Duh....Susahnya Mengurus KTP untuk Transgender di Surabaya
Dengan langkah gemulai, tujuh transgender mendatangi Mall Pelayanan Publik di gedung bekas Siola Surabaya di Jalan Tunjungan Surabaya, 21 September 2021 kemarin. Sekitar pukul 11:00 WIB mereka bertujuh mendatangi gedung ini. Mereka mendatangi Mall Pelayanan Publik milik Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Pemerintah Kota Surabaya ini, untuk mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP). Maklum, meski mereka sudah dewasa mereka ternyata tak memiliki KTP. Kalau pun pernah punya, keberadaannya sudah entah di mana.
Para transgender ini menjadi bersemangat untuk mengurus KTP karena ada surat dari Kementerian Dalam Negeri RI bernomor 470/11320/Dukcapil. Surat tertanggal 26 Agustus 2021 itu, meminta agar para Kepala Dinas Dukcapil agar melakukan pendataan dan penertiban dokumen administrasi kependudukan (adminduk) bagi penduduk transgender. Masalah KTP ini menjadi penting. Karena Kartu Tanda Penduduk ini menjadi salah syarat untuk mengakses layanan pemerintah. Kartu Tanda Penduduk juga menjadi pengakuan negara atas warganya.
Namun, meski sudah ada surat dari Kementerian Dalam Negeri, proses pembuatan KTP untuk transgender ini tak semudah membalikkan tangan. Mereka masih tetap harus melakukan tahapan wawancara, perekaman cek mata, cap jari, hingga foto setengah badan dengan latar belakang biru. Setidaknya proses itu baru clear sekitar pukul 15:00 WIB.
Meski sudah berhasil mengakses layanan untuk pembuatan KTP, bukan berarti mereka tak menemui masalah. Salah satu anggota tim advokasi dari Jaringan Indonesia Positif (JIP) dan Indonesia Act Coalition (IAC), Dadang Setiawan mengatakan ada beberapa kendala saat proses pembuatan E-KTP bagi para transgender tesebut. Salah satunya, mereka diminta untuk mencabut data yang ada di kota asal.
“Tadi langsung direkam semuanya. Yang kurang memuaskan, teman-teman dari luar pulau harus mengurus di tempat asal,” kata Dadang, saat berada di Kantor Dispendukcapil.
Kata Dadang, syarat itu dianggap memberatkan transgender. Pasalnya, mereka ini sudah dibuang dari tempat asalnya. Keluarga dan orang-orang sekitar tak bisa menerima kenyataan jika ada anggota keluarganya yang menjadi transgender.
“Istilahnya mereka kan dibuang. Mereka keluar tidak membawa identitas terus harus minta balik kan repot. Kecuali yang minta dari instansi kan tak apa,” jelasnya.
Selain masalah tersebut, Dadang juga mengamati, ternyata masih ada stigma negatif dari para abdi negara selama melayani para transgender tersebut. Dadang melihat beberapa petugas Dispendukcapil masih ada yang menertawakan para transgender saat melakukan wawancara. Mereka bertanya, para transgender itu dipanggil Mas, Mbak, atau Sist?
“Itu gak sensitif lah mereka terhadap transgender, meskipun mereka tidak menyampaikan keberatan saya rasa mereka tersinggung,” jelasnya.
Setelah berjam-jam menjalani semua proses, ternyata tak semua berhasil mengurus KTP. Hanya empat yang berhasil mengurus KTP Surabaya sedangkan dua lainnya gagal karena harus mencabut berkas dari kota asal. Yang berhasil membuat KTP itu pun harus menunggu selama tujuh hari kerja untuk mendapatkan KTP.