Dubes Palestina: Ada Pengkhianatan terhadap Semua Bangsa
Duta Besar Palestina di Jakarta, Zuhair Al-Shun, mengungkapkan, normalisasi hubungan Uni Emirat Arab (UEA) bersama Israel yang disepakati 13 Agustus 2020, merupakan langkah pengkhianatan.
“Pengkhianatan terhadap semua bangsa maupun negara yang memiliki kepentingan terhadap Palestina !”.
Menurut Zuhair Al Shun, UEA dan Israel membuat dunia terkejut dengan kesepakatan normalisasi hubungan setelah 26 tahun yang difasilitasi Amerika Serikat.
Kesepakatan itu pun dituangkan kedalam sebuah perjanjian yang disebut “Perjanjian Ibrahim”.
Zuhair menegaskan langkah UEA hanya melemahkan posisi Palestina di mata Israel, yang juga merupakan bentuk pengkhianatan terhadap rakyat Palestina.
“Karena, normalisasi hanya akan memberikan manfaat kepada Israel dan sangat merugikan Palestina. Melemahkan posisi Palestina di mata Israel. Karena, Israel seperti mendapatkan pijakan yang kuat untuk membenarkan penjajahannya,” ujar Zuhair, seperti disiarkan RRI di Jakarta belum lama ini.
Zuhair mengharapkan UEA akan meninjau ulang kesepakatan normalisasi, yang dinilai turut merusak inisiatif perdamaian dan memberikan pengakuan legalitas Israel sebagai sebuah negara.
“Karena, dengan normalisasi itu sendiri menandakan sebuah pengakuan terhadap eksistensi Israel sebagai negara dan itu mengancam Yerusalem juga yang merupakan sebuah wilayah yang bukan menjadi kepentingan Palestina saja tapi kepentingan banyak orang. Karena, sudah dicaplok sebagai Ibu Kota Israel,” imbuhnya.
Penundaan aneksasi Tepi Barat oleh Israel yang disebut sebagai hasil normalisasi UEA, juga dikatakan keliru.
“Tidak ada yang berhak berbicara atas nama rakyat Palestina, seperti apa yang dilakukan UEA. Kecuali, otoritas Palestina itu sendiri. UEA menjustifikasi karena penundaan itu karena normalisasi hubungan mereka. Tapi, pada dasarnya aneksasi itu sudah terjadi dari sebelum normalisasi karena adanya tekanan masyarakat internasional,” tegas Zuhair.
Menurut Zuhair pihaknya optimis tidak akan ada negara-negara di Timur Tengah lainnya yang akan mengikuti langkah UEA seperti yang disampaikan Israel.
“Saya harap itu tidak benar, tentang apa yang mereka bicarakan mengenai Bahrain maupun Sudan. Keuntungan apa yang mereka tingkatkan, ketika mereka memiliki hubungan diplomatik bersama Israel ?. Percayalah, negara-negara yang mengikuti Israel akan menjadi pihak yang kalah pada akhirnya. Israel itu adalah negara penipu,” ujarnya.
Anggota komisi V DPR RI Syahrul Aidi Ma’azat, Indonesia menyayangkan keputusan PEA dengan menormalisasi hubungan bersama Israel, di tengah keputusasaan rakyat Palestina atas penjajahan zionis.
“Karena, disaat Palestina masih dijajah, hak-hak mereka tidak diberikan, rakyat mereka dibunuh, mereka diisolasi, dijajah secara ekonomi, politik dan seluruh kewenangan-kewenangan yang ada. Justru, datang Emirat membuat kerja sama dengan Israel. Kerja sama ini tidak akan mendatangkan kemaslahatan kepada Palestina,” ungkap Syahrul.
Syahrul menyebut Indonesia akan selalu mendukung dan mengutuk berbagai tindakan yang merugikan rakyat Palestina.
“Kita sebagai bangsa Indonesia tentunya selalu berdiri bersama Palestina dan apapun bentuk yang mendatangkan kerugian kepada Palestina itu pasti kita kutuk,” imbuhnya.
Sementara, Indonesia yang tengah menjalankan presidensi di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) periode Agustus, diharapkan mampu memainkan peran untuk menyerukan kepada negara-negara di dunia dengan tidak mengikuti langkah UEA.
“Tidak diragukan lagi bahwa Indonesia memiliki peran penting di isu palestina ini. Indonesia bisa memiliki pengaruh terhadap negara-negara muslim di dunia, bahkan semua negara pada umumnya dan memberikan pesan dan menyerukan tidak mengambil langkah-langkah yang itu akan merugikan bangsa Palestina,” kata Zuhair Al Shun.
Bagi Israel normalisasi hubungan bilateral dengan UEA merupakan prestasi yang dicapai untuk ketiga kalinya. Dalam kesepakatan damai dibuat bersama Mesir pada 1979 dan perjanjian damai bersama Yordania pada 1994.
Sebelumnya, Benyamin Netanyahu mengumumkan akan mencaplok 30 persen wilayah Tepi Barat Palestina yang juga didukung oleh Amerika Serikat melalui proposal perdamaian “Kesepakan Abad Ini”.
Namun, Israel menunda rencana yang seharusnya dilakukan pada 1 Juli 2020 itu.