SISTEM politik Orde Baru – setelah dijalankan selama tiga dekade dirasakan mengandung banyak hal yang tidak sesuai dengan kebutuhan zaman. Maka di pertengahan tahun 1998, lahirlah reformasi. Reformasi 1998 pun segera menghasilkan perubahan politik yang sangat mendasar pada lembaga politik DPR-RI berikut anggota-anggotanya. Lembaga (Legislatif) DPR-RI sebagai penyeimbang pemerintah (Eksekutif) kekuatannyapun berubah. Dari tadinya seperti kepanjangan tangan pemerintah, yang selalu "yes man", menjadi saingan pemerintah yang sangat kritis. Mirip kekuatan oposisi di negara yang menganut sistem Demokrasi Liberal dan Kabinet Parlementer. Padahal politik kita ala Panca Sila menganut sistem Kabinet Presidentiel. Perubahan karakter politik lembaga DPR-RI otomatis mempengaruhi pemerintah. Presiden yang seharusnya menyusun kabinet berdasarkan hak prerogatifnya, akhirnya membentuk kabinet berdasarkan pertimbangan dan perimbangan kekuatan politik seperti dalam Kabinet Parlementer. Dimulai oleh Presiden BJ Habibie di tahun 1998 - 1999, anggota kabinet direkrut berasal dari berbagai kekuatan. Sistem rekrutmen seperti ini dilanjutkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 1999 - 2001, lalu semakin mengental di era Megawati dan menjadi sebuah budaya di era SBY serta Joko Widodo. Sedangkan angota-anggota DPR-nya, kadang sulit dibedakan. Apakah mewakili partai pendukung pemerintah atau bukan. Ada yang 'setengah pemerintah' sekaligus 'setengah oposisi'. Sejak tahun 2014 terjadi sebuah pergeseran. Kekuatan oposisi bisa berada dalam pemerintahan partai pendukung pemerintah. Sebagai contoh, yang dilakukan oleh beberapa anggota Fraksi PDIP. Partai ini secara de facto dan de jure merupakan partai pemerintah. Sebab Presiden terpilih – Joko Widodo, merupakan calon yang resmi diajukan PDIP di Pilpres 2014. Kenyataannya, sejumlah anggota PDIP semenjak awal sudah berseberangan dengan Presiden Joko Widodo. Pada era reformasi ini jumlah anggota DPR sebanyak 560 mewakili 10 fraksi. Dan mulai tahun 2019, sesudah Pemilu Legislatif akan mengalami penambahan sebanyak 15 orang. Sehingga dipastikan akan berubah menjadi 575 orang. Sementara jumlah fraksi, belum bisa diketahui. Tergantung perolehan suara partai-partai peserta Pemilu Legislatif 2019. Yang belum bisa dipastikan berubah adalah jumlah fraksi. Apakah bertambah atau justru berkurang. Tergantung hasil perolehan suara dari setiap partai dalam Pemilu Legislatif 2019. Di era Orde Baru jumlah anggota DPR-RI hanya 450 orang yang terdiri atas Fraksi ABRI, Fraksi Karya, Fraksi PPP dan Fraksi PDI. Kritik masyarakat pers – terhadap DPR-RI era Orde Baru, cukup sarkartis. DPR-RI disebut sebagai lembaga tukang stempel. Pasalnya hampir tak ada RUU inisiatif yang berasal dari Dewan. Dan setiap kali sebuah RUU dari pemerintah disampaikan ke DPR-RI untuk dibahas, dalam hitungan waktu yang relatif singkat materi itu bisa disahkan menjadi sebuah UU. Lalu apa kritikan terhadap DPR-RI Reformasi Kita? Antara lain banyak bersuara, tetapi tak jarang hanya sekedar bersuara. Banyak minta fasilitas, tetapi minim memberi kontribusi. Aktif melakukan studi banding ke berbagai negara tapi yang hasil studi bandingnya tak pernah diumumkan. Jumlah anggota semakin