Dubes In Waiting
Saya suka menyebutnya Duta Besar dalam penantian. In waiting. Sudah pasti terpilih sebagai duta besar, tapi belum dilantik.
Namanya Heri Ahmadi. Arek Ponorogo Jawa Timur ini ditunjuk pemerintah Indonesia untuk memimpin Kedubes RI di Tokyo.
Saya mengenalnya sudah sejak lama. Nama ini sudah sangat terkenal sejak tahun 1978. Ia salah satu tokoh Gerakan Mahasiswa ITB. Melawan Presiden Soeharto.
Heri sempat dipenjara. Nama Ketua Dewan Mahasiswa ITB itu begitu terkenal di kalangan mahasiswa tahun 1980-an. Karena pledoinya berjudul Di Bawah Sepatu Laras.
Ia ikut ditangkap saat tentara menduduki kampus terbesar di Bandung itu. Dulu tentara yang digunakan Soeharto membungkam gerakan mahasiswa.
Saya termasuk pembaca buku diktat yang dicetak dari pembelaan Heri saat diadili. Tentu membacanya sambil sembunyi-sembunyi. Sebab, ketauan menyimpan buku terlarang bisa berabe.
Ketika saya menjadi wartawan, Heri menjadi koresponden koran terbesar yang terbit dari Surabaya. Sambil mendampingi istrinya yang sedang kuliah di Amerika. Mencari tambahan penghasilan di perantauan.
Saya baru bertemu langsung secara fisik saat ia ikut liputan Muktamar NU di Cipasung, 1994. Yang juga berlangsung dramatis. Karena Soeharto tak ingin Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) jadi ketua umum lagi.
Ketika Gus Dur runtang-runtung dengan Megawati Soekarnoputri. Anak Presiden Soekarno yang sedang diganjal Soeharto untuk tampil memimpin Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sebelum ada tambahan Perjuangan di belakangnya.
Heri ternyata tak lekang melawan Soeharto yang sudah berkuasa puluhan tahun dengan tangan besi. Bahkan, anak pertamanya diberi nama bernada perlawanan:
Gempur Soeharto.
Setelah reformasi, ia bergabung dengan PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati. Sempat menjadi anggota DPR RI dari partai berlambang kepala banteng moncong putih itu.
Hanya satu periode. Seingat saya.
Tapi setelah itu ia tetap aktif di partai itu. Terakhir, sarjana pertambangan ITB tersebut menjadi Kepala Litbang DPP PDI Perjuangan. Sampai sekarang.
Ketika ia terpilih menjadi Dubes RI di Tokyo, saya pun langsung mengontaknya. Memberi selamat. Juga menyampaikan keluhan para investor Jepang yang sudah lama di sini.
Keluhan tentang kepastian bisnis di Indonesia. Yang dirasakan sangat mengganggu kinerja perusahaan yang sudah bertahun-tahun berkontribusi untuk negeri ini.
Kebetulan, sudah 4 tahun lamanya saya menjadi konsultan PT Smelting. Perusahaan peleburan dan pemurnian tembaga yang beroperasi di Gresik sejak 1986 lalu.
Inilah smelter tembaga pertama dan satu-satunya di Indonesia. Yang mengolah semua konsentrat tembaga hasil tambang PT Freeport Indonesia di Mimika, Papua.
Gayung bersambut. Ia ternyata juga sudah diwaduli Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa soal keluhan para investor Jepang. Ia juga telah disambati pengusaha Jepang yang ada di Jakarta.
Heri yang sedang menunggu pelantikan ini pun bergerak cepat. Hanya selang sehari ia mengajak rapat secara daring. Memperdalam persoalan yang dihadapi PT Smelting.
Soal perselisihan pajak yang tak masuk akal. Yang kasusnya sudah sejak tahun 2009. Yang oleh pengadilan pajak baru diputus tahun 2014.
PT Smelting dianggap kurang bayar. Yang nilainya sangat fantastis. Yang berbeda jauh dari tahun-tahun sebelumnya dan sesudahnya.
Petugas pajak menggunakan cara perhitungan sendiri. Termasuk selisih harga perdagangan tembaga itu setelah dijual di luar negeri. Menarik pajak perdagangan di negeri orang.
"Berdasarkan survei, 50 persen lebih perusahaan Jepang di Indonesia menghadapi masalah pajak," kata Heri Ahmadi.
Dalam meeting daring, Heri juga melibatkan para pejabat Kedubes RI yang ada di Tokyo. Meeting garus: gayeng tapi serius.
Tak cukup hanya rapat lewat daring. Kamis kemarin, 27 Agustus 2020, ia mengundang direksi PT Smelting di kantor "penantian"nya di Wisma Nusantara.
Gedung tinggi pertama di Jakarta. Di Jalan Thamrin. Yang dibangun oleh Jepang. Bergandengan dengan Hotel Niko yang kini berubah menjadi Hotel Pullman.
Gedung yang sebentar lagi ketinggiannya kalah dengan gedung di seberangnya. Yang dibangun Surya Paloh dengan investor China. Negeri musuh bebuyutan Jepang.
Dia mengumpulkan data lebih dalam. Dari berbagai perusahaan Jepang. Yang akan dibawa dalam sebuah Forum Group Discussian (FGD). Melibatkan banyak pihak, termasuk Kementerian Keuangan.
"Ini harus menjadi perhatian kita semua. Agar investasi yang sudah di sini tidak lari. Juga untuk mendatangkan investasi baru guna mendongkrak ekonomi negeri ini," katanya.
Heri punya prinsip. Testimoni adalah alat diplomasi paling ampuh. Untuk menarik investasi dari luar negeri. Karena itu, ia gercep (gerak cepat) merespon keluhan pengusaha Jepang di sini.
Gercepnya Heri Ahmadi membuat senang para pengusaha Jepang. Mereka berharap banyak Dubes in Waiting ini bisa meringankan beban. Sehingga mereka bisa kerasan.
Inilah era baru diplomasi Indonesia. Dengan para diplomat yang latar belakangnya makin beragam. Seperti Heri Ahmadi yang mantan wartawan.
Diplomasi yang tidak terfokus pada hubungan politik antar negara. Tapi lebih kepada urusan ekonomi yang bisa menyejahterakan warga negaranya.
Saya pun tak sabar ia segera berangkat ke Tokyo. Agar saya bisa juga ke sana. Untuk mempertemukan bos besar PT Smelting dengannya.
Ini mah namanya ngareb berkah. Dari jabatan baru seorang kawan. Ha...ha...ha...
Advertisement