Dunia Butuh Orang Saleh, yang Pintar dan Benar
Oleh: Ahmad Musta’in Syafi’ie
DARI sekian kalamullah, ayat-ayat Al-Quran yang diawali dengan kata tasbih seperti subhan, yusabbih, dan sabbaha. Seluruhnya pesan setelah tasbih itu menunjukkan hal yang sangat supra-rasional, yang tidak mudah dicerna oleh akal. Untuk itu cara yang terbaik dalam mendekati pesan ayat setelah tasbih adalah dengan keimanan.
Awal surah al-Isra’ ini jika diplot maka menjadi demikian. Pertama diawali dengan subhan yang menunjukkan perspektif teologis atau keimanan. Kemudian asra bi’abidihi lailan sebuah keajaiban. Ini menyangkut tantangan teknologi dan kerja akaliyyah atau kerja yang luar biasa dan seterusnya ditutup dengan innahu huwassami ‘ul bashir. Setelah ditunjukkan peristiwa-peristiwa yang mengagumkan, idealnya ayat ini ditutup dengan innahu ‘ala kulli syain qadir karena cocok antara hal-hal yang merupakan tingginya kekuasaan Allah dengan sifat kekuasaan Tuhan itu sendiri.
Tapi tidak, Tuhan tidak menunjukkan sifat kekuasaannya melainkan menunjukkan sifat monitoringnya. Dialah assami’ Dzat yang Mendengar, apa respon mereka setelah mengetahui peristiwa Al-Isra’ wal Mi’raj?. Al-Bashir, Tuhan Maha Mengetahui, apa respon mereka? Sehingga gambarannya menjadi demikian. Pendasaran keimanan, lalu kerja akaliyah atau kerja teknologi dan lain-lain lalu ditutup lagi dengan keimanan. Keimanan, keilmuan, dan keimanan.
Keajaiban ini jika kita sambung dengan serial khutbah surah Al-Kahfi, bahwa kaanu min ayatina ‘ajaba, Tuhan selalu menunjukkan hal-hal yang luar biasa. Tapi catatan kami, seluruh hal yang luar biasa itu lahir dari orang-orang saleh, lahir dari kesalehan. Maaf, bukan lahir dari kepinteran, bukan lahir dari orang berilmu tinggi dan hebat. Tidak. Seluruhnya itu lahir dari nilai, ketakwaan, kualitas keimanan dan kesalihan yang tinggi. Untuk itu dalam mendekati ayat-ayat yang suprarasional, apakah rasional bisa menjangkau? Jawabannya silakan. Sebagai pendekatan meskipun tidak tuntas.
Jika teleskop-hoble pernah menangkap gugusan bintang yang jauh dari bumi. Diperkirakan jarak tempuh antara bumi dengan gugusan bintang terakhir itu, dibutuhkan 35 juta tahun cahaya. Kemudian langit itu tujuh, sementara bintang itu ada di langit pertama, walaqad zaiyyana sama addunya bimashabiha. Itu artinya al-mashabih masih ada disamai dunya lapis pertama. Dikali tujuh 245 balik lagi dari atas ke bumi lagi, maka menjadi 490.
Pengalaman Perjalanan Nabi
Andai Hadratur Rasul Shallallahu alaihi wasallam (SAW) terbang ke Sidratul Muntaha itu menggunakan kecepatan cahaya, maka dibutuhkan waktu sekitar 490 juta tahun cahaya. Kesuwen (terlalu lama, red), kalau pakai itu Nabi durung mudun dunya wis kiamat gitu (belum turun ke dunia sudah kiamat, red). Pesannya terus apa? Maka harus subhan.
Hebatnya di dalam Al-Quran untuk memberi informasi kepada publik tentang peristiwa Isra' dan Mi'raj dipisah. Ayatnya dipisah. Isra' sendiri dan Mi'raj sendiri. Mi'raj di an najm dan peristiwa Al-Isra' itu diawal Surah Isra'. Hal demikian untuk mengukur dan memperhatikan daya tangkap orang-orang Makkah waktu itu. Jika di-blek–blek no kabeh, yo isra' ya mi’raj (ditumpahkan semua, ya isra' ya mi'raj, red), maka keingkarannya semakin tinggi.
Cukup isra'-nya dulu saja, yang disebut asra' biabdihi lailan minal masjidil aqsha. Pada saat perjalanan antara Makkah dengan Palestina itu banyak diketahui oleh para pedagang. Makkah dan Masjidil Aqsha diperkirakan sekitar 1500 km. Andai ditempuh dengan kecepatan cahaya, cuma 0,05 detik. Peristiwa itu memang menakjubkan karena sudah dipatok dengan subhan, Kemahakuasaan Tuhan yang hebat dan tak terukur, maka tidak bisa digagalkan.
