Dua Asumsi Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Integralistik & Hirarkis
Metode merupakan langkah-langkah prosedural dalam proses pemanfaatan sumber guna menemukan suatu petunjuk agama. Metode tarjih Muhammadiyah didasarkan kepada dua asumsi pokok, yaitu asumsi integralistik, dan asumsi hirarkis.
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Syamsul Anwar menjelaskan, asumsi integralistik mepostulasikan teori keabsahan koroboratif tentang norma, yakni suatu asumsi yang memandang adanya koroborasi dan saling mendukung di antara berbagai elemen sumber guna melahirkan suatu norma.
Dengan kata lain, mengumpulkan dalil-dalil baik yang berkaitan langsung maupun yang tidak langsung tentang suatu persoalan kemudian dikoroborasikan.
“Suatu norma yang didasarkan kepada satu elemen sumber tentu sudah absah, hanya saja keabsahan itu bersifat zanni (probabel). Namun kekuatan keabsahan tersebut akan meningkat manakala dapat dihadirkan lebih banyak elemen sumber yang saling menguatkan dan saling berkoroborasi untuk mendukung norma dimaksud, untuk pada suatu tingkat dalam kasuskasus tertentu kekuatan kebsahan itu mencapai derajat qat’I,” terang Syamsul dalam Sekolah Tarjih Internasional, akhir pekan lalu.
Menurut Syamsul, ke-qat’i-an suatu norma tidak terdapat dalam dalil terpisah satu persatu, tetapi terdapat dalam koroborasi sejumlah dalil yang satu sama lain saling menguatkan dan menunjukkan satu pemaknaan yang sama. Sebagaimana dikatakan oleh asy-Syatibi, keseluruhan itu memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh bagian-bagian secara terpisah-pisah.
Dalil dan Pijakan Hukum Terpenting
“Dalam memahami suatu item ketentuan agama dan dalil-dalilnya harus dihindari pola pemahaman atomistik dan sebaliknya juga dilakukan dengan pola integralistik,” terang Syamsul sambil mengutip Putusan Musyawarah Nasional Tarjih ke-23 di Banda Aceh tahun 1995.
Contoh sederhana dari asumsi integralistik ini adalah tentang hukum musik. Diperlukan untuk mengumpulkan berbagai dalil baik yang terdapat dalam Al-Quran maupun al-Sunah dan baik yang berkaitan langsung maupun tidak langsung tentang musik.
Dengan pembacaan metode asumsi integralistik (istiqra ma’nawi) melalui teori kausa finalis (al-illah al-ghaiyyah), aktivitas bermain musik dihukumi tiga bentuk, yaitu bisa haram, makruh, dan mubah. Bermusik dapat menjadi haram manakala jadi sarana kekufuran; dapat menjadi makruh apabila melenakkan hingga lupa waktu; dan dapat menjadi mubah manakala dijadikan media pembelajaran. Melalui pembacaan seperti ini, kita menghukumi segala sesuatu secara kondisional-kontekstual, bukan dengan cara parsial-tekstual.
“Inilah yang namanya ijtihad secara integralistik. Jadi, berijtihad itu seperti itu, tidak boleh (dalilnya) satu persatu,” tegas Guru Besar Hukum Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini.
Selain itu, asusmi integralistik ini mendasari kaidah hadis dhaif dalam Putusan Tarjih: Hadis-hadis daif yang satu sama lain saling menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah kecuali apabila banyak jalannya dan padanya terdapat karinah yang menunjukkan keotentikan asalnya serta tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadis shahih.
“Hadis dhaif bisa menjadi kuat karena asumsi integralistik. Jika ada satu hadis dhaif, kemudian dikumpulkan hadis serupa, lalu saling menguatkan satu sama lain, maka dapat dijadikan hujah,” tutur Syamsul.