KEINGINAN sejumlah anggota DPR-RI untuk melakukan semacam investigasi terhadap kinerja KPK melalui Hak Angket, merupakan sebuah langkah yang wajar dan patut didukung. Keinginan itu, harus ditempatkan pada konteks bahwa sekuat apapun kedudukan hukum KPK dalam sistem ketata-negaraan kita, lembaga anti-rasuah perlu dikontrol. Tanpa kontrol, KPK bisa menjadi institusi yang kebal segala-galanya. Dan jika kekebalan tanpa batas itu terjadi, tentu saja hal tersebut berbahaya bagi seluruh warga bangsa. Tujuan mulia KPK menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara besar yang bersih dan terpandang, bisa gagal. Kekebalan KPK itu harus dilihat seperti kekebalan seorang diplomat. Seorang Duta Besar negara sahabat yang diakreditasi di Indonesia, dilindungi oleh UU dan Konvensi. Namun tidak serta merta dia bisa melakukan apa saja di Indonesia. Kita boleh percaya bahwa para Komisioner KPK yang terpilih - merupakan orang-orang terbaik, sebab mereka sudah dipilih melalui seleksi berjenjang. Tetapi kita juga boleh berasumsi bahwa sebagai manusia biasa - kemungkinan para Komisioner tersebut terkena penyakit ringan seperti ‘masuk angin’, tetap bisa terjadi. Sehingga atas dasar itu, patutlah koreksi berupa Hak Angket itu, dilihat sebagai OPMA -obat pemberantas masuk angin. Dan buka rahasia lagi, dalam konteks bukan kiasan, tak ada manusia Indonesia yang hidup di negara tropis, lalu tak pernah terkena penyakit ‘masuk angin’. Bahkan penyakit ‘masuk angin’ merupakan salah satu penyakit yang paling sering melanda Indonesia. Penyakit ‘masuk angin’ seperti pilek, demam, yang paling sering digunakan alasan untuk tidak masuk kerja, tidak menetapi janji dan untuk membohongi orang lain. Selain itu, jika kita bicara dalam konteks kontrol, Presiden – yang merupakan pejabat tertinggi di Indonesia, kontrol terhadap Presiden tetap dibolehkan oleh UU. Padahal seorang Presiden dipilih oleh jutaan rakyat Indonesia. Bagaimana dengan Komisioner KPK yang hanya dipilih oleh ‘segelintir’ orang yang kebetulan menjadi wakil rakyat di Senayan? Apakah pantas jika semua kepentingan kita, kita serahkan sepenuhnya kepada wakil rakyat tersebut? Masalahnya menjadi tidak wajar, cenderung runyam. Berhubung para anggota DPR yang melakukan inisiatif, mau meng-Hak Angketkan KPK ataupun kedua lembaga DPR & KPK, sama-sama sedang bermasalah. Hak Angket DPR yang mau digunakan untuk menginvestigasi KPK, tidak mendapat dukungan bulat dari semua anggota lembaga legislatif. Bahwasanya perwakilan DPR di Komisisi III dianggap sudah mewakili lembaga, tidak salah sama sekali. Akan tetapi jika kita simak pernyataan-pernyataan lepas dari sejumlah individu anggota DPR lainnya, termasuk partai politik yang memiliki perwakilannya di DPR, kesan bahwa Hak Angket itu tidak mendapat dukungan penuh, sangat kental. Belum lagi ada tudingan bahwa pembentukan Pansus Hak Angket DPR ini tidak kredibel dan akuntabel. Berhubung pimpinan DPR yang mengesahkan pembentukan Pansus ini dilakukan oleh salah seorang pimpinan yang memiliki status tidak jelas. Paling tidak, statusnya sebagai wakil rakyat, secara hukum masih bermasalah. Partai yang mencalonkannya pada Pileg 2014 sudah mencabut dukungan. Tetapi wakil rakyat yang terhormat