DPRD Surabaya Bahas Revisi Perda, Jurnalis dan Anak Dilibatkan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya sedang mengodok revisi Peraturan Daerah (Perda) nomor 6 tahun 2011 tentang penyelenggaraan perlindungan anak, yang dirasa sudah tidak relevan dengan keadaan saat ini.
Revisi yang dilakukan ditargetkan selesai sebelum 60 hari sejak pembahasan ini, dibahas oleh anggota komisi D bersama 19 Lembaga Swadaya Masyarakat non pemerintah (LSM/NGO) yang fokus ke anak dan perempuan, pada Jumat, 6 Januari 2023.
Ketua Pansus Tjujuk Supariono mengatakan, ada puluhan pasal yang diusulkan dalam rapat tersebut. Meski demikian, belum ada pembahasan mendalam terkait pasal per pasalnya.
"Pasalnya kami muat sekitar 30 pasal. Ada satu pasal yang belum masuk di matrik Perda yakni literasi anak, ini sangat dibutuhkan untuk generasi mendatang," kata Tjujuk Supariono.
Dalam revisi Perda nantinya, pihaknya ingin pemerintah lebih peduli mengenai pernikahan dini dan hubungan badan dini. Sebab, saat ini kasus tersebut banyak ditemukan dalam masyarakat.
"Karena ini kan makin ramai. Ternyata memang belum ada literasi khusus untuk anak-anak menurut aliansi jurnalis. Ini konsep kami agar segera disempurnakan," ungkapnya.
Selain itu, dalam Perda anak nantinya juga akan diatur mengenai fasilitas-fasilitas ramah anak seperti, sekolah ramah anak, fasilitas pemerintah ramah anak dan juga mendorong adanya layanan Pemkot yang ramah anak. "Kami ingin ada bangunan Pemkot Surabaya yang ramah anak, itu sesuai yang diusulkan LSM NGO," lanjutnya.
Tambahnya, revisi ini ditargetkan selesai oleh pansus dalam 60 hari, supaya bisa segera digunakan dan menuju Surabaya sebagai Kota Layak Anak (KLA).
Di samping itu, Chief Of Field Unicef Surabaya, Arie Rukmantara menyambut baik pemutakhiran Perda 2011 tersebut. Menurutnya, dalam pembahasan Perda baru anak harus melibatkan anak-anak. Suara atau pendapat dari anak harus menjadi suatu hal utama yang dipertimbangkan.
"Anak-anak harus ada dalam proses pembaruan Perda. Wajib sekali. Kedua, saya juga berharap kapasitas anak dibangun dalam perumusan kebijakan, jadi tidak hanya datang anak juga harus menyampaikan usulannya," kata Arie ditemui di tempat yang sama.
Pihaknya pun mengusulkan, dalam perumusan Perda juga harus diatur mengenai konsep pencegahan kekerasan anak-anak mulai dari masyarakat.
"Karena kalau hanya mengandalkan rehabilitas dan pemulihan anak korban kekerasan, harganya sangat mahal. Nah, bagaimana kita mulai berinvestasi ke pencegahan kekerasan pada anak," ujarnya.
Lebih lanjut, Arie menyampaikan, tanda-tanda kekerasan pada anak bis dikenali apabila masyarakat peduli dan teredukasi akan hal tersebut. Ia mencontohkan, misalnya ada anak yang diejek karena bentuk fisiknya tak sama, yang artinya membuli. Buli bisa berlanjut hingga terjadi kekerasan.
"Nah, itu kalau masyarakat sudah tahu bisa dicegah. Tapi ini memang butuh anggaran besar, untuk apa? untuk membuat sistem pencegahan sampai tingkat kelurahan," tandasnya.
Untuk diketahui, kasus kekerasan anak di Surabaya meningkat dalam tiga tahun terakhir. Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) Surabaya pada 2020, jumlah kasus ada 116. Kemudian naik menjadi 138 kasus pada 2021 dan September 2022 meningkat menjadi 152 kasus.