Dua
Cerpen
Oleh Metta Mevlana
I. Khaidar dan Latifa Bersama. Di Awan
Dalam Rentang Masa Masehi Seribu Tahun Kedua, 2021 Tepatnya
Kau memang tak pernah memimpikan pesta pernikahan yang megah meriah—alam raya mendukungmu, Jadilah, maka ia pun jadi; kurang dari tiga puluh orang yang datang hari itu, lainnya terhalang wabah. Sungguh rugi mereka yang tak melihat cantikmu waktu itu, mesti tidak, kau tidak cantik seperti bunga, tidak seperti anak perempuan raja, tidak juga seperti lilin yang menyala; kau hanya cantik sebagaimana cantikmu yang seharusnya. Seluruh orang terlihat turut bahagia, senyum sang pengantin pria yang biasanya satu sejuta, kini seribu dapat tiga; Latifa adalah perempuan baik, dan perempuan baik mendapat lelaki baik, begitulah undang–undangnya, jadi semua orang bisa menyimpulkan bahwa aku (walau sebenarnya tidak) adalah lelaki yang— Swacakap dalam kepalanya terhenti. Ada bunyi benda jatuh. Ada sesuatu yang jatuh. Kau. Orang–orang seketika gempar, suasana ingar bingar, rabat senyum sang pengantin pria bubar.
Sebagian dari orang–orang itu kemudian membaringkanmu, tetapi sebagian lainnya yang lebih banyak langsung mengeluarkan gawai mereka, mengambil gambar, untuk kemudian memuatnya pada halaman Bukuwajah—atau apa saja—mereka. Di bawah gambar itu mereka akan menulis: Tidak ada yang tahu kenapa, tiba–tiba saja Latifa ambruk! Dan dahsyatnya lagi, sesaat setelah itu, sesuatu semacam lapisan tebal nan bening dan dingin membalut tubuhnya, seperti laba–laba membungkus mangsa yang tak berdaya dengan air liurnya! Kasihan! Ia baru tiga puluh tiga! Aku keluar ruangan pesta. Matahari bersinar ramah. Awan begitu putih. Hari yang sangat cerah.
Di Satu Masa Selepas Penghabisan
Setelah seluruh lontaran api, es, ledakan, dan sekaligus rengekan itu berhenti, alam raya adalah lilin mainan berbentuk alam raya yang dikepal–kepalkan untuk kemudian dibentuk menjadi alam raya kembali, Jadilah, maka ia pun jadi terjadi lagi—tetapi itu semua tak penting. Yang penting adalah kau. Ya, kau. Lapisan dingin, tebal dan bening yang menyelubungimu telah sepenuhnya mencair, dan kau pun membuka mata layaknya seseorang yang baru terjaga dari tidur. Dan yang pertama kau lihat adalah persis sama seperti yang terakhir kau lihat: hari yang sangat cerah, awan–awan begitu putih: mereka baru saja mandi, hingga harus berhati–hati agar tak terkena karat matahari; hasilnya, siapa saja bisa melihat apa pun yang ada di atas permukaan mereka, jadi, jika ada yang bertanya sekarang kau di mana, aku akan menunjuk ke salah satu awan itu: di sana kau tengah duduk menunggu; aku mengepakkan sayapku, bersegera menujumu.
Pada Satu Masa di Awal Penciptaan, Saat di Mana–Mana Hanya Ada Cahaya
Sudah tertulis, sudah tertulis semuanya: kau tak akan mendapat bintang jatuh pada hari kelahiranmu, atau jalan hidup yang lurus rata dengan kelopak–kelopak mawar tertabur di permukaannya, atau anggur untuk merayakan sesuatu sebab kau memang tak akan merayakan sesuatu; kau hanya akan diselamatkan dari seorang suami yang ingkar pada sumpah pernikahan, dan sebagai gantinya akan memiliki seorang kerubinan—Jadilah, maka ia pun jadi.
