Dua Anekdot Ulil Abshar Abdalla, Hukuman Mati Kenal Kitab Hikam
Memang, tokoh paling laris dalam produksi humor ya Gus Dur. Tapi, bukan berarti tokoh-tokoh pesantren lainnya kering lelucon. KH Ahmad Hasyim Muzadi pun mempunyai segudang khazanah humor yang kerap disampaikan saat berceramah. Apalagi, Mahbub Djunaidi pun lewat tulisannya sangat humoris dan selalu bikin ngakak...
Kini, Ulil Abshar Abdalla, Ketua PBNU, mempunya pengalaman pribadi yang terasa sangat lucu. Berikut dua contoh anekdot Ulil Abshar Abdalla.
1. Membaca dan Hukuman Mati
Ketika masih aktif di Jaringan Islam Liberal (JIL), Intelektual Nahdlatul Ulama Gus Ulil Abshar Abdalla pernah menggegerkan dunia pemikiran melalui gagasannya yang dituangkan di Kompas pada 2002. Tulisan yang berjudul Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam itu mendapat reaksi keras dari sejumlah kalangan. Bahkan, sempat keluar fatwa mati dari Ustadz Athian Ali.
Ketegangan sebagai dampak dari tulisan itu pun banyak yang merekamnya, tak terkecuali Rais Syuriyah PBNU KH Ahmad Ishomuddin. Kiai Ishom yang merasa penasaran atas kasus itu, kemudian memberanikan diri untuk bertanya kepada mertua Gus Ulil, KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus.
“Kiai, boleh saya bertanya?” tanya Kiai Ishom.
“Ya, silakan,” kata Gus Mus mempersilakan.
“Bagaimana perasaan Kiai menjadi seorang mertua, punya menantu yang dihukum mati in absentia oleh KH Muhammad Athian Ali?” tanyanya.
“Ya saya biasa saja, yang penting menantu saya itu masih rajin membaca,” jawab Gus Mus.
Kiai Ishom mengaku bahwa jawaban Gus Mus tersebut sekali pun ditujukan kepada Gus Ulil, namun dirinya juga mendapat pelajaran, yakni tentang pentingnya membaca, apalagi bagi seorang penulis.
“Itu jawaban yang meskipun untuk Mas Ulil, tetapi juga perintah untuk diri saya, yaitu pesan untuk rajin membaca. Seorang penulis harus rajin membaca,” ucapnya.
Kiai Ishom menceritakan perbincangannya dengan Gus Mus di tengah-tengah acara peluncuran dan bedah buku Menjadi Manusia Rohani: Meditasi-Meditasi Ibnu ‘Athaillah dalam Kitab Al-Hikam.
2. Kenal Pertama Kali Kitab Hikam
Seorang santri yang hidup di lingkungan Pondok Pesantren, apalagi kental dengan kajian kitab kuning klasik, maka tidak akan asing dengan kitab Hikam karya Ibnu Athaillah as-Sakandary. Kitab yang tertulis di dalamnya sekitar 200 aforisme terkait tasawwuf. Kalimat-kalimat yang disampaikan oleh Hikam mampu menyihir pembacanya tentang kenikmatan hidup, kesemangatan hidup, ketuhanan, dan lain sebagainya.
Begitu juga dengan KH. Ulil Abshar Abdalla, seorang cendikiawan Muslim NU yang dulunya aktif di Jaringan Islam Liberal (JIL). Saat ini ia berkecipung di dunia organisasi sebagai pengurus Lakpesdam NU.
Selain itu beliau mengampu kajian kitab tasawuf di media sosial pribadinya. Ribuan orang ikut mengaji kepada beliau melalui online (santri online). Ia juga aktif menulis di media online, seputar tulisan-tulisan refleksi dan tasawwuf. Salah satu tulisan yang sekarang sudah dikliping dan dicetak adalah buku syarah, penafsiran, atau penjelasan terkait Kitab Hikam. Ya. Sekitar 50 aforisme Ibnu Athaillah as-Sakandari diberi syarah olehnya dengan bahasa yang ringan dan mudah dimengerti.
Padahal, kitab Hikam terkenal mempunyai kosakata dan susunan kalimat yang sulit dimengerti karena terlalu banyak majas atau bahasa puitis.
Ada cerita lucu ketika Gus Ulil, panggilan akrabnya, mengenal pertama kalinya Kitab Hikam. Dulu, ketika masih dalam pengawasan orang tuanya. Gus Ulil ditekan untuk belajar secara intensif selesai maghrib sampai adzan Isya. Setelah salat harus ia harus belajar sampai jam 9 malam.
Seorang santri senior di pesantren yang diasuh oleh ayah Gus Ulil, diminta untuk menjadi guru privat yang mengajari Gus Ulil tentang dasar-dasar ilmu keislaman. Santri itu bernama Kang Muhtamil (belakangan berubah namanya menjadi Mahfudz. Ia beradal dari Demak.
Suatu hari, ketika Kang Muhtamil hendak mengajari Gus Ulil, ia membawa kitab asing. Karena Gus Ulil saat itu masih belajar nahwu dan sharaf. Namun Gus Ulil tertarik dengan kitab gundul (tak berharakat) yang dibawa olehnya.
Lalu Gus Ulil mencoba mengeja judul kitab gundul yang dibawa Kang Muhtamil, “Kitabul Hukmi,” katanya.
Lantas Kang Muhtamil tertawa agak keras karena mendengar bacaan saya terhadap kitab yang dibawa Kang Muhtamil itu salah.
“Kenapa njenengan kok tertawa, Kang Muhtamil?” tanya Gus Ulil keheranan.
“Yang bener itu Kitabul Hikam,” koreksi Kang Muhtamil.
Karena ketertarikannya terhadap Kitab Hikam itu, Gus Ulil membacanya. Kang Muhtamil sudah memberikan harokat pada kalimat di isinya. Namun Gus Ulil tidak mengerti apa isinya.
Sumber: Ulil Abshar Abdalla, Menjadi Manusia Rohani, (Bekasi: Alifbook, 2021), ix-x.
Advertisement