Bukan main Abu Sufyan mangkel (tak rela, red) dan ingin menggagalkan peristiwa itu, agar tidak dipercaya oleh para pembesar-pembesar sekitar Makkah. Beliau mengutus utusan yang terpercaya ke Bitriq, itu penguasa di Palestina. Di pendapa, dia mengutarakan kebohongan-kebohongan Muhammad menurut dia.
Bitriq bertanya,”kebohongan apa yang disampaikan Muhammad?”.
“Bayangkan tuan, katanya kemarin dia semalam pergi ke tempat tuan, ke masjid ini. Ke negeri tuan hanya semalam, balik lagi”.
Tujuannya agar pembesar-pembesar setempat tidak percaya. Tapi Allah itu Maha Sutradara, Maha Bisa Segalanya. Dalam pertemuan itu semua tercengang, masak mungkin sih satu malam itu Makkah - Palestina balik lagi. Di luar dugaan, tak diundang di pertemuan itu di pojok ada qayimul masjid, marbot masjid yang biasa jaga Masjidil Aqsha.
“Tuan tolong izinkan saya berbicara menyampaikan pengalaman waktu itu”.
“Oh ya silakan”.
“Setelah Isya', biasanya semua pintu saya kunci lalu saya tinggal pulang. Malam itu, kecuali satu pintu yang di depan, itu saya kunci nggak bisa. Sehingga saya memutuskan, biarlah saya jaga disini semalam. Besok mau saya panggilin tukang kunci untuk menyervis. Malam hari, ada tamu yang datang memarkir kendaraan di situ. Dan saya melihat cakep dan ganteng. Ternyata dua lelaki itu masuk masjid ini lewat pintu yang tidak bisa saya kunci. Lalu dua orang itu shalat sunah di situ kemudian balik lagi, keluar naik kendaraan lagi. Saya tercengang tidak bisa bicara apa-apa, hanya tertegun saja. Saya perhatikan kendaraan itu aneh dan kemudian hilang. Karena saya ketakutan saya coba tutup lagi pintu yang tadi susah dikunci. Subhanallah, saya kunci bisa lagi. Itulah yang saya lihat dan saya alami”.
Karena Tuhan sudah merencanakan demikian, maka vonis itu tidak bisa digagalkan. Tinggal siapa yang mau merespon, apakah itu dengan keimanan yang baik, Tuhan Maha Mendengar lho!. Dengan kekufuran Tuhan juga mendengar. Dengan kemunafikan, Tuhan juga mendengar. Karena itu peristiwa Al-Isra wal mi’raj ini sesungguhnya adalah refleksi.
Kita menyikapi keimanan kita itu seperti apa. Mau bertambah setelah ada peristiwa Al-Isra' wal mi'raj? Apakah peristiwa Al-Isra'wal mi'raj itu hanya diramai-ramaikan dengan Al-Banjari (Kasidah Al-Banjari, red) lalu subuhnya terserah, tidak ada peningkatan. Ataukah semakin hebat setiap kali melampaui peristiwa Al-Isra' wal mi'raj. Innahu huwa samiul bashir. Itu bukan ayat penutup untuk masa lalu, Al-Quran tidak pernah bercerita sia-sia. Tapi Al-Quran itu eksis, sama dengan sekarang. Bagaimana respon kita setelah peristiwa Al-Isra' wal mi'raj.
Untuk itu, sebagai hal yang tadi kami sebut Ashabul Kahfi itu termasuk kanu min ayatina ‘ajaba. Dan orang-orang yang mempunyai keajaiban. Yang bisa dianugrahi Allah, yang hebat-hebat itu adalah orang-orang yang salih. Apakah selain Nabi, selain para Rasul itu bisa? Bisa. Baik, pertama kita ambil keilmuan dulu. Tuhan sudah menunjukkan bahwa tidak sekadar melalui akses elektronik, gelombang, download, dan internet yang bisa mengunduh keberkahan-keberkahan langit.
Tapi Allah sudah menunjukkan, tidak sekadar akses tapi sekaligus orangnya. Fisik Nabi diterbangkan ke sana. Maka umatnya apakah bisa menembus aqtharis samawat, yang selama ini hanya baru sebagian. Dan saya terima kasih kepada Tuhan karena tidak memi'rajkan Nabi-Nya itu sekadar ke bulan. Kalau sekadar ke bulan mungkin sekarang, bisa jadi, diejek orang-orang Amerika: "Tak usah Nabimu ke sana, kami sendiri bisa ke sana. Kami sudah sering ke sana". Mungkin demikian. Tapi itu hebatnya Allah.
