DPRD: Perlu Evaluasi di Pusat UMKM Alun-alun Surabaya
Akibat pandemi Covid-19 pertumbuhan ekonomi Kota Surabaya Tahun 2020 pada lapangan usaha penyediaan akomodasi dan makan minum mengalami kontraksi sebesar 10,86%. Untuk membantu para pelaku usaha di bidang tersebut, pada tahun 2021 Pemerintah Kota Surabaya fokus pada pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Pada tahun 2021 ada 77,08 persen sentra usaha makanan dan minuman yang beroperasi secara optimal. Sementara pertumbuhan ekonomi pada lapangan usaha penyediaan akomodasi dan makan minum Kota Surabaya tahun 2021 hanya sebesar 2,08%.
Salah satu cara Pemkot Surabaya dalam memberikan komitmen pemulihan ekonomi adalah meningkatkan kinerja pada lapangan usaha penyediaan akomodasi dan makan minum melalui promosi dan pembukaan sentra makanan dan minuman produk UMKM di Alun-alun Surabaya.
Sebagai evaluasi pelaksanaan tersebut DPRD Surabaya memberikan beberapa catatan dalam pelaksanaan sentra usaha UMK di Alun-alun Surabaya itu. Pertama pelaku usaha tidak memberikan nota penjualan kepada pembeli, kedua pelaku usaha belum memperhatikan keamanan pangan, ketiga pengunjung belum terbiasa dengan budaya ‘Lek Mari Mangan Diringkesi Dewe’, dan keempat standar media promosi belum ada.
Menurut anggota DPRD Surabaya Alfian Limardi, para pelaku UMKM di Alun-alun Surabaya yang menjual makanan minuman harus memiliki standar baku mutu yang baik. Apalagi saat ini Alun-alun Surabaya diproyeksikan sebagai salah satu ikon dan destinasi wisata di Surabaya. Alun-alun Surabaya juga menjadi pusat interaksi warga Surabaya
“Semestinya kesempatan berusaha di alun-alun ini sebagai wadah kurasi. Sebagai bahan evaluasi. Apakah para pelaku UMKM itu sudah sesuai standar Pemkot Surabaya?” katanya.
Meski begitu, dirinya sangat mengapresiasi usaha Pemkot Surabaya yang telah memberikan pelatihan untuk pengembangan UMK dengan memberikan kesempatan berjualan di sentra UMKM alun-alun. Semestinya dalam program ini setiap UMKM juga mendapat pelatihan yang menyeluruh dari pengemasan, manajemen keuangan, keamanan pangan, promosi, izin usaha, hingga sertifikasi halal.
Sebab, ia melihat UMKM di Alun-alun Surabaya belum mendapat pelatihan tentang manajemen keuangan, ini terlihat dari pelaku usaha yang tidak memberikan nota penjualan ke konsumen. Dengan adanya nota penjualan, pelaku usaha dapat menghitung laba rugi. Selama ini yang menjadi masalah pelaku UMKM adalah sulitnya mendapatkan akses permodalan dari lembaga keuangan.
Bagi Alfian, kalau pelaku usaha tidak mendapatkan pelatihan pencatatan keuangan, program ini akan sia-sia. Apalagi Data Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Walikota 2021 baru 9,97 persen pelaku usaha mikro yang berhasil mendapatkan bantuan permodalan.
“Pelaku UMKM juga belum melakukan jaminan keamanan pangan. Hal itu belum diperhatikan karena masih menggunakan staples untuk kemasan yang dibawa pulang oleh pengunjung. Sebaiknya pakai isolasi saja, lebih aman juga. Atau bisa menggunakan karet gelang. Hal seperti ini harus dilatih dan diperhatikan oleh Pemkot. Kan katanya mau Surabaya jadi kota wisata. Ya jangan tanggung, sekalian jadi kota wisata internasional, dengan standar dunia. Termasuk para pelaku UMKM-nya,” katanya.
Selain hal tersebut, Alfian juga menyoroti belum adanya budaya ‘Lek Mari Mangan Diringkesi Dewe’ yang digaungkan Pemkot dan pelaku UMKM. Baginya, budaya itu harus dibangun sebagai bagian dari menaikkan kelas kota Surabaya.
Ia melihat pemkot harus terus memberikan sosialisasi kepada pengunjung untuk merapikan meja kembali dan membuang sampah setelah menggunakan alat makan/minum. Terkait standar media promosi juga ia melihat belum pelatihan dari Pemkot. Sebab para pelaku UMKM belum paham promosi visual untuk usaha mereka.
“Hal itu terlihat dari desain promosi mereka yang gunakan font/ukuran huruf yang terlalu kecil. Bahkan masih ada yang menggunakan tulisan tangan. Nah ini kan nggak boleh. Biar terlihat bagus dan rapi gitu,” katanya.
Advertisement