Dua Hal Penting! Mengembalikan Nasab pada Aturan Hadis dan Fikih
Masalah nasab atau garis keturunan menjadi perbincangan panjang. Terutama nasab kaum Ba’alwi, kaum Habaib yang begitu dihormati di Indonesia.
Masalah ini mempunyai sejarah panjang akan eksistensi dakwah di bumi Nusantara. Ulama-ulama terdahulu menghormati mereka karena ilmu, juga karena adab dan akhlaknya yang selalu merujuk pada karakter Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.
Tanpa melibatkan diri ke tengah masalah yang kontroversial di masyarakat, diperlukan pandangan jernih terhadap masalah keturunan tersebut. Berikut catatan yang melihat dari posisi kaum santri dan keteladanan para ulama pesantren terdahulu, disampaikan KH Ma’ruf Khozin, Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Ulum, Suramadu Bangkalan:
Tahadduts binikmat. Alhamdulillah selama muda usia saya dihabiskan banyak mempelajari ilmu fikih. Alhamdulillah, Allah memberi pertolongan bagi saya dapat khatam ngaji kitab-kitab induk Mazhab Syafi'i seperti Fathul Wahab, Syarah Mahalli Ala Al-Minhaj dan Muhadzab.
Sistem kelas dan diskusi yang saya ikuti hingga khatam adalah Fathul Qarib dan Fathul di Pondok Ploso antara tahun 2000 hingga 2002. Kitab Hadis yang saya simak dan mencatat dari guru saya adalah Sahih Al-Bukhari, langsung saya simak dari KH Nurul Huda Jazuli, ayahanda Gus Kautsar.
Pelajaran Pesantren
Selama di Pontianak, kajian-kajian selalu saya buka tanya jawab. Karena di Pontianak ada banyak Habaib, baik lulusan Pondok Dalwa, dari keturunan Sultan Al-Kadri, Habaib dari Madura atau Melayu, beberapa kali para penanya mengangkat tema ini.
Haram bagi saya untuk berkhianat pada ilmu yang telah diamanahkan oleh Allah kepada saya. Tidak mungkin secara sadar dan sengaja saya menyampaikan jawaban yang bertentangan dengan ilmu saya. Saya harus amanah secara ilmiah.
Bismillah. Pertama, saya awali dari Ilmu Hadis. Dalam Sahih Al-Bukhari, kitab Hadis paling tinggi validitasnya, Imam Al-Bukhari menulis Bab:
باب الشَّهَادَةِ عَلَى الأَنْسَابِ وَالرَّضَاعِ الْمُسْتَفِيضِ وَالْمَوْتِ الْقَدِيمِ . وَقَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - « أَرْضَعَتْنِى وَأَبَا سَلَمَةَ ثُوَيْبَةُ » . وَالتَّثَبُّتِ فِيهِ .
Bab kesaksian Nasab dan ASI yang sudah tersebar luas, dan kematian yang sudah berlalu. Hadis “Aku dan Abu Salamah diberi ASI oleh Tsuwaibah”. Dan berpegang teguh pada hal tersebut (HR Bukhari).
Dari hadis ini pensyarah Sahih Al-Bukhari yang bergelar Amirul Mukminin fil Hadis, Al-Hafidz Ibnu Hajar, menjelaskan:
هَذِهِ اَلتَّرْجَمَة مَعْقُودَة لِشَهَادَة اَلِاسْتِفَاضَة ، وَذَكَرَ مِنْهَا اَلنَّسَبَ وَالرَّضَاعَة وَالْمَوْت اَلْقَدِيم ، فَأَمَّا اَلنَّسَبُ فَيُسْتَفَادُ مِنْ أَحَادِيثِ اَلرَّضَاعَة فَإِنَّهُ مِنْ لَازِمِهِ وَقَدْ نَقَلَ فِيهِ اَلْإِجْمَاع
Bab ini menjelaskan tentang kesaksian atas kabar yang tersiar luas, di antaranya Nasab, ASI dan kematian yang sudah lama. Ia mengutip Ijmak dalam masalah ini (Fathul Bari, 8/153)
Kedua, dalam kitab-kitab Fikih, misalnya Al-Muhadzab dan ditetapkan dalam Al-Majmu', dengan tegas dinyatakan:
وان كانت الشهادة على ما لا يعلم الا بالخبر وهو ثلاثة: النسب والملك والموت جاز أن يشهد فيه بالاستفاضة، فإن استفاض في الناس أن فلانا ابن فلان، أو أن فلانا هاشمى أو أموى جاز أن يشهد به
Kesaksian dengan kabar (informasi valid) ada 3, nasab, hak milik dan kematian. Jika sudah tersiar luas bahwa seseorang adalah keturunan Bani Hasyim maka diterima kesaksiannya (Al-Majmu’ 20/262)
Para ulama sudah lama melakukan itsbat (penetapan) pada Nasab Saadah Alawiyyin. Bahkan ulama saat inipun tetap mengakui seperti Maulana Syekh Ali Jumah dari Mesir. Bahkan Syekh Mahdi Rojai, ulama ahli nasab dari Iran yang dijadikan rujukan 'peniadaan' Sayid Ubaidillah pun setelah dilakukan konfirmasi masih mengakui keberadaan Sayid Ubaidillah ini.
Soal gugatan bahwa Sayid Ubaidillah tidak ada catatan selama 550 tahun, coba sekali-kali anda buka kitab Thabaqat yang menghimpun nama-nama perawi hadis selama ratusan tahun. Misalnya Al-Hafidz Adz-Dzahabi yang mengarang kitab Siyar A'lam An-Nubala dan Tarikh Al Islam, beliau yang hidup di masa pertengahan 700 Hijriyah mengumpulkan nama-nama Tabiit Tabiin misalnya, tidak berdasarkan catatan sezaman, bahkan boleh jadi nama-nama tersebut tidak ada dalam manuskrip nasab selama 600 tahun. Tapi oleh para ahli hadis semuanya diterima berdasarkan syuhrah wal istifadhah atau kabar luas di kalangan umat Islam. Demikian pula Al-Hafidz Al-Mizzi (742 H) dalam Tahdzib Al-Kamal. Juga Al-Hafidz Ibnu Hajar (852 H) dalam Lisan Al-Mizan atau Tahdzib At-Tahdzib dan sebagainya.
Saya tidak mau merusak tatanan ilmu nasab dalam hadis dan fikih yang sudah diterima oleh para ulama, dan saya tidak mau menukar dengan cara baru oleh segelintir orang-orang yang levelnya belum mencapai derajat seperti nama-nama imam di atas. Apalagi yang cuma cari follower di medsos.
Saya sudah menyampaikan dalil dan ilmu. Pijakan ilmu ini pula yang saya bawa hingga pertanggungjawaban di akhirat. Soal anda tidak percaya karena belum mengaji atau memang tidak menerima, gak ada urusan bagi saya. Bahasa Al-Qur'an:
{ﻭﻣﺎ ﺃﻧﺖ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺑﺠﺒﺎﺭ}
"Dan engkau bukanlah seorang pemaksa terhadap mereka" (QS. Qaf: 45)
Demikian catatan KH Ma'ruf Khozin, Ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Timur. Ia berkesempatan jumpa Habib Jindan di Juanda.