Begini Rasanya Dua Kali Selamat dari Bencana
Allah sungguh berbaik hati pada saya. Setidaknya dua kali saya dihindarkan dari celaka saat menjalani rutinitas hunting berita, menjadi wartawan ngopibareng.id, terhindar dari reruntuhan atap warung kopi dan selamat dari tertimpa pohon besar yang roboh, saat hujan deras dan angin kencang melanda kota Lamongan, Rabu 23 Januari 2019.
Seperti biasa hari ini saya bersiap liputan. Tujuannya ke kota Lamongan yang berjarak sekitar 25 kilometer dari rumah saya di wilayah Babat.
Menjelang siang setelah menemui beberapa narasumber, saya ngepos di Balai Wartawan Lamongan. Kumpul-kumpul, ngopi bareng dengan teman-teman media lain di Lamongan.
Saat itulah seorang teman Kepala UPT PMK Paciran bernama Sholikin mengirimkan pesan WA. Ngajak ketemuan di warung kopi cacing pak Brewok di Jalan Pahlawan. Saya pun bergegas, beranjak dari balai wartawan.
Mendung tebal menggantung di langit Kota Lamongan. Jam dipergelangan saya menunjukkan pukul 12.30 WIB. Saya berdoa berharap hujan jangan turun dulu. Bukan semata ingin bertemu dengan teman jauh, namun kopi cacing yang menjadi tempat pertemuan menggelitik saya. Pasti unik kalau ditulis jadi berita.
Warung kopi cacing Pak Brewok berada di tepi jalan raya, tepatnya jalan Pahlawan Lamongan. Warungnya kecil. Berdinding triplek dan anyaman bambu. Lantainya masih tanah.
Selain teman saya, ada tiga orang yang asyik nyeruput kopi. Tapi ketiganya cepat-cepat undur diri saat hujan turun.
Saya memesan segelas kopi cacing. Terasa hangat di badan mengusir hawa dingin akibat hempasan hujan. Di antara obrolan dengan Pak Sholikin saya berusaha mengkorek data dari pemilik warung kopi cacing.
Hujan turun semakin deras. Atap warung dari esbes terdengar berderak-derak oleh curahan hujan dan angin yang mulai berhembus kencang. Pak Sholikin tiba-tiba pamitan. Berlari keluar menuju mobilnya yang terparkir di luar. Saya hanya tersenyum kecut.
Di dalam warung tinggal saya sendiri bersama Pak Brewok dan istrinya. Saya masih berusaha mengorek beberapa hal tentang kopi cacing kepada pasangan separuh baya itu meski hujan semakin menggila, angin semakin menghempas keras, menderu-deru menerobos pintu dan jendela warung.
"Braaaaaaaaaaaaak...!" kami dikejutkan dengan jatuhnya esbes di atas pintu depan warung. Esbes jatuh berantakan terserak di lantai. Atap atas warung jebol, air hujan dan hempasan hujan leluasa menyeruak masuk ke dalam warung.
"Ya Allah, piye Pak?" kata istri pak Brewok melihat jatuhnya atap warung. Pak Brewok yang memiliki nama asli Kasmari itu dengan tergopoh-gopoh berusaha menutup cendela dan pintu warung. Sementara hati saya mulai kebat-kebit.
"Braaaaaaaaaaaaak....kembali angin kencang merontokkan esbes atap warung. Hanya berjarak satu meteran dari tempat saya duduk.
"Kita keluar saja, cari selamat!" kata Pak Brewok berteriak. Kami pun segera berlari keluar warung.
Hujan deras seketika mengkuyupkan sekujur tubuh saya. Angin kencang menderu-deru. Tapi tidak ada tempat aman berteduh. Rumah besar di samping warung Pak Brewok pagarnya terkunci rapat.
Beberapa detik berhujan-hujan di tepi jalan raya, di depan warung Pak Brewok. Angin sangat kencang kembali menghempas. Saya masih sempat melihat hampir semua atap esbes warung pak Brewok rontok dan beterbangan.
Allah telah menyelamatkan saya. Andai masih di dalam warung kemungkinan besar saya akan celaka. Tertimpa reruntuhan atap warung.
Saya kemudian memutuskan berlari ke arah warung tenda berjarak sekitar sepuluh meter dari warkop Pak Brewok. Di bawah terop warung tenda sudah ada empat orang termasuk pemilik warung yang berteduh. Menjadi enam orang saat Pak Brewok dan istrinya ikut menyusul berteduh.
Beberapa menit berteduh saya tidak tenang. Saya melihat motor Vega saya mangkrak di pinggir jalan. Tadi saya parkir agak jauh dari warung. Meski sudah lumayan tua, motor itu saya beli dengan jerih payah. Selama tiga tahun saya ngempet nyicil angsurannya. Motor itu setia menemani saya bekerja belasan tahun.
Hujan semakin deras saja. Angin kencang menderu-deru. Suasana terasa mencekam. Pemilik warung tenda berulangkali mengumandangkan adzan, lantang seakan berusaha menaklukkan dahsyatnya angin dan hujan. Seruan menyebut asma Allah berulang-ulang terdengar dari mereka yang berteduh.
Suara berdebum keras menyentakkan kami. Sebuah pohon besar di sisi barat jalan raya tumbang. Melintang di jalan raya hingga ke sisi timur jalan raya. Hati saya berdesir. Pohon itu tumbang hanya kurang dari satu meter motor saya parkir.
"Blai slamet pak!" ada suara dari belakang menyentakkan saya dari terpana. Saya hanya mengangguk perlahan. Bibir saya tanpa sadar bergetar mengucap syukur atas pertolongan-Nya yang kedua kali. Andai pohon itu tumbang dan menimpa motor saya...
Lebih setengah jam saya dan orang-orang yang berteduh dibelit ketakutan di bawah sempitnya terop warung tenda. Saat hujan mereda saya beranjak menuju motor. Tapi sebelum membawa motor melaju saya kembali turun. Menghampiri pak Brewok di dalam warung.
"Kopi cacing e wau pinten pak? " tanya saya ke Pak Brewok.
"Sedoso ewu (sepuluh ribu) pak," ucap lelaki dengan kumis dan brewok tebal itu.
Saya rogoh saku celana yang basah kuyup. Ada dua lembar puluhan ribu. Saya angsurkan ke Pak Brewok selembar.
"Ngapunten Pak, uangnya basah," kata saya. Pak Brewok hanya tersenyum. Memandangi kepergian saya yang menggigil melawan dingin. (Totok Martono)
Advertisement