Dua Jas Sang Presiden
Dalam perkara kepemimpinan Indonesia, kita percayakan saja pada cara Indonesia. Cara itu mungkin yang lebih bijak, agar kita terhindar dari bias orang lain dalam perkara yang sama.
Terlalu sering kita memaksa diri untuk meniru orang lain, termasuk soal dan teori kepemimpinan. Hemat saya, teori kepemimpinan yang cocok untuk Indonesia itu ialah tuntunan kuno dari Ki Hajar Dewantoro, misalnya. Apalagi untuk kepemimpinan orang banyak atau publik.
Tak usah kita jauh-jauh memberi contoh teori dan pengalaman bangsa lain. Sebab itu mengandung risiko tersendiri. Ora cucok, kata wong Jawa Timuran. Kalau tidak percaya mari kita lihat dalam cara kita memimpin bangsa.
Misalnya soal sistem Presidensial.
Dalam diskursus ketatanegaraan, sistem presidensialisme kerapkali menjadi topik yang banyak mendapat kritik. Kritik itu muncul karena produk yg lahir dari sistem itu tidak mampu melahirkan kesejahteraan yang diharapkan. Mengapa itu terjadi?
Masalahnya sistem itu menempatkan atau mempercayakan dua pekerjaan sangat besar ditangan satu orang. Padahal keduanya memiliki prasyarat yang berbeda. Seorang presiden dipaksa memegang tugas sebagai seorang kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan.
Artinya seorang presiden terpilih akan menggunakan dua jas sekaligus begitu dia dilantik sebagai Presiden; sebagai buah dari sistem presidentalisme itu. Atau dalam bahasa tradisionalnya presiden itu tidak cukup hanya cakap, gesit, dan tegas, namun juga mesti arif dan bijaksana.
Apa orang yang seperti itu saat ini tersedia banyak, sehingga cukup syarat untuk dipertandingkan dalam pemilu? Rasanya kedepan semakin langka. Kelangkaan itu terjadi karena salah satunya sistem politik kita tidak mampu membuka sumber munculnya calon-calon pemimpin. Pemimpin melulu lewat partai politik, kalaulah ada independen, sangat kecil kemungkinan mereka bisa terpilih.
Dalam masyarakat yang demokratis, terbuka, bebas, siapa saja bisa menjadi seorang Presiden. Asal dia punya duit banyak, bayar konsultan yang bagus, tipu sana tipu sini (tipsa-tipsi) jadilah dia pemimpin.
Kembali pada soal dua jas sang presiden itu, anda bisa rasakan betapa beratnya tugas seorang presiden, meskipun pada dirinya terjadi pula pemusatan kekuasaan negara. Dalam sejarah kekuasaan kita belajar, betapa bahayanya pemusatan kekuasaan pada satu orang itu.
Mengapa? Karena bisa membuka peluang yang lebar untuk terjadinya otoritarianisme atau minimal berkuasa nya sekelompok orang (oligarkis), dan ini jelas tindakan anti demokrasi.
Bahaya berikutnya biasanya memperlemah peran pengawasan dan fungsi-fungsi strategis DPR sebagai perwakilan rakyat. Pada level operasional administrasi negara, pejabat – pejabat negara yang diangkat cenderung dimanfaatkan untuk loyal dan mendukung kelangsungan kekuasaan presiden.
Belum lagi soal kebijakan yang dibuatnya dipastikan cenderung menguntungkan orang – orang yang dekat sang presiden. Biasanya juga akan menciptakan perilaku KKN. Lihat misalnya berbagai aksi perampokan BUMN oleh orang orang dekat presiden seperti yang lagi viral yaitu kasus Jiwasraya maupun Asabri.
Bahaya yang sangat besar adalah rakyat sebagai pemilik kedaulatan sejati dalam demokrasi dibuat makin tidak berdaya, dan tunduk pada presiden, meski presiden itu melakukan kesalahan yang fatal bagi bangsa. Inilah, akibat buruk dari sistem yang menjadikan dua jas presiden menempel pada satu tubuh yang sama; Presiden.
Tapi apa jalan keluarnya? Ada cara baru yang bisa kita tempuh. Begini, sistem presidentialisme yang kita anut itu rasanya terlalu ekstrim. Ada baiknya kita kendorkan sedikit, agar bangsa ini lebih rileks dalam mengelola negara. Bagaimana caranya? Pertama, kita mesti menggunakan cara-cara parlementerianisme dalam soal kekuasaan pemerintahan.
Misalnya, fungsi administrasi pemerintahan dikelola oleh seorang Menteri Koordinator, eksisting mereka menjalani fungsi sebagaimana seorang perdana menteri. Di Amerika Serikat, ketika media bicara soal pemerintahan maka istilah yang muncul bukan 'Presiden Obama' atau Presiden Bush, tetapi Obama administration atau Bush Administration. Itu artinya Bush dan Obama sedang menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan.
Saya tidak tahu istilahnya apa kalau kita adopsi di Indonesia. Silakan saja para pakar hukum administrasi negara merumuskannya. Rasanya tak perlu juga mengadopsi sepenuhnya milik orang lain. Sebagaimana pesan Profesor Bahtiar Effendi, demokrasi itu tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan kultural masyarakatnya. Jadi meniru itu tidak harus plek bedol desa, tapi mesti disesuaikan dengan kebutuhan kita.
Bagaimana implikasi politiknya di Indonesia? Hemat saya, menteri koordinator (Menko) itu dipilih oleh DPR dan bertanggungjawab pada parlemen. Parlemen bisa memecat mereka kapan saja, tentu dengan persetujuan presiden. Jadi Menko itu CEO sebagaimana layaknya dalam korporasi, sedang Presiden dan DPR itu komisaris sebagai wujud dari pilihan rakyat.
Mengapa demikian? Karena jika terjadi goncangan dalam pemerintahan akibat CEO tidak becus mengurus korporasi besar negara, maka pemegang saham dengan cepat melakukan RUPS untuk menggantinya, tanpa harus mengganti atau meng-impeachment presiden sebagai pilihan rakyat.
Hal ini penting agar kecerobohan seorang presiden dalam mengendalikan negara bisa dihindari. Presiden akan lebih banyak menonjolkan fungsi-fungsi kepala negara yang lebih terhormat. Seorang presiden pilihan rakyat tidak terbuai dengan tindakan palsu membangun citra yang berlawanan dengan realita. Sebab tindakan kenegaraan sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan negara dari kerugian besar karena hilangnya kearifan dalam mengelola kekuasaan.
Lalu pertanyaannya, apa enaknya jadi presiden yang tidak sepenuhnya memegang kekuasaan eksekutif. Dalam konteks moderasi presidensialisme ini, maka presiden tetap memiliki hak mengangkat dan memberhentikan para menteri yang menurut dia bisa mengabdi untuk kepentingan negara. Sedangkan Menko dipilih dan bertanggungjawab kepada DPR dan Presiden pilihan rakyat sebagai wujud demokrasi.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah pemilihan menteri-menteri oleh presiden seharusnya memiliki jejak rekam yang panjang dan baik dalam pemerintahan, bukan sekadar tim sukses yang krisis kompetensi dan integritas. Jika hal itu kita biarkan menjadi 'trend' sebagai konsekuensi dari presidensialisme, maka percayalah, negeri ini akan segera bangkrut dalam waktu yang sangat cepat.
*) Fathorrahman Fadli adalah Direktur Eksekutif Indonesia Development Reseacrh (IDR).