Dua Hari, Surabaya Barat Terendam Banjir
Sejumlah kawasan di Kota Surabaya, Jawa Timur, khususnya di wilayah barat sejak Kamis 31 Januari 2019 hingga Jumat 1 Februari 2019 sore ini masih tergenang banjir setinggi 30 cm hingga 50 cm setelah diguyur hujan deras.
"Di rumah saya sampai saat ini masih digenangi air. Siang tadi sudah mulai surut, tapi sore ini hujan deras lagi sehingga air masuk rumah lagi," kata salah seorang warga Kelurahan Babat Jerawat, Kecamatan Pakal, Surabaya, Masduki Toha kepada Antara di Surabaya.
Adapun wilayah yang sempat terkena banjir di kawasan Surabaya barat di antaranya Jalan Raya Tengger, Lontar, Manukan Lor, Sambikerep, Bungkal, Dukuh Kapasan, Tandes, Citraland, Babat Jerawat dan lainnya.
Menurut dia, debet air tinggi pada saat hujan deras sehingga drainase tidak mampu menampung sehingga terjadi banjir. Apalagi, lanjut dia, normalisasi boxculvert di kawasan Sememi belum selesai sehingga air dari sungai Kali Lamong mengarah ke kampunya.
"Kasihan warga di sini. Sudah dua hari ini kebanjiran," kata Masduki Toha yang juga Wakil Ketua DPRD Surabaya ini.
Hal sama juga dialami warga Jalan Stasiun Karangan RT 07 RW 04, Kelurahan Banjar Sugihan, Kecamatan Tandes, Hadi Warsito. Ia mengatakan banjir akibat hujan deras pada Kamis (31/1) malam masih menggenangi rumahnya hingga Jumat sore ini.
Menurut Hadi, di kampunya selama ini menjadi langganan banjir, tapi dibandingkan tahun lalu lebih parah. "Ini rumah saya masih terendam banjir. Setidaknya butuh dua hari hari agar air tersebut surut dengan catatan tak ada hujan lagi," katanya.
Hadi yang juga ketua RT tersebut mengaku problem banjir musiman ini sudah dilaporkannya ke Pemkot Surabaya. Namun masih saja tetap terjadi. Warga meminta agar pemkot segara membangunkan rumah pompa agar air cepat surut.
Salah satu warga di kawasan Citraland yang juga anggota Komisi C DPRD Surabaya Vinsensius Awey mengatakan jika kejadian ini lebih parah dari tahun sebelumnya, karena saat ini banyak cluster perumahan di kawasan Citraland yang terendam banjir.
"Sistem drainase perlu dievaluasi total. Anggaran tiap tahun untuk pengendalian banjiir Rp500 miliar cukup besar, namun tidak ada perubahan signifikan," ujarnya.
Menurut dia, pembangunan sistem drainase selama ini hanya berorientasi kepada pemerataan, sehingga dengan anggaran yang ada dibagi keseluruh area/kawasan.
"Maka banyak ditemukan pembangunan drainase yang tidak tuntas, bahkan belum terintegrasi antara satu saluran ke saluran lain dari sisi elevasi dan volume penampungannya. Antara saluran primer, sekunder dan tertier (pemungkiman) tidak menjadi satu kesatuan yang terintegrasi," katanya.
Oleh karena itu, Awey dengan tegas mengatakan jika pemerataan hanya untuk menunjukkan jika Pemkot ada di semua kawasan untuk membantu warga, namun tidak menyelesaikan persoalan.
"Idealnya Pemkot melakukan pengendalian banjir berdasarkan peta titik lokasi banjir yang ada di Surabaya. Pembangunan drainase berdasarkan skala prioritas kawasan dan dilakukan sampai tuntas, karena saat ini pembangunan sistem drainase ada dimana-mana namun juga tidak selesai dimana-mana," katanya. (ant)