II. Marikh dan Zohrah
Dapur, sama seperti serambi belakang, adalah milik Zohrah sebab di sana ada mugnya, dan dengan mug itu ia kini tengah menyeduh teh, lalu meminumnya sebagai perayaan kecil karena telah berhasil menidurkan Bumi yang sudah beberapa hari ini demam dan rewel, Bumi yang juga adalah miliknya, sebab bayi lima belas bulan itu sudah tinggal selama sembilan bulan sembilan hari dalam kantungnya, maka lupakan, lupakan saja bahwa kantung itu tak akan jadi kantung jika tidak dijahit dengan benang dan jarum milik Marikh, Marikh yang hampir tiga minggu ini tidur di sofa ruang tengah, dan dengan genting kaca tepat menghadap mukanya saat ia telentang, ia bisa menatap Bulan setiap malam, hingga ia bisa berkata bahwa sepertinya Bulan itu adalah miliknya, miliknya, dan memang lebih mudah untuk berpikir bahwa akhir–akhir ini ia lebih memiliki Bulan daripada Zohrah, perempuan yang senyumnya dulu membakar pipi Marikh hingga semerah tembaga, tetapi menghangatkan hatinya seperti matahari pada musim bunga–bunga berbunga, sekaligus menggigilkannya bak timbunan es dari berbagai kutub dunia, dan ia pun jatuh tersimpuh, menyerahkan diri sepenuhnya, menjadi milik Zohrah— Tunggu, bukankah Zohrah juga pernah berkata bahwa ia adalah milik Marikh, dan Marikh, sambil tertawa, bertanya apakah itu artinya Zohrah sama saja dengan seluruh perkakas menjahitnya, dengan seluruh gunting, penggaris dan pita ukur yang kini, sedihnya, terbengkalai selama beberapa waktu belakangan di ruang kerja; sekarang orang banyak membeli pakaian jadi, lalu Zohrah, dengan berhati–hati, sangat berhati–hati, berujar bahwa ia mungkin sebaiknya kembali bekerja, dan mendengar itu Marikh seketika menggebrak meja, membuat sepotong roti sarapannya yang tak diolesi apa–apa untuk sejenak menghambur ke udara seperti burung tak bersayap, sebelum akhirnya kembali mendarat bebas di atas piringnya, kemudian berkata, Kau pikir aku tak mampu menghidupi kalian berdua? Bukan begitu, sahut Zohrah, hanya saja— Apa?! Dan begitulah, tiba–tiba saja serambi belakang dan dapur dan kamar tidur menjadi milik Zohrah, beranda depan dan ruang tamu dan, tentunya, ruang tengah adalah milik Marikh, meski kamar mandi tetap mereka bagi berdua— Tidak, bukan hanya berdua, bertiga dengan Bumi—jangan pernah melupakan Bumi, Bumi yang bersinar seperti pagi dan berkilau seperti senja, Bumi yang tawanya seperti penyakit menular, membuat siapa pun yang mendengar ikut tertawa, Bumi yang dengan begitu saja menjadi pemilik hati Marikh dan Zohrah— Marikh! Lamunan Marikh berantakan terkena lontaran teriakan Zohrah, Marikh! Kemarilah! Bulan! Ia mengambil Bumi! —Apa maksudmu?! Kemarilah! Marikh berlari menuju kamar tidur, menerjang masuk, lalu matanya menangkap sosok Bumi mengambang dalam berkas cahaya Bulan yang menerobos masuk lewat genting kaca, sejengkal saja lebih tinggi dari jangkauan Zohrah yang berjinjit hingga jari–jari kakinya merona sebab terhimpitnya urat–urat darah, perlahan makin ke atas, ke atas, ke atas: dengan berkas cahayanya, Bulan menarik bayi itu seperti ia menarik air laut, memasang pasang di samudra. Marikh, ujar Zohrah setengah terisak, aku tidak bisa balas merentaknya, ia bisa terluka. Marikh menoleh ke arah Zohrah, wajah pujaannya—ya, perempuan ini masih pujaannya—itu basah oleh air mata, ia mengangguk, Tentu saja, tak apa. Sekarang cepat, ambil gunting kainku, ucapnya. Zohrah tercengang, mulutnya ternganga. Percayalah padaku, Zohrah. Dan percayalah juga bahwa kisah kecil ini berakhir bahagia setelah Marikh menggunting berkas cahaya Bulan dan membuat Bulan terjengkang ke ruang hampa: dapur dan serambi belakang dan kamar tidur tidak lagi menjadi milik Zohrah semata, sebagaimana beranda depan dan ruang tamu dan ruang tengah bukan lagi milik Marikh saja; rumah itu milik mereka, milik mereka selamanya, Marikh, Zohrah, dan Bumi, dan mungkin juga beberapa benda angkasa lain yang akan muncul berikutnya.
Advertisement