banyak, tetapi semakin banyak pula wakil rakyat yang tidak hadir dari berbagai sidang. Baru di era DPR reformasi, kursi-kursi empuk di dalam ruang sidang berubah seperti sofa bed. Bisa berfungsi sebagai kursi tempat duduk, tapi juga bisa direbahkan menjadi tempat bobo. Terdapat banyak perubahan cukup mendasar. Masih ada sebetulnya yang bisa ditambahkan. Tapi tidak nyaman menyebutnya. Nanti dianggap melakukan "contempt of parliament". Akan tetapi karena pertimbangan konsistensi, saya beberkan saja apa yang saya anggap penting untuk kontrol sosial. Ada tiga persoalan yang perlu dikritisi pada DPR-RI Reformasi kita. Yaitu anggota-anggotanya tidak cukup serius membasmi korupsi. Banyak keanehan yang terjadi di lembaga tinggi negara itu. Pada akhirnya kita harus bertanya soal kaulitas. Jadi singkatnya ada Tiga K yang perlu dikritisi. Yakni "K" untuk korupsi, "K" untuk keanehan dan "K" untuk kualitas. Kita awali dengan "K" untuk KORUPSI. Data yang ada tahun 2014 , menunjukkan selama 10 tahun terakhir (2004 – 2014) setidaknya terdapat 65 anggota DPR-RI yang terlibat korupsi. Atau lebih dari 10% anggota Dewan, berstatus koruptor. Di era Orde Baru hal seperti tidak terjadi. Jadi yah - memalukan ! Kalau kurang yakin atas data ini, silahkan kontak Om atau Paman Google. Data lainnya yang memperkuat bahwa korupsi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari budaya bapak dan ibu di Senayan, tercermin dari skandal dalam proyek e-KTP. Terdapat 51 angggota DPR-RI yang mendapatkan kucuran dana dari skandal tersebut. Sementara negara dirugikan hampir Rp 3,- triliun. Yang cukup fenomenal, dalam soal korupsi, masih ada anggota Dewan yang tertangkap tangan – OTT (Operasi Tangkap Tangan). Ini juga kabar memalukan. Sebab kalau gaji para anggota DPR Reformasi dibandingkan dengan periode Orde Baru, situasinya jelas sangat berbeda. Anggota DPR sekarang lebih banyak mendapat kenikmatan materi dibanding pendahulu di zaman Orde Baru. Saya masih ingat, ketika tahun 1990 saya ditugaskan mengelolah suratkabar berbahasa Inggeris di Bali, gaji bulanan saya sudah dipatok pada angka Rp. 5,- juta. Sementara anggota Dewan saat ini, kabarnya tidak sampai separuh dari gaji saya. Namun para wakil rakyat itu tidak banyak mengeluh. Kalau sekarang, ada yang menyebut penghasilan per bulan dari seorang anggota DPR-RI hampir mencapai Rp. 200,- juta. Itu pun masih dianggap kurang. Sampai-sampai sempat muncul usulan agar fasilitas duit yang harus diberikan kepada anggota DPR-RI harus dalam kisaran Rp. 20,- milyar per tahun. Semoga ingatan saya tidak keliru. Yah maaf kalau keliru dikit. Yang disoroti kan bukan angkanya tapi moral matre-nya. Jadi nafsu korupsi itu tidak padam sekalipun penghasilan per bulan, secara normatif sudah cukup untuk hidup lebih dari satu bulan. Sepintas kesan ini memperlihatkan bahwa bagi anggota Dewan, pemberantasan korupsi cukup dilakukan di luar Senayan saja. Jangan cegah anggota Dewan melakukan apa yang dimusuhi oleh KPK tersebut. Sebab terbukti antara lain, masih terjadi OTT terhadap oknum anggota Dewan. KEANEHAN : Baru di era reformasi, bisa terjadi pergantian Ketua DPR-RI sebanyak dua kali. Dan uniknya pergantian itu terjadi dalam kurun waktu setahun. Keunikannya terletak pada