Dua Rais Am PBNU Bertemu, Ini Peristiwa Langka yang Bikin Haru
Dua Tokoh ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) bertemu. Demikian pertemuan KH Ahmad Mustofa Bisri dan KH Ali Yafie, di bilangan Bintaro Jakarta, Selasa 28 Januari 2020.
Gus Mus, panggilan akrab Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 2014-2015, melakukan kunjungan silaturahimi ke kediaman Prof KH Ali Yafie, Rais Am PBNU 1992-1993 dan Ketua MUI Pusat semasa Presiden BJ Habibie.
"Alhamdulillah, bisa sowan Al-Allãmah KH. Ali Yafie ('Iyãdah dan sekalian takziah). Dalam usia 94 tahun, KH.Ali Yafi masih jernih pikiran dan --seperti biasanya-- tertata rapi bicaranya. Mungkin kuncinya: sampai saat ini, seperti kata salah satu puteranya, beliau masih terus aktif membaca," kata Gus Mus di akun facebook miliknya.
Tentu saja, Gus Mus sekaligus menampilkan foto kunjungan silaturahminya itu. Dan menjadikan warganet berdecak bahagia sekaligus meneduhkan bagi siapa pun yang melihatnya.
"Sebelum berpamitan, atas permohonanku dan anak-anak-cucuku (Ulil Abshar Abdalla, Ienas Tsuroiya dan kedua anaknya; Rabi'ah Al-Bisyriyah dan Maiya-nya), beliau berkenan mendoakan kami. AdãmaLlãhu 'izzahu...," kata Gus Mus.
Keduanya adalah tokoh Islam Indonesia. Dikenal sebagai Rais Am PBNU dan aktif dalam perjuangan dakwah Islam moderat.
Gus Mus dalam pertemuan itu sekaligus menyatakan belasungkawa atas meninggalnya, Ny Hj Aisyiyah bin Umar, isteri KH Ali Yafie beberapa hari lalu.
Dalam pertemuan itu, Kiai Ali Yafie didampingi H Helmy Ali Yafie dan Azmi Ali Yafie, kedua putra ulama asal Sulawesi itu.
Prof. KH. Ali Yafie adalah mantan Rektor Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta setelah Prof. DR. KH. Ibrahim Hosen, LML. ini lahir di Donggala, Sulawesi Tengah, 1 September 1926. Di samping sebagai ulama fiqh dan mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia, ia juga termasuk tokoh Nahdlatul Ulama, dan pernah menjabat sebagai pejabat sementara Rais Aam (1991-1992).
Kiai Ali Yafie tercatat pernah aktif sebagai pengasuh Pondok Pesantren Darul Dakwah Al Irsyad, Pare-Pare, Sulawesi Selatan yang didirikannya tahun 1947, serta sebagai anggota dewan penasehat untuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan terutama juga menjadi guru besar di IIQ Jakarta.
Ali Yafie memperoleh pendidikan pertamanya pada sekolah dasar umum, yang dilanjutkan dengan pendidikan di Madrasah Asadiyah yang terkenal di Sengkang, Sulawesi Selatan.
Spesialisasinya adalah pada ilmu fiqh dan dikenal luas sebagai seorang ahli dalam bidang ini. Ia mengabdikan diri sebagai hakim di Pengadilan AgamaUjung Pandang sejak 1959 sampai 1962, kemudian inspektorat Pengadilan Agama Indonesia Timur (1962-1965).
Sejak 1965 hingga 1971, ia menjadi dekan di fakultas Ushuluddin IAIN UjungPandang (kini Makassar), dan aktif di NU tingkat provinsi. Ia mulai aktif di tingkat nasional pada 1971. Pada muktamar NU 1971 di Surabaya ia terpilih menjadi Rais Syuriyah, dan setelah pemilu diangkat menjadi anggota DPR. Kemudian ia tetap menjadi anggota DPR sampai 1987, ketika Djaelani Naro, tidak lagi memasukkannya dalam daftar calon.
Sejak itu, Ali Yafie mengajar di berbagai lembaga pendidikan tinggi Islam di Jakarta, dan semakin aktif di Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan di IIQ Jakarta. Berkat pengabdiannya pada Al-Qur’an, pada Muktamar NU di Semarang 1979 dan Situbondo 1984, ia terpilih kembali sehagai Rais, dan di Muktamar Krapyak 1989 sebagai wakil Rais Aam.
Karena Kiai Achmad Siddiq meninggal dunia pada 1991, maka sebagai Wakil Rais Aam ia kemudian bertindak menjalankan tugas, tanggung jawab, hak dan wewenang sebagai pejabat sementara Rais Aam. Setelah terlibat konflik dengan Abdurrahman Wahid mengenai penerimaan bantuan dari Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial untuk NU, Ali Yafie menarik diri dari PBNU.
Advertisement