Dua Ancaman yang Bisa Picu Kembali Tsunami Anak Krakatau
Selain ancaman erupsi Gunung Anak Krakatau, Badan Geologi Kementerian ESDM juga minta kewaspadaan terhadap longsoran material krakatau yang berpotensi memicu tsunami seperti yang terjadi pada Sabtu 22 Desember 2018 lalu.
Kepala Badan Geologi Rudy Suhendar mengatakan, hilangnya 64 hektar badan gunung anak krakatau yang memicu tsunami adalah salah satu bukti adanya potensi longsoran yang perlu juga diwaspadai.
Kekawatiran inipula yang membuat PVMBG meningkatkan status Anak Krakatau dari waspada level II ke siaga level III. Apalagi saat itu debu erupsi juga telah turun hingga ke Anyer dan Cilegon. "Ada ancaman, makanya dinaikkan statusnya," ujar Rudy, Jumat 28 Desember 2018.
Selain longsoran, potensi lain pemicu tsunami yang juga perlu diwaspadai adalah turunnya magma panas yang keluar dari gunung dan langsung meluncur ke lautan lepas. Namun kondisi ini masih sulit untuk dihitung.
Sampai saat ini, tim juga belum bisa mendekati Gunung Anak Krakatau guna memantau langsung perubahan fisik terutama di titik yang sempat longsor. Kendala cuaca dan alat transportasi membuat PVMBG hanya mengandalkan pantauan Gunung Anak Krakatau menggunakan citra satelit Lapan.
"Perbandingan antara tanggal 19 dan 23 Desember tampak dari lebarnya lubang kawah. Itu bukan karena ambrol, tapi karena materialnya ikut terlontar letusan," ujarnya.
Sulitnya memprediksi Krakatau juga diakibatkan minimnya catatan aktivitas leluhur Anak Krakatau yakni Gunung Krakatau yang sempat meletus dasyat pada 1883.
Sementara itu, untuk kewaspadaan, BMKG saat ini juga telah ikut ambil bagian dan memasang enam sensor seismometer di sekitar Anak Krakatau.
Dengan enam sensor ini, maka pergerakkan sekecil apapun bisa terpantau sehingga jika ada potensi tsunami bisa langsung diinformasikan ke masyarakat. (man)