DPRD Soroti Angka Pengangguran Jatim yang Masih Tinggi
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur melalui Panitia Khusus (Pansus) Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur Tahun Anggaran 2021 menemukan capaian kerja menunjukkan turunnya angka pengangguran dan angka kemiskinan di Jatim. Namun angka pengangguran yang tersisa, disebut masih tinggi.
Anggota Fraksi PKS, PBB dan Hanura, Mathur Husyairi mengapresiasi kinerja Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa yang mampu menekan dua permasalahan sosial tersebut.
Ia menyebut, terjadi penurunan angka tingkat pengangguran terbuka (TPT) 2021 terhadap TPT 2020 sebesar 0,1 persen dari 5,8 persen tahun 2020 menjadi 5,74 persen tahun 2021.
"Namun demikian total pengangguran masih tinggi di angka 1,28 juta orang. Sehingga kami mencatat angka 5,74 persen ini masih tinggi dibanding angka TPT Jatim 2012-2019, di angka 3,92-4,9 persen. Yang artinya selalu di bawah 5 persen," ungkap Mathur.
Menurutnya, dampak Covid-19 tidak bisa jadi alasan angka TPT tinggi, karena tahun 2021 sudah merupakan tahun kedua penanganan Covid-19 dan pertumbuhan ekonomi tahunan mencapai angka positif.
"Ke depan mulai 2022 yang merupakan tahun ketiga penanganan Covid-19 saudari gubernur harusnya punya target penurunan pengangguran yang lebih tinggi lagi hingga menyentuh 4 persen. Sebagai mana pernah terjadi 2019 TPT waktu itu 3,82 persen," tuturnya.
Pria yang berasal dari Partai Bulan Bintang (PBB) itu melanjutkan, terkait ketenagakerjaan dan dampak Covid-19. Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) dengan komponen dampak Covid-19 terhadap penduduk usia kerja yang juga dimuat dalam laporan seharusnya ditambah dengan pemetaan intervensi spesifik apa saja yang dilakukan Pemprov Jatim terhadap masing-masing kelompok terdampak di 2021.
Ia menyebut, menurut data BPS berjumlah 3,36 Juta orang, meliputi 5 ribu pengangguran baru akibat Covid-19. Kedua, terhadap 88,53 ribu orang bukan angkatan kerja karena Covid-19. Ketiga, terhadap 243.500 orang sementara tidak kerja karena Covid-19. Keempat, terhadap 27,8 juta bekerja dengan pengurangan jam karena Covid-19.
Kemudian, terkait angka kemiskinan juga diapresiasi karena mampu menekan angka dari September 2020 sebesar 11,46 persen menjadi 10,59 persen di September 2021, dengan penduduk miskin di Jatim sebesar 4,259 juta orang di September 2021.
"Tapi angka ini masih lebih tinggi timbang September 2019 mencapai 10,20 persen. Artinya pemprov harus kerja keras lagi agar bisa lebih baik dibanding sebelum Covid-19, katanya.
Dengan melakukan pemetaan daerah mana saja yang mengalami kenaikan tingkat kemiskinan lebih dibanding provinsi untuk diberi intervensi. Di samping itu terdapat 16 kabupaten/kota angka kemiskinannya masih jauh di atas Jatim, bahkan sebagian di antaranya di atas 15-20 persen. "Gimana langkah pemprov ngatasi ini," ungkap pria dari Dapil Madura itu.
Terkait angka kemiskinan, Mathur mengatakan, Pemprov Jatim tiap tahun menganggarkan program pengentasan kemiskinan, melalui program Jatim Puspa yang menurutnya tak pernah tersajikan berapa anggaran pengentasan kemiskinan per tahunnya, berapa yang dieksekusi per tahun dan bagaimana hasil evaluasi terhadap eksekusi data kemiskinan tiap tahun.
"Monitoring dan evaluasi program Jatim Puspa diharapkan mampu mengetahui naik turunnya angka kemiskinan riil yang sudah diintervensi dengan program Jatim Puspa. Berapa yang masih miskin dan sudah beranjak tidak miskin," tutupnya.
Sementara itu, Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak menyampaikan, problem belum cepatnya pengentasan pengangguran dan kemiskinan merupakan fenomena alami akibat pandemi yang terjadi. Sebab, banyak sektor yang terdampak kebijakan yang ada untuk pengendalian pandemi.
"Tapi kita lihat pada kenyataannya kita sudah rebound, kita sudah mengalami recovery. Tren kemiskinan mengalami perbaikan, lalu angka pengangguran memang sempat meningkat namun sudah turun kembali," ujar Emil.
Memang, menurutnya untuk mengembalikan kondisi pra pandemi untuk bisa menyerap angka kerja baru dibutuhkan pertumbuhan ekonomi. Diperkirakan pertumbuhan ekonomi kurang lebih 5 persen untuk menyerap angkatan kerja baru. Apalagi perkembangan teknologi membuat investasi tidak padat karya.
"Sebaliknya, kita justru mengalami kontraksi 2020 pertumbuhannya 3,57 persen di 2021. Jadi memang ini jadi tantangan kita gimana menggenjot pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja di 2022," pungkasnya.