Dua Lelucon! Pemimpin Membawa Petaka Negeri, ya Menipu Tuhan
Menjelang pesta demokrasi, khususnya Pilpres, masyarakat terkonsentrasi dengan debat capres. Ditayangkan secara luas di televisi. Tapi, adakah memunculkan lelucon politik?
Ya, untuk meleraikan ketegangan soal pilpres, dengan pernik-pernik kampanye negatif dan kampanye hitamnya, perlu humor-humor politik.
Kali ini, ada dua lelucon yang diproduksi di masa lalu. Namun, konteksnya bisa menjadi aktual di masa kini.
1. Ketika Abu Nawas Menipu Tuhan
Abu Nawas ulama yang mempunyai murid cukup banyak. Salah satu muridnya pun bertanya mengenai Tuhan dan tingkatan iman manusia.
Abu Nawas menjelaskan dengan sabar. Dia juga mengajak muridnya untuk ikut berpikir bersama.
“Manusia dibagi tiga tingkatan. Tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati,” sebut Abu Nawas memulai ceritanya.
“Apakah tingkatan mata itu?” tanya murid Abu Nawas.
“Anak kecil yang melihat bintang di langit. la mengatakan bintang itu kecil karena ia hanya menggunakan mata.” jawab Abu Nawas mengandaikan.
“Apakah tingkatan otak itu?” tanya murid Abu Nawas. “Orang pandai yang melihat bintang di langit. la mengatakan bintang itu besar karena ia berpengetahuan.” jawab Abu Nawas.
“Lalu apakah tingkatan hati itu?” tanya murid Abu Nawas.
“Orang pandai dan mengerti yang melihat bintang di langit. la tetap mengatakan bintang itu kecil walaupun ia tahu bintang itu besar. Karena bagi orang yang mengerti tidak ada sesuatu apapun yang besar jika dibandingkan dengan Maha-Besaran Allah.”
Kini murid Abu Nawas mulai mengerti mengenai tingkatan manusia. Dia pun penasaran apakah manusia bisa menipu Tuhan.
“Wahai guru, mungkinkah manusia bisa menipu Tuhan?” tanya sang murid.
“Mungkin.” jawab Abu Nawas.
“Bagaimana caranya?” tanya murid Abu Nawas ingin tahu.
“Dengan merayu-Nya melalui pujian dan doa.” kata Abu Nawas
“Ajarkanlah doa itu padaku wahai guru.” pinta murid Abu Nawas
“Doa itu adalah : llahi lastu lil firdausi ahla, wala aqwa’alan naril jahiimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzanbil ‘adhimi,” jelas Abu Nawas.
“Wahai Tuhanku, aku ini tidak pantas menjadi penghuni Surga, tetapi aku tidak akan kuat terhadap panasnya api neraka. Oleh sebab itu terimalah tobatku serta ampunilah dosa-dosaku. Karena sesungguhnya Engkaulah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar.”
Abu Nawas mengajarkan muridnya untuk “menipu” Tuhan agar makin dekat dan tingkat keimanan juga bisa terjaga. Selain itu, dihindari dari siksa api neraka.
2. Pemimpin Membawa Petaka bagi Negeri
Nasruddin diajak Timur Lenk untuk mengikuti perjalanannya mengunjungi daerah-daerah. Kunjungan ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana kepatuhan mereka terhadap penguasa lalim itu.
Di suatu hari mereka mengunjungi suatu desa yang pada saat itu terlanda gempa, beberapa rumah ambruk dan menimpa penghuninya sampai mati. Melihat kejadian itu Timur Lenk tertawa terbahak-bahak, lalu katanya “Mengapa kalian biarkan rumah itu menimpa mereka?”
Di hari lainnya di desa lain, air bah turun menghajar desa yang membuat banyak rumah rusak dan banyak orang yang mati. Bagi Timur Lenk kejadian itu seakan merupakan peristiwa yang lucu dan ia berkata “ Mengapa mereka tidak mengalihkan arah air itu?”
Di tempat selanjutnya, ketika mereka tiba, mereka mendapat laporan bahwa ada sapi mengamuk dan menelan banyak korban jiwa. Mendengar laporan itu Timur Lenk pun tertawa terbahak-bahak, lalu ujarnya “Sapi itu patut menjadi pasukanku!”
Melihat perilaku sang tiran yang rupanya pecinta komedi slapstick, Nasruddin pun tidak tahan. Lalu ia menghadap penguasa.
Dia pun berkata, “Paduka! Tampaknya kebahagiaan selalu menyertai paduka ke mana pun pergi, dan burung Nasar (burung pemakan bangkai) selalu menyertai paduka ke mana pun paduka pergi. Setiap matahari terbit, selalu ada saja peristiwa yang membuat paduka bahagia. Saya mohon perjalanan paduka tak usah dilanjutkan saja. Saya khawatir bila perjalanan ini diteruskan, warga dan negri ini bakal hancur.”