Dua Solusi Atasi Ekstremisme Beragama, Ini Peran Pesantren
Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid Sa'adi mengungkapkan, pesantren berkontribusi dalam berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Pesantren juga berperan besar dalam pembangunan bangsa, termasuk dalam mengawal pemahaman keagamaan masyarakat yang tawassuth atau moderat."
Demikian dikatakan Zainut Tauhid Sa'adi saat memberikan sambutan pada Haflatul Ikhtitam Pondok Pesantren Asshiddiqiyah di Kedoya, Jakarta. Acara ini mengangkat tema "Santri Sehat, Negeri Kuat dan Bermartabat”.
Selain para santri wisudawan, hadir jajaran pengasuh dan ustadz pesantren yang didirikan KH Noer Muhammad Iskandar (almaghfurlah) ini.
"Saya meyakini bahwa pesantren adalah tonggak utama dalam mengawal moderasi beragama," tegas Wamenag di Kedoya, Sabtu 3 April 2021.
Menurutnya, moderasi beragama tidak akan dapat tercipta tanpa prinsip adil dan berimbang. Dan prinsip seperti ini yang selama ratusan tahun diajarkan di lingkungan pesantren.
Dua Solusi Ekstremisme Beragama
"Islam wasathiyah, atau Islam tengahan, lanjut Wamenag, sesungguhnya menjadi solusi antara dua ekstremitas beragama. Yaitu:
Pertama: Ekstremitas beragama yang bersumber dari tafsir agama yang tekstualis, literer dan hanya berdasar pada dhohir nash.
"Sehingga, menyebabkan pemahaman agama yang sempit, konservatif dan ultrakonservatif, yang pada titik tertentu dapat membenarkan kekerasan dan kebencian atas nama agama," tuturnya.
Kedua, kata Wamenag, ekstremitas agama yang ingin melepaskan diri dari teks-teks agama dan mengarah pada pemahaman agama yang bebas dan liberal.
"Pemerintah meyakini, pengetahuan agama Islam secara menyeluruh dan mendalam yang adil dan berimbang, banyak bermula dari tradisi pembelajaran di pesantren," jelas Zainut Tauhid Sa'adi.
Jawaban atas Tantangan Zaman di Dunia Pendidikan
Wamenag yakin, pendidikan model pesantren dapat menjadi jawaban atas meningkatnya semangat masyarakat untuk belajar agama saat ini. Fenomena yang ditemui, meningkatnya gairah belajar agama di masyarakat seringkali tersalurkan melalui pembelajaran lewat internet dan media sosial, yang sulit untuk dipastikan kesesuaian metode pembelajaran, sanad keilmuan, dan kapasitas pengajar agamanya.
Pembelajaran agama yang keliru terbukti berpengaruh pada munculnya eksklusivisme beragama dan intoleransi, yang berpotensi konflik di tengah masyarakat, serta mengancam kesatuan bangsa dan nilai-nilai kemanusiaan.
"Oleh sebab itu, kami mengajak bapak ibu, dan seluruh masyarakat pesantren untuk memasyarakatkan dan memelihara Islam wasathiyah, yang merupakan solusi paling tepat menghadapi kemajemukan bangsa," jelasnya.
"Misi kenabian yang diemban oleh pondok pesantren sepatutnya memberi inspirasi pada kita dalam menghadapi segala kesulitan yang hadir utamanya pada masa pandemi Covid-19 ini," sambungnya.
Wamenag menyampaikan ucapan selamat kepada para santri yang baru saja menyelesaikan sekolah. Wamenag berpesan agar alumni tetao menggenggam erat nilai-nilai Islam khas pesantren, di mana pun, kapan pun, dan dalam kondisi seperti apapun.
"Santri kini bisa jadi apa saja, termasuk Presiden, Wakil Presiden, ilmuwan, dokter, advokat, dan tentunya ulama. Minimal, santri menjadi pribadi yang memahami ilmu agama untuk berkontribusi positif dalam perbaikan dan peningkatan kualitas hidup bangsa dan negara secara berkelanjutan," tutur Wamenag.
Advertisement