Orang-orang yang di dunia pengetahuan maka ditantang untuk ke sana. Tapi ingat saya tutup khutbah ini dengan penutup ayat dan pembuka ayat pertama, subhana dan kedua penutupnya innahu huwas samiul bashir. Sehebat apapun orang pintar, tapi yang sangat penting adalah orang yang benar. Orang yang salih, yang subhan selalu bertasbih.
Kehebatan orang-orang salih zaman dulu banyak. Saya ambil contoh yang paling mudah dan yang paling tenar itu Sayyidina Umar r.a. bayangkan mana mungkin, orang yang asalnya kafir, tengik tidak karu-karuan, mateni anake dan lain-lain. Bisa mengubah dirinya frontal, dari kufur, dari dzulumat diubah menjadi nur yang sangat gemilang. Sehingga pada akhirnya nilai kesalihan Umar itu sangat tinggi.
Amr bin Ash sebagai Gubernur Mesir dianggap tidak sukses menghentikan tradisi orang Mesir yang selalu membuat tumbal di sungai Nil. Begini bukan hanya di Jawa, tapi di Mesir juga? Sungai Nil itu sering minta tumbal, kalau tidak dikasih tumbal orang, cari gadis yang cantik kemudian dikurbankan di situ. Airnya tidak mengalir, karena dipercaya demikian akhirnya setan tambah nylutak ya, tambah kurang ajar dan bisa. Setan bisa berbuat begitu, pabrik nek gak dikei tumbal terus engkok kecelakaan lek dipercaya ngunu ya temen. Tambah nemen ya-an.
Bagaimana menghentikan kesyirikan seperti ini, sebagai gubernur Amr bin Ash tidak mampu. Lalu mengirim surat ke Sayyidina Umar, ini kondisinya demikiaan. “Lalu bagaimana mengubah ini?”. “Oke”, Sayyidina Umar kirim surat lagi, dan di dalam surat itu ada pesan surat khusus, “Tolong setelah you baca suratku ini, surat saya yang di dalam ini untuk sungai Nil berikan ke dia, lemparkan disitu."
Isinya :
مِنْ عُمَرَ عَبْدِاللهِ اِلَى نِيْلَ مِصْرَ.
Ini suratku dari Umar, hamba Allah pada sungai Nil di Mesir
إِنْ كُنْتَ تَجْرِيْ مِنْ قِبَلِكَ, فَلَاتَجْرِ
Jika you bisa mengalirkan air itu karena kemampuanmu, maka jangan mengalir!
وَإِنْ تَجْرِي مِنْ قِبَلِ اللهِ فَتَجْرِ
Kalau kamu mengalirkan air itu atas kekuasaan Allah, maka arililah airnya.
Surat dicemplungna (dilempar ke sungai). Sumber mengguyur dan air mengalir deras. Dan sekarang tidak ada tradisi kurban-kurbanan lagi. Jadi perlu sebuah tindakan yang radikal atau treatment yang hebat untuk mengubah seperti itu.
Penduduk di pinggiran Madinah mengeluh, tanah ini selalu berguncang. Sering terjadi gempa, Sayyidina Umar dilapori karena waktu itu belum ada BMKG dan lain-lain, jawatan meteorologi dan geofisika juga belum dibentuk. “Ya Umar tolong, kami tidak tenang hidup disini karena sering gempa”.
Sayyidina Umar ingin membuktikan berjalan sendiri dengan menggunakan tombak, begitu istirahat sebentar ternyata betul gempa tidak karuan. Langsung tombaknya ditancapkan di tanah itu. “Uskuni ya ardh, meneng (diam berhenti, red)”. Hai bumi, diam. Dadi gempa bumie disentak, saya khalifah penguasa bumi ini dan kamu adalah makhluk Allah, saya sudah berbuat bagus dengan kamu. Uskuni ya ardh, bumi ditancapkan dengan tombaknya dan dibentak seperti itu seketika gempa tadi tenang dan selamanya tidak ada gempa.
Kesimpulannya, dunia ini butuh orang salih. Sangat butuh, dunia ini sangat butuh orang salih di samping butuh orang pintar. Orang pintar banyak, banyak sekali. Bisa diproduk lewat S1, S2, dan S3. Bisa dan itu penting, tapi jauh lebih penting dari itu orang salih yang bisa bermanfaat, yang bisa mendekatkan diri pada Tuhan. Yang bagus ya pintar ya saleh, ya salih ya pintar. Semoga bermanfaat. Amiin.
KH Ahmad Musta’in Syafi’ie
Mudhir Madrasatul Qur'an Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Naskah mauidzah hasanah kepada para santri di halaman Pesantren Tebuireng dalam rangka memperingati Hari Santri, Refleksi Resolusi Jihad 2017. Sumber: Tebuireng Online