sosok yang diganti dan yang menggantikan. Mula-mula Setyo Novanto diganti oleh Ade Komarudin. Tapi tak sampai setahun, Ade Komarudin kembali digantikan oleh Setyo Novanto. Pergantian ini, mungki tak akan terasa janggal, kalau Setnov dan Akom berbeda partai. Artinya di sini terlihat Partai Golkar yang Setnov dan Akom wakili, sebetulnya berada dalam perpecahan alias tidak kompak. Jabatan Ketua DPR RI yang selama ini disebut-sebut hanya simbol protokoler saja, ternyata ungkapan itu 'bulshit' atau omdo, omong kosong. Ketua DPR ternyata menjadi bagian dari alat tawar menawar kekuasaan. Masih tentang Setyo Novanto yang 17 tahun lalu terkenal namanya karena keterlibatannya pada kasus yang disebut "cessie' Bank Bali. KPK memastikan Setyo Novanto dicekal, tidak boleh bepergian ke luar negeri. Anehnya pencekalan ini justru diprotes oleh anggota Dewan. Sebaliknya dengan adanya protes tersebut, membuat Setyo Novanto seperti tidak bersalah sekaligus tidak harus merasa malu. Kalau kejadian seperti ini terjadi di Jepang atau Korea Selatan, minimal Setnov langsung menyatakan (bersedia) mengundurkan diri. Baik dari posisi Ketua DPR-RI maupun Ketua Umum DPP Golkar. Apakah ini suatu pertanda bahwa urat malu politisi kita sudah hilang ? Juga, baru terjadi di era Reformasi. Seorang pimpinan DPR yang sudah tidak diakui oleh partainya – tapi tetap bertahan di Senayan, dengan alasannya sendiri. Ini juga soal urat malu. Ada dugaan, sang (mantan) wakil rakyat tersebut tak mau kehilangan segala fasilitas yang melekat. Yah, mulai dari fasilitas mobil , rumah dinas dan keprotokolan. Yang aneh, kejadian yang janggal ini bagi lembaga DPR-RI sendiri sepertinya tidak melihatnya sebagai sebuah “aib”. Atau dirasakan sebagai sesuatu yang memalukan.. Keanehan lainnya, tidak diapa-apakannya dipanggil anggota DPR-RI sekalipun sudah melakukan perbuatan a susila secara 'terbuka'. . Maksudnya memamerkan dirinya melakukan hubungan intim dengan dua wanita di sebuah tempat. Berbagai foto mereka ada yang sekedar bertelanjang bulat, tapi ada juga yang lebigh dari itu. Sebagai lelaki, perbuatan itu sebetulnya bisa dianggap sebuah bukti kejantanan. Tapi hal itu menjadi tak terhormat - karena foto-footnya berserakan di berbagai gadget milik publik. Skandal itu menjadi viral, Namun sejauh ini tidak ada usaha Badan Kehormatan DPR mempersoalkan atau memanggil yang bersangkutan untukm diperiksa. Dengan tidak bergeraknya Badan Kehormatan, muncul pertanyaan apakah karena para anggota BK tidak melihat kejadian tersebut sebagai sebuah perbuatan tidak terhormat dan betentangan moral serta etika ?. KUALITAS : Saya mengajak teman-teman untuk beropini tentang yang satu ini. Sebelum ada yang menimpali, saya hanya bertanya apakah cara anggota-anggota DPR-RI melakukan investigasi dengan cara bertanya kepada para terpidana yang sedang di penjara, bisa dilihat sebagai sebuah bukti adanya peningkatan kualitas dari DPR-RI kita atau bagaimana ? Soalnya serombongan anggota DPR-RI diberitakan mengunjungi para tahanan KPK yang berada di penjara Sukamiskin, Bandung. Sis and Bro, kejadian seperti ini baru sekarang ada dalam agenda DPR-RI !***** *) Derek Manangka adalah wartawan senior yang kini tinggal di Jakarta. Tahanan KPK DPR RI Koruptor