Dua Menteri Mengundurkan Diri, Ini Saran Penting untuk Presiden
Presiden Joko Widodo disarankan menunjuk Pelaksana Tugas (Plt) guna menggantikan Yasonna H. Laoly sebagai Menkumham. Hal yang sama juga berlaku untuk Menko PMK menggantikan Puan Maharani.
Kedua politisi PDI Perjuangan (PDIP) itu terpilih sebagai anggota DPR Periode 2019-2024 yang akan dilantik pada 1 Oktober 2019.
"Saya kira semua menteri yang terpilih jadi anggota DPR menurut UU memang harus mundur. Maka ya wajar saja kalau mau dilantik jadi anggota DPR harus terlebih dahulu mengundurkan diri".
Demikian diungkap Sekjen PPP Arsul Sani pada sejumlah media di Jakarta, Sabtu 29 September 2019. Anggota Komisi III DPR itu menyerahkan sepenuhnya keputusan penunjukkan pengganti Yasonna dan Puan kepada Kepala Negara.
Meski demikian, Jokowi masih punya alternatif pilihan lainnya yakni melakukan reshuflle sebelum masa pemerintahannya di periode ini berakhir pada 20 Oktober.
"Ya kalau saya kira itu berpulang pada Pak Jokowi alternatifnya, bisa seperti yang terjadi pada Mas Imam Nahrawai. Berarti ya Plt menteri di sisa waktu ini. Alternatif kedua menunjuk orang dari luar jadi menteri sampai 20 Oktober," ujarnya.
Yasonna mengirimkan surat pengunduran diri kepada Presiden pada Jumat 27 September 2019. Pengunduran diri ini karena Yasonna akan dilantik sebagai anggota DPR 2019-2024 pada 1 Oktober.
Sebelum mengirim surat pengunduran diri, Yasonna sempat menegaskan, Presiden tidak akan mengeluarkan perppu untuk mencabut UU KPK. Presiden, kata Yasonna, meminta penolak UU KPK untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
"Kan sudah saya bilang, sudah Presiden bilang, gunakan mekanisme konstitusional. Lewat MK dong. Masa kita main paksa-paksa, sudahlah," kata Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu 25 September 2019.
Yasonna menilai tak ada kegentingan yang memaksa sebagai syarat bagi Presiden untuk menerbitkan perppu. Ia menilai demo mahasiswa yang berujung bentrokan dengan aparat di sejumlah daerah juga tidak cukup untuk menjadi alasan mencabut UU KPK.
"Enggaklah. Bukan apa, jangan dibiasakan, Irman Putra Sidin (pakar hukum) juga mengatakan janganlah membiasakan cara-cara begitu. Berarti cara itu mendelegitimasi lembaga negara. Seolah-olah enggak percaya pada MK," kata dia.
Namun, sehari setelahnya Jokowi mengaku mempertimbangkan tuntutan mahasiswa dan masyarakat untuk menerbitkan perppu. Hal itu disampaikan Jokowi seusai bertemu puluhan tokoh di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis 26 September 2019.
"Berkaitan dengan UU KPK yang sudah disahkan oleh DPR, banyak sekali masukan yang diberikan kepada kami, utamanya masukan itu berupa perppu. Tentu saja ini kami hitung, kalkulasi, dan nanti setelah itu akan kami putuskan dan sampaikan kepada senior-senior yang hadir pada sore hari ini," kata Jokowi didampingi para tokoh yang hadir.
UU KPK hasil revisi ramai-ramai ditolak karena disusun secara terburu-buru tanpa melibatkan masyarakat dan unsur pimpinan KPK. Isi UU KPK yang baru juga dinilai mengandung banyak pasal yang dapat melemahkan kerja lembaga antikorupsi itu.
Misalnya, KPK yang berstatus lembaga negara dan pegawai KPK yang berstatus ASN dapat mengganggu independensi. Dibentuknya dewan pengawas dan penyadapan harus seizin dewan pengawas juga bisa mengganggu penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK.
Kewenangan KPK untuk bisa menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam jangka waktu dua tahun juga dinilai bisa membuat KPK kesulitan menangani kasus besar dan kompleks.
Advertisement