dupa dari Dupakita Indonesia tidak bermain di ranah itu. Kita sudah mengembangkan dupa yang kalau kena sulut api abu sisa pembakarannya tidak panas dan tidak mampu melubangi baju,” kata Nova mendemonstrasikan produknya, dan benar memang tidak panas.
Lebarnya market Bali ini membuat Dupakita Indonesia berhitung dengan ongkos produksi karena benturan modal. Memang tidak ikut bermain di pasar curah, namun Nova memangkas produksi dengan membuat dupa setengah jadi.
Untuk finishing hingga market retailnya diserahkah pihak lain. Dupakita Indonesia menyediakan bahan baku dupa berkualitas sementara pihak lain bertanggung jawab mulai kemasan hingga pemasaran. “Sama-sama untung dan sama-sama diuntungkan,” ceplos Nova.
Skema ini dilakukan karena produksi dupa hulu sampai hilir akan memakan ongkos yang sangat besar. Aroma dupa yang diinginkan untuk tiga segmen market sangat tergantung dengan minyak impor.
Sementara Dupakita Indonesia cukup kesulitan dengan bahan baku aroma impor tersebut, terlebih masalah permodalan. “Ini pilihan, dan kita cukup bisa bernafas dengan skema ini. Sedikitnya 40 pekerja yang ikut dalam aroma dupa ini bisa bekerja dengan tenang dengan sistem gaji yang tidak pernah terlambat.”
Dengan produk setengah jadi ini, lanjut dia, sebenarnya Dupakita Indonesia sudah overload kapasitas. Rata-rata per bulan hanya mampu berproduksi 10 ton. Padahal kebutuhan jauh di atas itu. Selalu diuber target. Ini sudah cukup merepotkan dan kewalahan.
Maka skema kerjasama itu cukup melegakan, kecuali memiliki kapasitas mesin yang mumpuni juga kemampuan finasial yang oke agar bisa impor minyak sendiri yang harga naik turunnya sangat tergantung dengan nilai tukar mata uang rupiah. Dengan harga per kilogram dupa curah 20 ribu rupiah maka omset 10 ton perbulan ini sudah cukup melegakan.
“Lini peningkatan kapasitas produksi memang sedang kita upayakan, sebab itu kita sedang tengok kanan dan kiri agar bisa mengakses pinjaman lunak untuk periode target selanjutnya,” pungkas Wayan Wardhana yang sudah menjadi warga kehormatan Bali ini dengan senyumnya yang optimis. widikamidi
Advertisement