DPRD Surabaya Anggap Pemkot Tak Punya Roadmap Tangani Covid-19
Penanganan pademi virus corona atau Covid-19 yang dilakukan Pemerintah Kota Surabaya disoroti oleh DPRD Kota Surabaya. Hal itu terjadi karena upaya pemkot tidak berdasarkan dengan roadmap yang jelas dan terukur namun hanya kepentingan politik Pemilihan Walikota (Pilwali) 2020.
Wakil Ketua DPRD Surabaya, Laila Mufida melihat Pemkot Surabaya tidak punya konsep penanganan Covid-19 yang terukur dan teruji. Mufida melihat ini ketika mendengarkan langsung keluhan dari masyarakat terkait sejumlah kebijakan pemkot yang ternyata tak sejalan dengan praktiknya di lapangan.
“Seperti misalnya soal tes coronavirus (Covid-19), saat konferensi pers bilang gratis-gratis, ternyata ada syarat dan ketentuan berlaku yang sengaja disembunyikan. Akhirnya banyak masyarakat kecewa karena harus bayar,” ujar Mufidah.
Selain itu, pengadaan peralatan pencegahan yang pada praktiknya di lapangan tak sesuai harapan. “Soal bilik disinfeksi misalnya. Atau soal penyemprotan cairan dengan drone, tidak jelas parameternya apa, dan pada praktiknya kan juga banyak menuai kritikan,” ungkapnya.
Ia sebenarnya ingin menanyakan langsung hal ini ke Walikota Surabaya Tri Rismaharini. Walikota sempat menggelar pertemuan virtual dengan anggota DPRD, namun ternyata sifatnya hanya seremonial saja.
Dalam pertemuan itu bahkan Ketua DPRD Surabaya Adi Sutarwiyono yang juga satu partai dengan Walikota Tri Rismaharini juga membatasi sesi tanya jawab. “Jadi pertemuan online dengan walikota itu jauh dari harapan. Kami DPRD tak bisa menyampaikan aspirasi warga ke walikota,” ujarnya.
Kritik yang lebih pedas disampaikan langsung oleh Ketua Fraksi Partai Golkar, Arif Fatoni. Ia menyebut pertemuan online dengan wali kota itu menunjukkan bahwa pemkot sebenarnya memang tak memiliki roadmap yang jelas dan terukur.
“Banyak kebijakan Pemkot Surabaya dalam penanganan Covid-19 ini yang masih overlap,” ujar pria yang juga berlatar belakang jurnalis itu.
Seperti kritikan banyak masyarakat, Fatoni juga menyoroti soal pengadaan bilik disinfektan. “Pengadaan alat itu tanpa koordinasi. Tiba-tiba dibuat, lalu rilis ke media-media. Ternyata kan hasilnya banyak dikritik masyarakat dan para ahli. Mulai efektivitasnya sampai penggunaan bahannya. Bahkan ada pelarangan dari Kemenkes, Kalau seperti itu kan pemborosan uang rakyat? Rakyat ini sedang dalam kondisi darurat loh!” tegas Fatoni.
Selain itu soal pengadaan alat pelindung diri (APD). Pemkot melakukan pengadaan ternyata batas penyelesaiannya satu bulan, yang sampai saat ini belum selesai. Padahal daerah lain dan perorangan ada yang diketahui bisa melakukan pengadaan dalam waktu satu minggu.
“Belum lagi soal koordinasi lintas instansi. Kita tahu buruk sekali koordinasi antara Pemkot dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur. Pemkot seolah berupaya melakukan overlap terhadap apa yang jadi tugas pemprov,” kata Fatoni.
Ketidakjelasan roadmap dan mapping yang dilakukan Pemkot Surabaya ini dituding juga menyebabkan masih tingginya angka masyarakat yang positif Covid-19. Karena itu, ia meminta kepada Risma agar bekerja melihat kepentingan rakyat dan kebutuhan yang tepat guna.
Advertisement