Dua Apel
KAMPANYE hitam juga luar biasa marak di negara semodern Amerika Serikat. Bahkan hitamnya sampai kelam. Pun melibatkan jaringan internasional –sampai ke Hongkong.
Bos besar surat kabar Hongkong, Jimmy Lai, tiga hari terakhir ini sibuk mencuci tangan. "Saya tidak terlibat," katanya seperti dikutip berbagai media internasional. Termasuk dikutip korannya sendiri, Harian Apel (冰果日报). Harian berbahasa Mandarin di Hongkong ini sudah bikin kejutan sejak didirikannya 1995. Juga harian pertama yang menggunakan nama buah untuk nama koran.
Akibatnya Capres Joe Biden jadi bulan-bulanan selama dua minggu menjelang Pemilu. Presiden Donald Trump pun, capres incumbent, terus menuduh Biden sebagai koruptor, ngobyek jabatan sampai politisi kotor –seolah Trump sendiri bersih sekali.
Rupanya memang ada laporan intelijen setebal 64 halaman. Itu hasil ''penyelidikan'' sebuah tim intelijen internasional. Yang menulis laporan itu Martin Aspen, berkebangsaan Swiss. Foto Martin Aspen pun dipasang di dokumen itu. Meyakinkan sekali.
Ternyata di balik laporan itu adalah Mark Simon.
Mark adalah sekretaris utama dan tangan kanan Jimmy Lai –konglomerat yang belakangan mendirikan Harian Apel. Mark inilah yang mengeluarkan biaya 10.000 dolar untuk melakukan penyelidikan politik itu. Terutama untuk mengumpulkan bahan apakah ada keterlibatan anak Capres Joe Biden, Hunter Biden, dalam proyek bisnis di Tiongkok.
Hasilnya adalah 64 halaman laporan yang ditulis oleh analis intelijen Swiss, Martin Aspen itu. Sedang uang USD 10.000 tadi diambil dari dana perusahaan milik Jimmy Lai.
"Mark mengambil uang itu tanpa sepengetahuan saya," ujar Jimmy Lai. "Memang sulit membuat orang percaya bahwa saya tidak terkait. Tapi saya benar-benar tidak terlibat," ujarnya.
Mark sendiri lantas mendukung keterangan itu. Ia mengatakan mengambil uang perusahaan tanpa setahu bosnya.
Tapi, kalau memang laporan intelijen itu benar, mengapa Jimmy Lai harus cuci tangan?
Rupanya laporan itu sengaja dibuat khusus untuk menjatuhkan Biden. Agar terlihat bahwa Biden menyalahgunakan kekuasaan. Yakni membantu anaknya dalam proyek bisnis di Tiongkok. Bahkan Hunter Biden sampai melakukan kontak-kontak dengan dua orang unsur pimpinan Partai Komunis Tiongkok.
Tapi semua kepalsuan itu akhirnya terbongkar. Bahkan nama Martin Aspen itu pun, yang disebut sebagai analis intelijen Swiss itu, ternyata fiksi. Tidak ada orang bernama itu.
Lho kan ada fotonya?
Foto itu pun hasil rekayasa artificial intelijen.
Jimmy sendiri sudah sebulan terakhir dalam status tahanan. Ia dituduh melakukan tindak pidana subversi –berdasar UU Keamanan Hongkong yang baru diberlakukan. Kantor Harian Apel digerebek bulan lalu. Sejumlah dokumen diamankan.
Kini Jimmy lagi menggugat polisi Hongkong. Untuk mengembalikan dokumen yang disita itu. Jimmy juga dianggap salah satu tokoh yang berada di balik gerakan pro-demokrasi di Hongkong –yang ujungnya ingin agar Hongkong merdeka dari Tiongkok.
"Fakta" bisnis Hunter Biden di Tiongkok itu didukung oleh "fakta" lain: Hunter juga berbisnis di Ukraina –memanfaatkan jabatan ayahnya.
"Fakta" itu berupa email-email rahasia yang ditemukan dari dalam laptop Hunter. Di dalam email itu terbaca bagaimana Hunter memanfaatkan jabatan ayahnya untuk ngobyek proyek di Ukraina.
Trump pun menggunakan "fakta" itu untuk menghantam Biden. Bahkan Trump akan mengerahkan aparat hukum untuk menyelidiki Biden.
Bagaimana email rahasia Hunter itu bisa bocor?
Luar biasa kerja ''intelijen'' ini. Yang menyiarkan kasus email rahasia itu adalah Rudi Giuliani, pengacara Donald Trump. Rudi mendapatkannya dari anggota pengacaranya. Anggota itu mendapatkannya dari seseorang pemilik toko servis laptop. Khusus laptop Apple.
Nama orang itu John Paul Mac Isaac. Ia-lah pemilik The Mac Shop di kota Wilmington, Delaware. Dari kota inilah Joe Biden berasal. Banyak toko The Mac Shop di Wilmington. Tapi yang bikin heboh ini yang ada di Trolley Square Shopping Center.
Suatu hari, kata John Paul, ada orang datang menyerviskan laptop. Orang itu mengaku bernama Hunter Biden. Laptopnya lagi rusak akibat ketumpahan cairan.
Lalu ditinggal di situ.
Waktu membuka laptop itulah John Paul menemukan email yang mencurigakan. Lantas, katanya, ia menghubungi anggota DPR dari Partai Republik. Tidak ada yang merespons. Ia pun menghubungi pengacara yang bekerja di kantor pengacara Rudi Giuliani –mantan wali kota New York yang terkenal itu.
Mengapa Rudi Giuliani baru membuka soal ini dekat-dekat Pemilu?
Sebenarnya berkas itu sudah disampaikan ke media besar seperti Harian Wall Street Journal dan stasiun TV Fox News. Dua-duanya sangat pro Donald Trump. Tapi keduanya tidak ada yang memuat. Bahkan Wall Street Journal sudah menyimpulkan bahwa berkas itu meragukan. Tidak mau memuatnya. Demikian juga Fox News.
Belakangan, dua minggu menjelang Pemilu, baru ada satu harian kecil di New York yang memuat kasus itu: New York Post. Milik konglomerat media Rupert Murdoch yang memang juga pro Trump.
Heboh.
Tapi, itu tadi, tidak ada yang percaya. Bahkan berkembang ke penelusuran tentang proyek intelijen yang di Hongkong tadi.
Tapi keterangan John Paul memang penuh tanda tanya. Misalnya, ia mengatakan laptop rusak itu tidak pernah ada yang mengambil.
Hunter Biden tidak mengambilnya –karena memang bukan ia yang membawanya ke servis.
Padahal, biasanya, di Amerika, kalau lebih 90 hari barang yang diservis tidak diambil, pemilik toko servis akan menghubungi pemilik laptop.
Itu yang tidak dilakukan John Paul. Bahkan ia juga sangat mencurigakan: kok berani membuka hard disk milik orang lain. Ini persoalan pidana besar di Amerika.
Begitulah. Dua skenario yang disiapkan untuk menjatuhkan Biden begitu hitamnya.
Maka Harian Apel di Hongkong dan toko servis Apple di Wilmington itu jadi ikut terkenal. Bidenlah yang dibuat pusing di akhir masa kampanyenya.
Besok siang kita sudah akan tahu efektivitas hasil kampanye hitam ini. (Dahlan Iskan)
Advertisement