ini, tidak menghormati pencabutan dukungan tersebut. Dia terus bertahan di kursi pimpinan, membuat kesakralan pimpinan DPR, tercoreng. Nah kesakralan yang tercoreng itu, kini mengganggu kredibiitas DPR itu sendiri. Tidak heran jika ada yang menyindir, lantas pimpinan Dewan yang begini yang harus dituruti, didengar dan dipercya ? Eit, tunggu dulu ! Di sini terjadi dilema. DPR mau menegakkan hukum, tetapi kepemimpinan DPR sedang bermasalah hukum. Sehingga secara psikologis, upaya DPR menegakkan hukum, terkendala. Kalau sekarang rencana Hak Angket itu sudah berkembang demikian liar, dalam mengundang pro-kontra yang demikian luas – sehingga masyarakat menjadi bingung, itu terjadi karena persoalan hukum ditarik-tarik sedemikian rupa oleh sejumlah anggota DPR ke persoalan politik. Boleh percaya atau tidak, selama kita tidak mampu memilah-milah dan memisahkan antara hukum dan politik, maka penegakkan hukum secara berkeadilan, tidak akan pernah tercapai atau terjadi. KPK sendiri, menjadi sasaran kritik, sebab sejak dibentuk tahun 2002, belum mampu membuat keinginan orang melakukan korupsi, berkurang atau menurun. Belum ada korupsi berskala besar yang berhasil diungkap dan diselesaikan oleh KPK. Skandal Bank Century yang merugikan negara sebanyak Rp 6,7- Triliun, sekalipun ditangani, tetap dirasakan tak menyentuh rasa keadilan masyarakat. Ini hanya sekedar sebuah contoh. Secara kuantitatif, jumlah koruptor yang tertangkap kemudian berakhir di penjara, cukup banyak. Tetapi lagi-lagi hal ini belum memuaskan rasa keadilan masyarakat yang ingin melihat KPK wajib didukung. Gedung baru, sudah diberi oleh rakyat. Tapi inipun tidak berbanding lurus dengan apa yang diberikan KPK kembali kepada rakyat. Dan kita bisa berdebat berkepanjangan atas soal ini. Kalau mau disederhakan, pekerjaan para jaksa, polisi, Irjen tiap departemen, termasuk BPKP (Badan Pengawas Keuangan Pembangunan), yang diambil alih oleh KPK, malah makin tak terasa ada gaungnya. Artinya KPK tidak banyak berbeda dengan pekerjaan yang dilakukan oleh lembaga anti korupsi yang dibentuk di zaman Orde Baru yaitu Opstib – Operasi Tertib. Era Opstib Pusat waktu itu, Laksamana Sudomo, yang merangkap Panglima Komando Operasi dan Ketertiban, sering menggelar konperensi pers. Bahwa lembaga yang dipimpinya berhasil “Menangkap Tangan” pelaku korupsi di sebuah departemen. Agak mirip yang dilakukan oleh pimpinan KPK. Tapi semua upaya Sudomo dianggap nihil atau cenderung hanya untuk pencitraan, ketika Bank Pembangunan Indonesia (Bappindo) dibobol oleh nasabah yang katanya nasabah bank tersebut, bernama Eddi Tanzil. Jumlah yang dibobol, pada awal 1990-an itu tidak tanggung-tanggung : Rp. 1,7 Triliun, di saat kurs dolar terhadap rupiah di kisaran Rp. 1,500.- . Atau kalau dengan mata uang sekarang, kurang kebih setara dengan Rp 19 – 20 Triliun. Semenjak itu, kepercayaan masyarakat terhadap pemberantasn korupsi turun hingga ke titik nadir. Nah tentu saja kita berharap KPK menjadi seperti Opstib. Kita juga tidak mau jangan sampai terjadi sindiran, bahwa saat ini sedang menjadi fenomena. Orang yang suka berdusta suka meneriaki orang lain sebagai pembohong. *) Derek Manangka adalah Wartawan Senior yang tinggal di Jakarta KPK